hewan
"Sesungguhnya Allah
memerintahkan agar berbuat
baik terhadap segala
sesuatu�. Hendaklah kalian
menajamkan pisau [yang akan
dipakai] dan senangkanlah
hewan yang akan
disembelih"�Hadith.
Di abad ke-21, hewan
menghilang. Kita memang
melihat kambing dan sapi
berderet di pasar tepi jalan.
Tapi bahkan di hari raya
kurban, orang kota besar tak
menemui makhluk hidup itu.
Ternak itu hanya komoditas,
benda-benda yang muncul
dalam nilai tukar. Mereka
dengan mudah dibeli dan
dikirim ke tempat
penyembelihan. Dan dalam
pesta makan yang asyik
kemudian, ada sesuatu yang
dilupakan�sesuatu yang
sebenarnya hari itu
dikukuhkan kembali: pertalian
manusia dengan apa yang
hidup dan yang mati.
Pertalian itulah (yang
diisyaratkan hadith, hingga
kita harus "berbuat baik
terhadap segala sesuatu")
yang membuat hari raya
kurban tak dimaksudkan
sebagai hari pembantaian
massal. Kematian hewan
adalah saat yang khidmat. Ia
secara radikal berbeda
dengan jam-jam produksi
daging di abattoir Amerika,
yang sejak pertengahan kedua
abad ke-20 didesain Grandin
untuk meningkatkan efisiensi
dan laba. Di ruang-ruang
pembunuhan itu, trauma,
kesedihan, dan hal sejenisnya
akan dianggap pemborosan.
Di situlah bedanya: hari raya
kurban bukan hari yang acuh
tak acuh. Di hari itu kita
sebenarnya tak hanya
mendengar cerita tentang
dahsyatnya iman Nabi
Ibrahim, tapi juga kesedihan
hatinya yang dalam:
pengorbanan itu amat besar
maknanya karena ada
hubungan yang tak
tergantikan antara yang akan
mengorbankan dan yang akan
dikorbankan. Maka di hari
kurban, manusia diharapkan
peka akan kekejaman yang
akan dilakukan dan kesalahan
yang bisa terjadi. Dengan
pisau yang terhunus, manusia
tak pantas berlaku bengis.
Nabi pernah menegur
seseorang yang sebelum
menyembelih menginjakkan
kakinya di atas pipi kambing
seraya mengasah pisau.
Kekejaman tak boleh berkali-
kali.
Di rumah jagal modern,
kekejaman bisa berkali-kali.
Tapi dengan teknologi yang
berjarak. Manusia tak akan
berbisik buat menyenangkan
lembu yang akan dibunuh;
nyawa hanya angka. Para
operator abattoir tak akan
peduli bila yang akan dipotong
seekor sapi muda yang
kemarin berdiri manis di
padang rumput�sapi yang tak
tergantikan, sapi yang
menitikkan air mata�bukan
calon daging yang akan
diganti uang.
Kapitalisme, atau sistem apa
pun yang mengasingkan hidup
dari kehidupan, membuat
alam & hewan hanya sebagai
cadangan konsumsi yang
dihitung. Orang lupa bahwa
"ada" berarti "menjadi-
dengan-yang-lain". Tiap kali
manusia mengkonsumsi
sesuatu, sesuatu pun
berkorban, sesuatu pun
dikorbankan.
Tapi manusia rakus dan hewan
diubah. Para satwa diletakkan
dalam kotak; "mereka" bukan
lagi "kita". Dinding pemisah
dibangun, sering secara
harfiah.
Dari Jardin des Plantes, Paris,
Rilke, sang penyair,
melukiskan dinding pemisah
itu dalam sajaknya yang
menyentuh, Der Panther. Di
kebun itu ia lihat seekor
macan kumbang menatap ke
luar dari kerangkengnya, tapi
Pandangannya, dari balik
lintasan jeruji
jadi lelah, tak mampu
menangkap
apa pun lagi. Seakan ada
ribuan jeruji,
dan di belakang sana: dunia
tak ada lagi.
Jardin des Plantes, tempat
macan itu disisihkan, dibangun
pada 1793. Seperti London Zoo
(didirikan pada 1828) ia bagian
dari zaman yang makin
mendorong "the cultural
marginalization of animals"
yang digambarkan John
Berger: zaman kerakusan,
zaman kemajuan. Berger
(dalam Why Look at Animals)
memandang kebun binatang
sebagai "dukungan untuk
kekuasaan kolonial modern".
Ke Paris dan London satwa
negeri jajahan didatangkan
sebagai bagian dari jarahan.
Dan penjajahan tak hanya di
situ. Hewan dibawa mendekat,
tapi dihapus. Imajinasi modern
membuatnya hanya makhluk
imitasi. Walt Disney
menciptakan Donald Duck
pada 1934: si bebek
berperilaku seperti warga
kelas menengah Amerika.
Dalam kartun ini manusia
adalah template�pola yang
sebelumnya sudah tampak
dalam The Jungle Book
Rudyard Kipling. Kita ingat
tokohnya, Mowgli. Anak ini
besar bersama serigala di
hutan India itu. Tapi di
sekitarnya satwa liar yang
berbudi atau yang jahat tampil
dalam wajah orang: si
penyayang atau si pembenci.
Di akhir abad ke-19 itu, Kipling
membaca sejarah hanya
sebagai wacana manusia.
Bahkan baginya "manusia"
adalah sang pembentuk
peradaban, dan peradaban
adalah kolonisasi modernitas,
tugas orang kulit putih, "the
white man's burden".
Tak ada lagi sejarah lain. Dulu
ada catatan tentang pertautan
satwa dengan manusia.
Manusia menamai hewan dan
memandang diri sendiri
dengan nama itu: "Crazy
Horse" di Amerika, "Hayam
Wuruk" di Majapahit.
Hubungan mimetik itu juga
hubungan empatik: hewan
adalah liyan, bukan imitasi; ia
tak untuk diringkus. Kerbau Si
Binuang dalam cerita Cindur
Mata punya misterinya sendiri.
Tentu, hewan bisa jadi korban;
ia "korban bakaran" dalam
tradisi Yahudi dan kurban
sembelihan dalam Islam. Ia
bisa diperlakukan hanya
sebagai alat tukar untuk
beroleh sesuatu dari Tuhan.
Tapi tak cuma itu. Jika kita
ingat yang menggantikan
putra Ibrahim adalah seekor
domba hidup, bukan benda,
kita akan sadar betapa akrab
dan ambigunya hubungan
sesama makhluk bernyawa.
Avamedh�, upacara raja-raja
Hindu, lebih menegaskan
ambiguitas itu: antara
kekuasaan dan bukan
kekuasaan, antara
penaklukan dan ketakjuban.
Seekor kuda dilepas ke timur
laut selama setahun. Bila ia
memasuki wilayah yang
bermusuhan, daerah itu harus
direbut. Ketika kuda itu
akhirnya kembali, ia pun
dibunuh�dengan upacara
pengorbanan yang penuh
hormat.
Kekejaman, kekuasaan,
pengorbanan: agaknya
manusia selalu diingatkan, ia
hidup bersama "hewan yang
lain". Dalam arti tertentu, ia
juga "hewan yang lain".
Goenawan Mohamad
memerintahkan agar berbuat
baik terhadap segala
sesuatu�. Hendaklah kalian
menajamkan pisau [yang akan
dipakai] dan senangkanlah
hewan yang akan
disembelih"�Hadith.
Di abad ke-21, hewan
menghilang. Kita memang
melihat kambing dan sapi
berderet di pasar tepi jalan.
Tapi bahkan di hari raya
kurban, orang kota besar tak
menemui makhluk hidup itu.
Ternak itu hanya komoditas,
benda-benda yang muncul
dalam nilai tukar. Mereka
dengan mudah dibeli dan
dikirim ke tempat
penyembelihan. Dan dalam
pesta makan yang asyik
kemudian, ada sesuatu yang
dilupakan�sesuatu yang
sebenarnya hari itu
dikukuhkan kembali: pertalian
manusia dengan apa yang
hidup dan yang mati.
Pertalian itulah (yang
diisyaratkan hadith, hingga
kita harus "berbuat baik
terhadap segala sesuatu")
yang membuat hari raya
kurban tak dimaksudkan
sebagai hari pembantaian
massal. Kematian hewan
adalah saat yang khidmat. Ia
secara radikal berbeda
dengan jam-jam produksi
daging di abattoir Amerika,
yang sejak pertengahan kedua
abad ke-20 didesain Grandin
untuk meningkatkan efisiensi
dan laba. Di ruang-ruang
pembunuhan itu, trauma,
kesedihan, dan hal sejenisnya
akan dianggap pemborosan.
Di situlah bedanya: hari raya
kurban bukan hari yang acuh
tak acuh. Di hari itu kita
sebenarnya tak hanya
mendengar cerita tentang
dahsyatnya iman Nabi
Ibrahim, tapi juga kesedihan
hatinya yang dalam:
pengorbanan itu amat besar
maknanya karena ada
hubungan yang tak
tergantikan antara yang akan
mengorbankan dan yang akan
dikorbankan. Maka di hari
kurban, manusia diharapkan
peka akan kekejaman yang
akan dilakukan dan kesalahan
yang bisa terjadi. Dengan
pisau yang terhunus, manusia
tak pantas berlaku bengis.
Nabi pernah menegur
seseorang yang sebelum
menyembelih menginjakkan
kakinya di atas pipi kambing
seraya mengasah pisau.
Kekejaman tak boleh berkali-
kali.
Di rumah jagal modern,
kekejaman bisa berkali-kali.
Tapi dengan teknologi yang
berjarak. Manusia tak akan
berbisik buat menyenangkan
lembu yang akan dibunuh;
nyawa hanya angka. Para
operator abattoir tak akan
peduli bila yang akan dipotong
seekor sapi muda yang
kemarin berdiri manis di
padang rumput�sapi yang tak
tergantikan, sapi yang
menitikkan air mata�bukan
calon daging yang akan
diganti uang.
Kapitalisme, atau sistem apa
pun yang mengasingkan hidup
dari kehidupan, membuat
alam & hewan hanya sebagai
cadangan konsumsi yang
dihitung. Orang lupa bahwa
"ada" berarti "menjadi-
dengan-yang-lain". Tiap kali
manusia mengkonsumsi
sesuatu, sesuatu pun
berkorban, sesuatu pun
dikorbankan.
Tapi manusia rakus dan hewan
diubah. Para satwa diletakkan
dalam kotak; "mereka" bukan
lagi "kita". Dinding pemisah
dibangun, sering secara
harfiah.
Dari Jardin des Plantes, Paris,
Rilke, sang penyair,
melukiskan dinding pemisah
itu dalam sajaknya yang
menyentuh, Der Panther. Di
kebun itu ia lihat seekor
macan kumbang menatap ke
luar dari kerangkengnya, tapi
Pandangannya, dari balik
lintasan jeruji
jadi lelah, tak mampu
menangkap
apa pun lagi. Seakan ada
ribuan jeruji,
dan di belakang sana: dunia
tak ada lagi.
Jardin des Plantes, tempat
macan itu disisihkan, dibangun
pada 1793. Seperti London Zoo
(didirikan pada 1828) ia bagian
dari zaman yang makin
mendorong "the cultural
marginalization of animals"
yang digambarkan John
Berger: zaman kerakusan,
zaman kemajuan. Berger
(dalam Why Look at Animals)
memandang kebun binatang
sebagai "dukungan untuk
kekuasaan kolonial modern".
Ke Paris dan London satwa
negeri jajahan didatangkan
sebagai bagian dari jarahan.
Dan penjajahan tak hanya di
situ. Hewan dibawa mendekat,
tapi dihapus. Imajinasi modern
membuatnya hanya makhluk
imitasi. Walt Disney
menciptakan Donald Duck
pada 1934: si bebek
berperilaku seperti warga
kelas menengah Amerika.
Dalam kartun ini manusia
adalah template�pola yang
sebelumnya sudah tampak
dalam The Jungle Book
Rudyard Kipling. Kita ingat
tokohnya, Mowgli. Anak ini
besar bersama serigala di
hutan India itu. Tapi di
sekitarnya satwa liar yang
berbudi atau yang jahat tampil
dalam wajah orang: si
penyayang atau si pembenci.
Di akhir abad ke-19 itu, Kipling
membaca sejarah hanya
sebagai wacana manusia.
Bahkan baginya "manusia"
adalah sang pembentuk
peradaban, dan peradaban
adalah kolonisasi modernitas,
tugas orang kulit putih, "the
white man's burden".
Tak ada lagi sejarah lain. Dulu
ada catatan tentang pertautan
satwa dengan manusia.
Manusia menamai hewan dan
memandang diri sendiri
dengan nama itu: "Crazy
Horse" di Amerika, "Hayam
Wuruk" di Majapahit.
Hubungan mimetik itu juga
hubungan empatik: hewan
adalah liyan, bukan imitasi; ia
tak untuk diringkus. Kerbau Si
Binuang dalam cerita Cindur
Mata punya misterinya sendiri.
Tentu, hewan bisa jadi korban;
ia "korban bakaran" dalam
tradisi Yahudi dan kurban
sembelihan dalam Islam. Ia
bisa diperlakukan hanya
sebagai alat tukar untuk
beroleh sesuatu dari Tuhan.
Tapi tak cuma itu. Jika kita
ingat yang menggantikan
putra Ibrahim adalah seekor
domba hidup, bukan benda,
kita akan sadar betapa akrab
dan ambigunya hubungan
sesama makhluk bernyawa.
Avamedh�, upacara raja-raja
Hindu, lebih menegaskan
ambiguitas itu: antara
kekuasaan dan bukan
kekuasaan, antara
penaklukan dan ketakjuban.
Seekor kuda dilepas ke timur
laut selama setahun. Bila ia
memasuki wilayah yang
bermusuhan, daerah itu harus
direbut. Ketika kuda itu
akhirnya kembali, ia pun
dibunuh�dengan upacara
pengorbanan yang penuh
hormat.
Kekejaman, kekuasaan,
pengorbanan: agaknya
manusia selalu diingatkan, ia
hidup bersama "hewan yang
lain". Dalam arti tertentu, ia
juga "hewan yang lain".
Goenawan Mohamad
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !