komodo
Mari dukung Pulau Komodo
sebagai salah satu dari tujuh
keajaiban dunia kategori
alam. Ambil telepon seluler,
ketik KOMODO, kirim ke 9818.
Biayanya murah, hanya Rp 1
per SMS. Jangan takut, ini
bukan SMS jebakan yang akan
menguras pulsa Anda.
Komodo tak memakan pulsa.
Kirim sebanyak-banyaknya.
Lalu apa yang terjadi setelah
Pulau Komodo menjadi salah
satu dari tujuh keajaiban
alam? Semua orang akan
senang, apalagi Bapak Jusuf
Kalla, yang kini menjadi Duta
Komodo. JK mengatakan, jika
predikat itu didapat, Provinsi
Nusa Tenggara Timur akan
menjadi "Bali kedua" dalam
hal menggaet wisatawan.
Komodo akan menjadi ikon
pariwisata di NTT dan rakyat
di kawasan ini menikmati
kesejahteraannya. Luar biasa,
hanya dengan SMS seharga Rp
1, Anda sudah mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan di
kepulauan ini.
Dalam pikiran saya yang
sederhana, wisatawan
membanjiri NTT tentu karena
Pulau Komodo. Saya belum
melihat ada kawasan wisata
yang siap jual di sana,
meskipun potensi alamnya
banyak yang bagus. Artinya,
dalam satu dasawarsa ke
depan, Pulau Komodo yang
akan dituju wisatawan. Apa
yang dilihat? Ya, komodo.
Celakanya, binatang purba ini
tak mau diajak modern, tak
mau diajak berpatungan
menggaet wisatawan. Sudah
ada penelitian, jika habitat
mereka dirusak, populasi
mereka tak akan
berkembang. Semakin banyak
komodo berinteraksi dengan
manusia, semakin stres dia,
sampai-sampai bunuh diri.
Terbukti komodo yang ada di
Kebun Binatang Surabaya bisa
mati, padahal sudah
dipelihara dengan bagus.
Bagaimana mengembangkan
wisata komodo kalau ikon
yang dijual itu tak bisa diajak
bermusyawarah? Pelancong
membutuhkan hotel, restoran,
jalan aspal, mobil, air bersih,
dan listrik. Komodo
membutuhkan hutan, rawa,
air kotor, dan bangkai hewan
untuk makanannya. Kalau tak
ada kompromi dan manusia
gagal memecahkan masalah
ini, wisata komodo tak akan
berumur panjang.
Dunia wisata di Bali masih
bertahan--meski tak lama
lagi--karena ada dua ikon
yang dimilikinya: budaya dan
alam. Alam ciptaan Tuhan,
budaya ciptaan manusia.
Manusia Bali bukan komodo,
mereka punya akal, pikiran,
dan otak yang bisa dibuat
modern. Mereka dulu bisa
polos dan senang dipuji:
teruskan mandi di sungai,
teruskan bertani di sawah
yang teraseringnya memukau
itu, dan teruskan melakukan
ritual yang penuh hura-hura
tersebut. Turis senang,
pengelola wisata kaya, orang
Bali tetap miskin.
Karena bukan komodo,
manusia Bali kini bertanya,
"Kenapa sawah saya yang
indah itu harus saya
pertahankan, memangnya ada
yang mengurusi irigasinya,
pajak buminya saja naik terus?
Kenapa saya harus
melaksanakan ritual yang
besar, yang membuat
sengsara, apalagi pendeta
Hindu sudah memperkenalkan
ritual sederhana yang murah,
memangnya ritual itu
tontonan, kalau tontonan
bayar, dong? Kenapa pura
saya harus dikunjungi
wisatawan, memangnya saya
tak terganggu kalau
bersembahyang?"
Pengelola wisata terus
berkoar-koar: lestarikan
budaya Bali. Sementara itu,
orang Bali bersama
pendetanya sudah
menemukan format untuk
melaksanakan ritual yang
murah dan "tanpa enak
ditonton". Maka yang masih
dinikmati oleh turis nantinya
hanya budaya dalam bentuk
kesenian dan alam yang sudah
compang-camping akibat ulah
orang kaya.
Sementara kepariwisataan di
NTT tak akan bernapas
panjang karena ikonnya
adalah komodo--yang tak bisa
diajak modern--kepariwisataan
di Bali juga tak panjang
karena ikonnya adalah
manusia--yang ternyata bisa
modern dan bisa melihat
ketidakadilan. Sayangnya, tak
ada satu pun Menteri
Pariwisata di negeri ini yang
memikirkan bagaimana
mengelola "pariwisata budaya
dan alam" secara benar.
sebagai salah satu dari tujuh
keajaiban dunia kategori
alam. Ambil telepon seluler,
ketik KOMODO, kirim ke 9818.
Biayanya murah, hanya Rp 1
per SMS. Jangan takut, ini
bukan SMS jebakan yang akan
menguras pulsa Anda.
Komodo tak memakan pulsa.
Kirim sebanyak-banyaknya.
Lalu apa yang terjadi setelah
Pulau Komodo menjadi salah
satu dari tujuh keajaiban
alam? Semua orang akan
senang, apalagi Bapak Jusuf
Kalla, yang kini menjadi Duta
Komodo. JK mengatakan, jika
predikat itu didapat, Provinsi
Nusa Tenggara Timur akan
menjadi "Bali kedua" dalam
hal menggaet wisatawan.
Komodo akan menjadi ikon
pariwisata di NTT dan rakyat
di kawasan ini menikmati
kesejahteraannya. Luar biasa,
hanya dengan SMS seharga Rp
1, Anda sudah mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan di
kepulauan ini.
Dalam pikiran saya yang
sederhana, wisatawan
membanjiri NTT tentu karena
Pulau Komodo. Saya belum
melihat ada kawasan wisata
yang siap jual di sana,
meskipun potensi alamnya
banyak yang bagus. Artinya,
dalam satu dasawarsa ke
depan, Pulau Komodo yang
akan dituju wisatawan. Apa
yang dilihat? Ya, komodo.
Celakanya, binatang purba ini
tak mau diajak modern, tak
mau diajak berpatungan
menggaet wisatawan. Sudah
ada penelitian, jika habitat
mereka dirusak, populasi
mereka tak akan
berkembang. Semakin banyak
komodo berinteraksi dengan
manusia, semakin stres dia,
sampai-sampai bunuh diri.
Terbukti komodo yang ada di
Kebun Binatang Surabaya bisa
mati, padahal sudah
dipelihara dengan bagus.
Bagaimana mengembangkan
wisata komodo kalau ikon
yang dijual itu tak bisa diajak
bermusyawarah? Pelancong
membutuhkan hotel, restoran,
jalan aspal, mobil, air bersih,
dan listrik. Komodo
membutuhkan hutan, rawa,
air kotor, dan bangkai hewan
untuk makanannya. Kalau tak
ada kompromi dan manusia
gagal memecahkan masalah
ini, wisata komodo tak akan
berumur panjang.
Dunia wisata di Bali masih
bertahan--meski tak lama
lagi--karena ada dua ikon
yang dimilikinya: budaya dan
alam. Alam ciptaan Tuhan,
budaya ciptaan manusia.
Manusia Bali bukan komodo,
mereka punya akal, pikiran,
dan otak yang bisa dibuat
modern. Mereka dulu bisa
polos dan senang dipuji:
teruskan mandi di sungai,
teruskan bertani di sawah
yang teraseringnya memukau
itu, dan teruskan melakukan
ritual yang penuh hura-hura
tersebut. Turis senang,
pengelola wisata kaya, orang
Bali tetap miskin.
Karena bukan komodo,
manusia Bali kini bertanya,
"Kenapa sawah saya yang
indah itu harus saya
pertahankan, memangnya ada
yang mengurusi irigasinya,
pajak buminya saja naik terus?
Kenapa saya harus
melaksanakan ritual yang
besar, yang membuat
sengsara, apalagi pendeta
Hindu sudah memperkenalkan
ritual sederhana yang murah,
memangnya ritual itu
tontonan, kalau tontonan
bayar, dong? Kenapa pura
saya harus dikunjungi
wisatawan, memangnya saya
tak terganggu kalau
bersembahyang?"
Pengelola wisata terus
berkoar-koar: lestarikan
budaya Bali. Sementara itu,
orang Bali bersama
pendetanya sudah
menemukan format untuk
melaksanakan ritual yang
murah dan "tanpa enak
ditonton". Maka yang masih
dinikmati oleh turis nantinya
hanya budaya dalam bentuk
kesenian dan alam yang sudah
compang-camping akibat ulah
orang kaya.
Sementara kepariwisataan di
NTT tak akan bernapas
panjang karena ikonnya
adalah komodo--yang tak bisa
diajak modern--kepariwisataan
di Bali juga tak panjang
karena ikonnya adalah
manusia--yang ternyata bisa
modern dan bisa melihat
ketidakadilan. Sayangnya, tak
ada satu pun Menteri
Pariwisata di negeri ini yang
memikirkan bagaimana
mengelola "pariwisata budaya
dan alam" secara benar.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !