Papua 8x Lebih Kaya dari Indonesia
berenang di atas minyak, tapi
bukan kami punya. Kami
hanya menjual buah-buah
pinang.
Sepenggal lirik lagu penyanyi
Edo Kondolangit, bisa
menggambarkan rintihan hati
rakyat Papua. Walau mereka
hidup di bagian bumi yang
kaya tiada tara, tapi terpuruk
dalam nestapa kemiskinan
dan keterbelakangan.
Berpuluh tahun mereka hanya
menonton warisan kekayaan
dari Tuhan itu dikeruk,
diangkut dan dijual untuk
memperkaya jutaan manusia
di ujung benua Amerika serta
segelintir elit di Indonesia,
yang berfungsi sebagai
centeng alias anjing penjaga
tambang bernama Freeport.
Ekspedisi tiga orang Eropa
tahun 1936, pimpinan DR
Anton H Colijn bersama Jean-
Jacques dan Frits J Wissel ke
Gunung Gletser, Jayawijaya
dan kemudian menemukan
Ertsberg, seolah menjadi
pembuka kotak pandora
gunung emas di tanah Papua.
Sedangkan ekspedisi Freeport
yang dikomandoi Forbes
Wilson dan Del Flint, untuk
menjelajahi Ertsberg tahun
1960, semakin menguatkan
hasrat membangun proyek
tambang di tanah yang
diyakini orang Papua, sebagai
tempat bersemayam moyang
mereka.
Ertsberg, begitulah orang
Belanda menyebut gunung ore
(bijih). Bagi orang Papua,
Ertsberg merupakan tanah
warisan yang harus dijaga dan
dipertahankan, agar terhindar
dari malapetaka.
Namun nasib berkata lain.
Sejak tahun 1967, perusahaan
tambang PT Freeport
Indonesia sebagai afiliasi
Freeport-McMoRan Copper
and Gold yang berpusat di
Phoenix, Arizona, Amerika
Serikat, menguasai Ertsberg
dalam radius 10 kilometer
persegi melalui kontrak karya
eksklusif kontraktor tambang
selama 30 tahun dan
kemudian diperpanjang hingga
2041.
"Inilah awal malapetaka bagi
orang Papua, membiarkan
warisan kekayaan mereka
disedot, sementara mereka
hanya menonton dan pakai
koteka," ujar sumber
matanews.com, Kamis (03/11).
Tahun 1970, operasi tambang
berskala penuh pun dimulai
dan kemudian pengapalan
ekspor pertama kosentrat
tembaga berlangsung 1972.
Diperkirakan, sejak beroperasi
hingga 2010 Freeport sudah
menyedot 7,3 juta ton
tembaga dan sekitar 725 juta
ton emas, tanpa kontrol yang
jelas dari rejim Orde Baru
pimpinan Soeharto, rejim
Habibie, Gus Dur, Megawati
hingga Susilo Bambang
Yudhoyono.
Sebaliknya, pihak Freeport
dinilai tidak terbuka dan tidak
jujur dalam pelaporan besaran
dan jenis tambang yang
dieksploitasi dari Ertsberg.
Bahkan audit lingkungan dan
sosial yang dilakukan
terhadap tambang Freeport,
dianggap hanya sebagai
bentuk legitimasi atau
pembenaran terhadap
eksploitasi kekayaan tambang
tanpa batas.
Tidak mengherankan, kalau
ada pihak yang
memperkirakan kandungan
emas, tembaga serta uranium
yang dikeruk dari Ertsberg
dan Grasberg yang ditemukan
pada tahun 1988, bisa
mencapai nominal 8000 triliun
rupiah setiap tahunnya dalam
konversi rupiah.
"Bandingkan saja misalnya
dengan jumlah APBN
Indonesia setiap tahun, hanya
sekitar 1200 triliun rupiah.
Sementara royalti Freeport,
secara resmi hanya sekitar 1
persen per tahun," tutur
sumber matanews.com, Kamis
(03/11).
Lalu setega itukah Freeport
untuk membagi hasil
kekayaan yang dikeruk hingga
ke perut bumi Cendrawasih
dan membiarkan rakyat Papua
mengais sampah sisa makanan
yang dibuang dari camp
Hidden Valley, lokasi tambang
di ketinggian 4000 meter dari
permukaan laut itu?.
Sejak jaman Soeharto, secara
kasat mata Freeport memang
jadi bancakan bagi kaum
penguasa republik dan aparat
keamanan. Diduga banyak
uang ilegal yang dibagi-bagi
alias mengalir ke kantong-
kantong pribadi dan
kelompok.
Pihak Freeport pun sangat
menyadari praktek distribusi
uang centeng, dengan tujuan
kelangsungan dan
kelanggengan pengerukan
emas, tembaga hingga
uranium dari tanah Papua.
Pengakuan pihak Freeport
telah memberikan uang
pengamanan sebesar 14 juta
USD setiap tahun kepada
pihak kepolisian, hanyalah
salah satu alokasi dana yang
tidak masuk resmi ke kas
negara. Diyakini, uang
centeng dari Freeport, juga
mengalir ke pihak tentara,
Pemda hingga elit penguasa
lokal dan pusat.
Kisruh Freeport yang kini
masih berlangsung, memang
telah mengganggu
kenyamanan kelompok
centeng yang menari di atas
penderitaan bahkan nyawa
rakyat Papua, maupun buruh
tambang yang gigih
memperjuangkan haknya.
Bahkan upaya Presiden SBY
membentuk Unit Percepatan
Pembangunan di Papua dan
Papua Barat (UP4B) yang
dikepalai Bambang Darmono,
ditengarai hanya akal-akalan
untuk menetralisir
memburuknya situasi di bumi
Cendrawasih, sekaligus alat
mengatur penampungan
aliran uang centeng dari
Freeport yang terus mengalir,
entah sampai kapan.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !