Fitrah Manusia Memang Jahat


Berita-berita soal kejahatan korupsi
selalu tersuguh tiap hari.
Korupsi yang satu belum usai,
korupsi lain sudah menjemput.
Apakah fitrah manusia
memang jahat dan korup?

Cendekiawan Muslim
Jalaluddin Rakhmat dalam
bukunya Reformasi Sufistik
menceritakan, pada dini hari
bulan Maret 1964, tidak
kurang dari 38 orang tetangga
di Kew Gardens Apartments di
New York menyaksiakan
seorang wanita muda,
Catherine ‘Kitty’ Genovese,
dianiaya.
Penyerangnya, Wiston
Moseley, memerlukan waktu
tiga puluh menit untuk
membunuh korbannya. “Oh
My God! Ia menusukku.
Tolong!” ia menjerit-jerit.
Tidak seorang pun
menolongnya. Bahkan tak
seorang pun mengangkat
telepon untuk memanggil
polisi.
Berita itu menjadi berita
utama pada banyak Koran di
Amerika. Para pakar ditanya
mengapa tetangga bisa cuek
begitu. Seorang psikiater
mengatakan, “Pembawaan
manusia memang begitu—
senang menyaksikan orang
dibunuh.” Seorang sosiolog
berkata, “Inilah akibat alienasi
masyarakat kota.”

Orang kebanyakan terusik
dengan pertanyaan: apakah
manusia itu pada dasarnya
baik atau jahat? Jean Jacques
Rousseau dan Karl Marx, juga
belakangan psikolog humanis,
seperti Abraham Maslow,
memandang manusia pada
dasarnya baik. Masyarakatlah
yang membuat mereka jahat.
Machiavelli, Thomas Hobbes
dan Sigmund Freud
berpendapat sebaliknya.
Manusia pada dasarnya jahat.
Masyarakat ada untuk
mengendalikan
kecenderungan jahatnya.
Akhirnya, yang paling banyak
dianut adalah alturistic
paradox: manusia punya
kecenderungan baik dan
buruk sekaligus. Kita adalah
makhluk agresif, tapi sekalgus
penuh kasih. Dalam diri kita
ada kekejaman dan kasih
sayang. Ada kebakhilan dan
kedermawanan. Ada
keinginan untuk merusak dan
juga membangun.

Apakah pandangan Islam
mengkuti alturistic paradox?
Taj al-'Arus menyebut fitrah
sebagai 'kecenderungan,
watak, atau sifat-sifat alamiah
yang dibawa sejak lahir, asli
dan bersifat dasar.'
Tetapi, Taj al-'Arus juga
beserta kamus-kamus klasik
Arab lainnya menyebut fitrah
sebagai 'kemampuan untuk
mengenal Tuhan, untuk
menerima kebenaran, dan
akhirnya agama Islam itu
sendiri' (Al-Mughrib).
Al-Jurjani menyebut fitrah
sebagai aljabalah al
mutahayyi'ah li qabul ad-din.
Salah satu makna fitrah
adalah Sunnah Rasulullah saw,
berdasarkan hadis pembacaan
zikir sebelum tidur, "Jika kamu
mati pada malam itu, kamu
mati dalam fitrah."
Walhasil, tidak semua
pembawaan alamiah kita
disebut fitrah. Atau, apakah
Islam menganggap manusia
itu pada dasarnya baik saja?
Kalau melihat ayat-ayat Al-
Qur'an, kita menemukan
bahwa manusia juga punya
kecenderungan untuk jahil,
bakhil, tergesa-gesa, suka
berkeluh kesah, zalim, dan
menentang Tuhan.

Jadi, egoisme, mementingkan
diri sendiri dan penentangan
kepada Tuhan adalah
pembawaan alamiah kita,
tetap jelas tidak akan disebut
fitrah.
Dalam Musthalahat
Qur'aniyah, Dr Shalih
Adhyamah membedakan
antara fithrah dan gharizah.
Kedua-duanya pembawaan
dasar kita. Dalam gharizah,
kita berserikat dengan
binatang. Manusia adalah
bagian dari binatang
menyusui.

Fitrah adalah ciri khas
manusia. Fitrah adalah potensi
untuk berevolusi menuju
ketinggian, keluhuran dan
kesempurnaan. Binatang tidak
punya fitrah. Karena itu,
fitrah bisa saja dikembangkan
sebaik-baiknya atau menurun
serendah-rendahnya. Manusia
bisa hidup berdasarkan
fitrahnya atau meninggalkan
fitrahnya.

inilah.com

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri