Ayo Bikin BTS Sendiri !

100 4056 ES Tower BTS 2
adult image hosting


INILAH.COM, Jakarta - Tak
perlu uang miliaran untuk
membangun BTS sendiri.
Tetapi cukup dengan biaya
Rp200 juta. Prospektif dan
menjanjikan.
Seperti kita ketahui,
perusahaan operator seluler
mendirikan banyak menara
Base Transceiver Station (BTS)
untuk mengoperasikan
jaringan telekomunikasinya.
Tapi berapa biaya yang
dibutuhkan untuk membangun
sebuah BTS? Tahukah Anda
bahwa satu menara memakan
dana milyaran?
Satu manara BTS biasanya
terdiri atas tiga pemancar,
dan satu pemancar harganya
Rp3 milyar. Hasilnya, angka
yang mencengangkan! Tapi
operator tentu dapat
membangunnya berkat
konsumen operator seluler.
Onno W. Purbo, akademisi dan
praktisi TIK, mengatakan,
biaya BTS didirikan dengan
uang yang kita belanjakan
untuk membeli pulsa ponsel.
Bisnis telekomunikasi adalah
bisnis yang menguntungkan.
Orang tidak segan
membelanjakan uang untuk
beli pulsa.
Tarif pulsa yang ada sekarang
ini sudah tergolong murah.
Namun, ternyata biaya itu
masih bisa lebih murah lagi.
"Dengan menggunakan
software open source dan
sebuah hardware yang tidak
terlalu besar, kita bisa bikin
BTS sendiri,” ungkap Onno.
Itulah yang disebut dengan
OpenBTS. OpenBTS adalah
teknologi BTS open source
yang bekerja dengan sebuah
hardware yang bernama USRP
(Universal Software Radio
Peripheral) dan software
terbuka asterisk.
USRP menghubungkan
OpenBTS dengan jaringan
standar telepon seluler (GSM),
sedangkan asterisk berfungsi
menginterkoneksikan dengan
jaringan telepon lainnya
seperti PSTN (Public Switched
Telephone Network) atau
operator telekomunikasi lain
dengan menggunakan VoIP
(Voice over IP).
Onno sudah
mengimplementasikan
teknologi ini. Ia pernah
mengajarkan dan
mempresentasikan OpenBTS
di Aceh. Kala itu, secara
kebetulan presentasinya
disaksikan oleh Pemerintah
Daerah Aceh. Di luar dugaan,
tanggapan mereka sangat
positif. "Mereka sebenarnya
mau yang begituan,” katanya.
Tujuannya, untuk
mempermudah komunikasi
lokal daerah mereka.
OpenBTS rasanya lebih banyak
manfaatnya ketimbang risiko
buruknya. OpenBTS dapat
membantu daerah terpencil
yang tidak disentuh operator
seluler, seperti misalnya
pedalaman Papua. "Orang
Papua punya ponsel, tapi
biasanya mereka
menggunakannya untuk
mendengarkan musik. Beli
pulsa (ponsel) juga percuma,
karena nggak ada BTS-nya.”
“Tidak ada operator seluler
yang berani masuk ke
kawasan pedalaman, karena
biaya pasang BTS sangat
mahal, dan mereka tidak
melihat ada potensi konsumen
di sana, sehingga mereka
akan rugi,” ujar Onno.
Karena itulah, OpenBTS akan
sangat bermanfaat
membangun infrastruktur
telekomunikasi di daerah
seperti itu. Sepertinya
memang logis, melihat
operator telekomunikasi
selalu memberikan layanan
hanya kepada yang mampu
bayar. Tapi di sisi lain, orang-
orang di wilayah pedalaman
yang terpencil akan semakin
terkucil tanpa komunikasi
dengan dunia luar.
Selain area terpencil, Onno
juga mengatakan bahwa
OpenBTS ini sangat baik
didirikan di kawasan paska
bencana yang infrastrukturnya
rusak parah, serta di daerah
perbatasan. Cara
membuatnya mudah.
"Lagipula protokol yang
digunakan adalah protokol
asterisk, yakni protokol yang
persis sama dengan yang
digunakan Telkomsel,” ujar
Onno.
Tapi belum ada yang
mengimplementasikan
teknologi ini secara nyata di
Indonesia. Alasannya,
“Alatnya ini (USRP) ada di
Amerika. Kalau ada yang
berani beli, harganya sekitar
Rp10 juta. Mahasiswa
Indonesia bisa beli satu dan
mengoprek alat itu supaya
nanti bisa bikin sendiri.”
“Biaya membangun BTS mahal
sekali. Tapi jika kita bisa
membuat sendiri, biaya
telekomunikasi akan semakin
murah,” tambahnya.
Software menggunakan open
source yang artinya dapat
diperoleh gratis. Walaupun
demikian, kendala utama
dalam mendirikan OpenBTS
adalah ketidak-adaan
hardware, dan masalah
frekuensi. Di Indonesia kedua
hal itu diatur undang-undang.
"Karena frekuensi radio itu
adalah sumber daya alam
yang dikuasai negara. Jadi kita
nggak bisa sembarangan
menggunakannya.
Menggunakan frekuensi tanpa
izin akan melanggar hukum,"
katanya. Onno sebenarnya
pernah mengusulkan
pemanfaatan teknologi
OpenBTS ini kepada
Kementrian Komunikasi dan
Informatika.
"UU mengatakan bahwa di
wilayah yang tidak
beroperator, rakyat boleh
bikin sarana komunikasi
sendiri. Tapi karena untuk
melaksanakannya butuh
peraturan, dan pemerintah
kesulitan membuat
peraturannya, maka
pemerintah memberi
alternatif lain: masyarakat di
daerah paska bencana, yang
infrastruktur komunikasinya
rusak, boleh mendirikan
sarana komunikasi dengan
meminta operator resmi
sebagai payungnya, tapi
dengan harga nego,” tutur
Onno.
Bandingkan dengan
pembuatan OpenBTS yang
biayanya hanya sekitar Rp200
juta. Sarana ini tentunya akan
membantu proses komunikasi
antara kawasan yang dilanda
bencana dengan wilayah luar.
"Di Indonesia sarana ini sangat
bisa diterapkan. Orang
Indonesia pintar-pintar, tapi
alatnya belum ada. Padahal
ini sangat menguntungkan dan
sangat dibutuhkan,” katanya.
Tujuannya bukan untuk
menyaingi vendor
telekomunikasi yang sudah
ada, walaupun itu juga sangat
bisa dilakukan). Saat ini
vendor telekomunikasi
umumnya belum tau tentang
teknologi OpenBTS.
"Kalau mereka tau, bahwa
ada alternatif sarana
telekomunikasi yang lebih
murah, yang dapat digunakan
banyak orang tanpa perlu
bayar pulsa mahal, dapat
dirakit dan di-install sendiri,
bisa jadi vendor-vendor yang
gencar perang tarif pulsa
akan gulung tikar.," ujarnya/
Ancaman serius? Tidak. Ambil
saja sisi positifnya. Karena
ilmu pengetahuan tak selalu
profit oriented. Kalau orang
Indonesia jadi pintar dan lebih
bisa memanfaatkan teknologi
secara tepat guna, kita sendiri
yang untung.
Karena itu, saat ditanya,
apakah OpenBTS adalah open
source yang paling potensial
dan menguntungkan, Onno
dengan gamblang
mengatakan “Iya”.
Jadi, ada yang mau coba?

Comments

Post a Comment

silahkan berkomentar kawan !

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri