Ramalan Kiamat dan Segala Tetek-bengeknya

Francis Bacon pernah berkata:
"The general root of
superstition is that men
observe when things hit, and
not when they miss; and
commit to memory the one,
and pass over the other."
Kecenderungan orang terkait
ramal-meramal, pada
dasarnya lebih dahulu mencari
kecocokan-kecocokan
sehingga kadang peristiwa
yang tidak berhubungan jadi
dihubung-hubungkan dan
dibilang, "sesuai ramalan".
Hal yang sama berlaku untuk
segala jenis ramalan. Mulai
dari ramalan bintang, sampai
yang serius seperti ramalan
kiamat.
Tan Malaka pernah berkata
dalam Madilognya: "Beberapa
orang Kristen ceritakan
kepada saya ketika Perang
1914-1918, bahwa
millieunisten, negara (surga)
1000 tahun akan datang.
Karena menurut apocalypse,
firman dalam Kitab Injil, Surga
yang kekal, dimaksudkan
dengan 1000 tahun itu mesti
didahulukan oleh peperangan
yang maha hebat. Pada
peperangan inipun-1939-sudah
cukup saya dengar cerita
semacam ini dari pihak Kristen
juga…, …Jutaan Kristen
Orthodok lupakan, bahwa
sudah berlusin-lusin perang
dari semenjak nujum tadi
timbul, membatalkan nujum
itu. Dan kalau perang inipun
berlalu, dan perang lebih
hebat lagi akan timbul pula,
percayalah Tuan, bahwa masih
jutaan Kristen Orthodok yang
percaya akan datangnya Surga
Kekal itu, dan melupakan 13
atau lebih peperangan yang
sudah membatalkan."
Di sini kita melihat bahwa
orang-orang yang dicontohkan
Tan Malaka bersikap persis
seperti dijelaskan Bacon.
Mereka tidak menalar
ramalan secara kritis,
melainkan, mencocok-
cocokkan diri agar ramalan
terasa tepat. Sementara
kenyataannya ramalan itu
sudah "terpenuhi" -bila perang
salah satu analogi bencana
besar-sejak dulu kala.
Sedangkan perang besar,
sebagai contoh Perang Salib
yang berlangsung hampir 200
tahun. Sebelumnya terdapat
Masa Ekspansi Islam dan
keruntuhan Baghdad akibat
serangan Mongol sekitar abad
12-13. Adapun di masa modern
contohnya Perang Dunia I,
Perang Dunia II, sampai
Perang Dingin (kalau yang
terakhir bisa dianggap sebagai
perang). Setiap kali terjadi
yang baru, selalu prediksinya
dimundurkan: "Kali ini
berbeda, pasti ini yang akhir
zaman!" Dan begitu
seterusnya. Pada akhirnya
orang jadi gothak-gathik-
gathuk supaya cocok.
Sementara itu di sisi lain:
dunia terus berjalan tanpa
peduli adanya ramalan!
Surprise! Cuma manusianya
saja yang sibuk utak atik.
Jadi di sini anda lihat
problemnya. Awalnya orang
punya keyakinan akan hari
akhir. Hari akhir yang konon
sudah diramalkan sejak jauh
hari. Akan tetapi
kenyataannya jauh panggang
dari api: ramalan itu sering
lebay dan meleset.
Sekte Miller mengatakan
kiamat pada tahun 1844.
Kemudian tidak terjadi. Lalu
komet Halley muncul tahun
1910, dianggap pertanda
kiamat. Peristiwanya sendiri
boleh dibilang cukup unik.
Melalui analisis kitab Bibel,
pemimpin sekte bernama
William Miller mengumumkan:
bahwasanya Yesus Kristus
akan turun ke bumi paling
lambat bulan Oktober 1844.
Yesus akan turun ke bumi
bersama para santo,
membersihkan kejahatan dan
kekotoran yang ada. Lalu
sesudah itu kiamat. Sepanjang
tahun 1844, pengikut Miller
dikatakan berjumlah antara
30.000-100.000 orang, bekerja
keras menyebarkan lewat
publikasi misionaris.
Mengabari bahwa akhir zaman
sudah dekat. Awalnya
ditetapkan bahwa tanggal
turunnya Yesus pada 22 Maret
1844, akan tetapi ketika
tanggal itu lewat, dilakukan
perhitungan ulang. Akhirnya
ditetapkan tanggal
"sebenarnya" adalah 22
Oktober.
Sebagaimana bisa ditebak,
massa antusias menunggu
tanggal tersebut. Semua
berharap bisa naik ke surga
bersama Yesus. Akan tetapi
kenyataannya 22 Oktober 1844
berlalu tanpa kejadian
signifikan. Tidak ada Yesus,
tidak ada Santo, dan lebih lagi
tidak ada bencana pengakhir
dunia. Kasar-kasarnya: bumi
tetap berputar seperti biasa.
Adapun kaum Kristiani non-
Miller yang sejak awal tidak
percaya kemudian menamai
"kiamat gagal" di atas sebagai
peristiwa The Great
Disappointment. Biarpun sudah
dihitung teliti lewat kitab,
kiamat yang diperkirakan
ternyata tidak terjadi. Boleh
dibilang bahwa penantian
Sekte Miller berbuah
kekecewaan.
Lalu ada sekte UFO
menyatakan kiamat tahun
1997, tidak jadi; tahun 1999
tidak; tahun 2000 juga tidak,
dan entah berapa kali lagi
orang akan menetapkan
waktu kiamat. Sejauh ini
semua kacau, semua salah,
dan setiap kali terjadi, orang
selalu membikin tanggal
kiamat yang baru. Jadinya
ramalan kiamat itu seperti
main kucing-kucingan. Hari ini
tidak terjadi, tunggu tahun
depan. Kalau tidak kita bikin
tanggal baru lagi. Pada
akhirnya semua itu jadi tidak
bermakna. Sekitar tahun 1999,
Indonesia dan dunia
dihebohkan ramalan kiamat
yang mirip. Dikatakan bahwa
kiamat akan terjadi tahun 2000
bertepatan dengan pergantian
milenium dan peristiwa Y2K.
Waktu itu kehebohannya
sampai masuk ke media
massa. Bagaimana akhirnya
tentu kita semua tahu. Hal itu
tidak terjadi. Tidak ada
pecahan komet yang katanya
bakal nyasar, begitu juga Y2K
berhasil dilewati dengan
mulus. Hidup berjalan seperti
biasa. Pada akhirnya prediksi
kiamat itu sekadar heboh yang
tidak pada tempatnya.
Kemudian dekade 2010 lewat,
dan sekarang ada berita
ramalan baru. Syahdan
menurut versi ini, kiamat akan
terjadi tahun 2012: bertepatan
dengan berakhirnya siklus
penanggalan Maya. Lalu
peristiwa itu dikait-kaitkan
dengan bencana alam. Mulai
dari tsunami 2004, hewan-
hewan mati mendadak, sampai
yang paling fresh gempa
Jepang yang baru terjadi
kemarin. Tak ayal orang jadi
berpikir bahwa kali ini ada
begitu banyak tanda-tanda,
jangan-jangan, yang sekarang
betulan!
Suatu hari di tahun 1940-an,
ahli psikologi Bertram Forer
melakukan sebuah eksperimen
dalam kelas. Ia menyatakan
pada murid-muridnya bahwa ia
sedang mengembangkan
metode baru analisis
kepribadian. Oleh karena itu
diharapkan agar mereka turut
berpartisipasi mengujinya.
Singkat cerita para murid pun
diberi kuesioner. Setelah
beberapa hari hasilnya akan
diberikan, lalu mereka diminta
menilai seberapa akurat
hasilnya. Skor ditentukan
antara 0 ("tidak akurat")
sampai 5 ("sangat akurat").
Hasil akhirnya? Tercatat
bahwa 87% siswa memberikan
nilai 4 ("akurat") atau 5
("sangat akurat"). Luar biasa
bukan? Meskipun begitu cerita
ini belum selesai.
Beberapa hari sebelum
melakukan tes, Forer telah
membaca berbagai buku
astrologi. Dia mengambil
kalimat dari berbagai tanda
horoskop, lalu
mencampuraduknya
sedemikian rupa sehingga jadi
laporan seperti berikut.
"You have a need for other
people to like and admire you.
You have a tendency to be
critical of yourself. You have
considerable unused capacity
that you have not turned to
your advantage. While you
have some personality
weaknesses you are generally
able to compensate for them.
Disciplined and self-controlled
on the outside, you tend to be
worrisome and insecure on the
inside. At times you have
serious doubts as to whether
you have made the right
decision or done the right
thing. You prefer a certain
amount of change and variety
and become dissatisfied when
hemmed in by restrictions and
limitations. You pride yourself
as an independent thinker, and
do not accept others'
statements without
satisfactory proof. But you
have found it unwise to be too
frank in revealing yourself to
others. At times you are
extroverted, affable, and
sociable, while at other times
you are introverted, wary, and
reserved. Some of your
aspirations tend to be rather
unrealistic."
Kemudian sesudah
pelaksanaan tes, dia
mengabaikan semua jawaban
para siswa. Benar-benar tidak
diperiksa. Akan tetapi sebagai
gantinya, dia memfotokopi
tulisan di atas, lalu
membagikannya pada mereka.
Hasil itulah yang kemudian
diminta untuk dinilai. Akan
tetapi, sebagaimana sudah
disebut di awal: hasil fotokopi
itu dianggap "akurat"
menjelaskan kepribadian
siswa! Padahal jelas isinya
sama untuk setiap orang.
Boleh dibilang tidak ada
elemen apapun yang
membedakan. Hasil percobaan
di atas kemudian diberi nama
Efek Forer. Tentunya
kemudian timbul pertanyaan,
mengapa bisa begitu?
Hasil percobaan Forer
kemudian diumumkan lewat
jurnal ilmiah. Melihat hasil tak
lazim tersebut, para ahli
psikologi kemudian mencoba
menganalisis penyebabnya.
Kesimpulan yang didapat
adalah sebagai berikut:
karena Forer menulis laporan
yang kabur dan bersifat
umum, maka kecocokannya
pada setiap orang juga besar.
Peserta tergiring percaya
bahwa kepribadiannya
dianalisis secara tepat.
Sementara kenyataannya,
yang disampaikan itu sekadar
garis besar.
Inilah yang disebut sebagai
subjective validation
("pencocokan subyektif").
Ketika disuguhi data yang
bersifat luas, orang cenderung
mencari kesamaan dan
mencocokkan dengan yang
sudah diketahui. Sedemikian
hingga banyak orang merasa
analisis yang vague itu akurat-
walaupun sebenarnya tidak.
Dalam kasus Forer yang
diajukan adalah data yang
bersifat umum. Namanya data
bersifat umum, tentu saja
kemungkinan benarnya besar.
Oleh karena itu para siswa
yang "dikerjai" Forer terjebak
percaya meski aslinya itu
cuma fotokopian campuraduk
ramalan bintang!
Demikian pula dengan gejala
psikologi mengapa orang
percaya terhadap ramalan.
Pada dasarnya, ketika orang
berurusan dengan ramal-
meramal, fokus ingatannya
adalah ketika berhasil.
Apabila sebuah ramalan gagal
maka cenderung
dikesampingkan dengan
alasan, "Namanya juga
ramalan, percaya tidak
percaya." Jadi ketika sukses
diingat, sementara ketika
gagal ditoleransi. Pada
akhirnya orang jadi mencocok-
cocokkan diri dengan ramalan
tersebut. Nah, yang
diceritakan di atas itu adalah
teknik "berpikir
selektif" (selective thinking).
Di bawah sadar kadang kita
cuma mengingat yang tepat
sasaran, sementara yang
salah-salah terlupakan
sehingga penilaian akhirnya
jadi tidak berimbang.
Barangkali kalau boleh
dibilang, selective thinking itu
adalah "Seni Mencocok-
cocokkan Diri" tahap dua
setelah Efek Forer di atas.
Bukan saja diakui karena
banyak benarnya, malah yang
salah-salah pun diabaikan!
Namun gejala ini tak dapat
dibilang salah, memang
manusia secara arketipal,
adalah mahluk yang gemar
mencari pola. Dari zaman ke
zaman, manusia adalah
makhluk yang selalu mencari
pola dan penjelasan. Di zaman
purba dulu orang berusaha
menjelaskan bencana alam
dengan mengaitkan pada
sosok transendental semisal
Dewa-Dewi. Ketika melihat
bintang di langit, dihubung-
hubungkan jadi bentuk hewan:
mulai dari kepiting,
kalajengking, sampai kambing
gunung. Hubung-hubungan itu
kemudian dikaitkan dengan
hidup manusia di bumi. Akan
tetapi di masa kini, meski ilmu
pengetahuan semakin maju,
ikatan arketip manusia dari
era pre-historic itu tidak dapat
dilepaskan. Justru sampai kini
pun hasrat mencari pola dan
penjelasan itu masih ada dan
diwariskan.
Lantas bagaimana
perkembangan selanjutnya
dari seni mencocok-cocokkan
ramalan kiamat ini?
Dalam berbagai versi
kebudayaan, kiamat
digambarkan bermacam-
macam. Meskipun begitu yang
paling sering sebagai berikut:
Bumi mengalami kehancuran,
entah lewat perang, bencana,
atau sebagainya. Lalu sesudah
itu kehidupan manusia
berakhir. Lantas alam semesta
gulung tikar, pokoknya semua
hancur dan kacau. Tidak ada
lagi "dunia" sebagaimana kita
kenal. Namanya keyakinan
spiritual, tentu tidak aneh
kalau fokus kiamatnya pada
manusia dan Bumi. Hanya saja
yang semacam ini
mengabaikan satu hal yakni
mengenai usia daripada Bumi
yang kita tinggali. Tahukah
kita berapa umur planet Bumi?
Banyak orang tidak
menyadari, akan tetapi
sebenarnya, usia planet Bumi
sudah cukup tua. Sebuah
angka yang besar dari jutaan
sampai milyaran tahun.
Adapun manusia modern
pertama di muka bumi yang
katanya berbentuk Homo
sapiens diperkirakan paling
awal muncul 200 ribu tahun
silam. Atau kalau kita mau
memakai referensi agama,
yakni Adam dan Hawa.
Mereka manusia pertama
yang dalam beberapa kisah
tidak dicantumkan pada usia
Bumi ke-berapa, keduanya
hadir di Bumi, namun bisa kita
lihat dari keterangan-
keterangan tersebut bahwa
manusia hadir di bumi amat
belakangan. Jikalau boleh
dibandingkan: umur spesies
kita terhadap Bumi tak sampai
seujung kuku. Kita tidak
menyaksikan masa-masa Bumi
sebelum kita. Apa saja yang
dialami? Berapa kali terjadi
bencana? Mungkinkah banyak
meteor dan letusan gunung
berapi? Dan seterusnya, dan
lain sebagainya.
Akan tetapi ajaibnya: secara
absurd orang bisa yakin kapan
Bumi hancur. Karena ada
gempa, tsunami, badai
matahari, disangka sebentar
lagi kiamat. Semua bencana
dikait-kaitkan ke akhir zaman.
Bahwa Bumi akan hancur,
umat manusia punah, lalu
sesudah itu alam semesta
digulung Tuhan. Masalahnya
pandangan seperti di atas
sangat naif. Sebelum ada
manusia pun Bumi sudah
sering dihantam bencana.
Mulai dari hujan meteor,
banjir besar, gunung meledak,
sampai kenaikan suhu yang
mengakhiri zaman es terakhir.
Tidak kurang berbagai
bencana tersebut menelan
spesies dan tetumbuhan. Akan
tetapi sampai sejauh itu Bumi
tidak hancur. Tidak ada akhir
zaman, tidak kiamat. Matahari
tetap bersinar. Alam semesta
tetap ada. Cuma Bumi saja
yang bergolak. Adapun
setelah pergolakan itu ada
spesies yang mati dan
bertahan. Selang beberapa
waktu Bumi kembali tenang,
dan menjadi tempat hidup
yang nyaman. Selalu ada The
Day After Tomorrow.
Silahkan saja bagi yang
percaya kiamat untuk
memercayai bahwa hari itu
akan datang. Tetapi kita tidak
sedang membahas soal benar
atau tidaknya. Namun hal lain
yang menggelikan tentang
kondisi psikis manusia dan seni
takut-menakuti berbungkus
ramalan akan kiamat.
Contohnya ketika umat
manusia melihat bencana dan
lekas berpikir bahwa itulah
tanda akhir zaman. Bahwa
alam semesta akan ditarik
Tuhan dari peredaran karena
kadaluarsa. Benar-benar tidak
proporsional! Bumi sudah
menyaksikan bencana lebih
besar dan mematikan
daripada yang pernah kita
lihat. Cuma kesombongan
manusia membuat dirinya
merasa penting: jika saya
punah, maka Bumi pasti
hancur, lalu alam semesta
juga berakhir. Padahal
kenyataannya itu belum apa-
apa.
Sejak zaman purba, manusia
adalah makhluk yang sering
dihantui ketakutan. Mengenai
hal ini ada banyak contohnya;
mulai dari takut pada
kemarahan dewa, takut pada
gelap, hingga takut pada
kiamat yang dijelaskan
panjang-lebar di atas. Di
samping tentunya ketakutan
yang lebih keseharian,
semisal, "Saya takut besok tak
bisa makan…?" sehingga
kemudian muncul filsafat
eksistensialisme yang
mencoba mengalahkan rasa
takut itu dengan segudang
pertanyaan mengenai
keterasingan manusia
diakibatkan rasa takutnya.
Yang ironis adalah biarpun
ramal-ramalan terbukti gagal,
orang tidak menarik napas
lega. Justru sebaliknya: malah
meyakinkan diri bahwa
ramalan itu pasti benar; cuma
kepastian tanggalnya saja
sengaja dimundur-mundurkan.
Dari satu ketakutan meloncat
pada ketakutan lain. Dari
tahun ke sekian ke tahun lain,
dari sebuat peristiwa dikaitkan
dengan serentetan peristiwa
lainnya agar nampak
pembenarannya. Tetapi jelas
sekali hal ini bukan lagi soal
ramalan, melainkan seni
takut-menakuti diri.
Kalau benar kiamat sudah
dekat, ya sudah biarkan
urusan Tuhan bagi yang
percaya Tuhan, toh cuma Dia
yang tahu deadline kita tinggal
di dunia.

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

Penyebab Manusia Cebol