Secercah Solusi Krisis Pangan

Apa yang terjadi
jika kita
kehilangan
makanan ibu,
makanan yang secara tradisi
diturunkan dan kita kenal
sejak kecil? Kita akan
kehilangan sebagian
kemanusiaan kita, begitu
keyakinan Prof Murdijati
Gardjito (69).
Menurut Guru Besar Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah
Mada ini, makanan tidak
hanya terkait masalah perut,
tetapi terutama budaya.
”Makanan terkait perilaku
dan gaya hidup. Kalau
makanannya berubah,
perilakunya juga berubah
sesuai lingkungan yang
dominan, ” tegas Murdijati,
Senin (21/2/2011) siang di
Gedung Pusat Antar
Universitas UGM.
Rangkaian pekerjaan di
dapur antara orang yang
memakan jagung, nasi, dan
ubi saja sudah berbeda. Cara
memasak juga berbeda.
Semua itu membentuk
budaya masak yang khas,
yang membedakan antara
budaya masak bertungku dan
budaya masak memakai
kompor, gas, serta listrik.
Hasil beberapa jenis masakan
ibu memiliki makna filosofi
khusus yang diperlukan
dalam beberapa ritual.
Tumpeng, misalnya, bagian
puncaknya menyimbolkan
hubungan manusia dengan
Tuhan, sayuran di sekeliling
tumpeng menggambarkan
banyaknya masalah di dunia,
kacang panjang
menyimbolkan usia panjang,
kangkung lika-liku hidup.
Pada beberapa keluarga,
tata cara makan urut awu,
artinya berurutan mulai dari
ayah, lalu ibu, anak paling
tua, hingga akhirnya anak
paling muda. Terlepas dari
asumsi budaya patriarkal,
tata cara makan itu, menurut
Murdijati, mengajarkan
toleransi dan tenggang rasa
sejak di meja makan.
”Orang diajari sabar, mau
memikirkan kepentingan
orang lain, dan tidak main
serobot, ” ujarnya.
Dia sangat prihatin karena
generasi sekarang tidak tahu
lagi aspek budaya pada
makanan ibunya. Mereka
tidak lagi merasakan
kebersamaan ibu dan ayah
mereka di dapur sebab ayah
dan ibu sibuk bekerja, tak
punya banyak waktu buat
keluarga. Tidak ada lagi yang
menanamkan kebajikan
seperti toleransi, tenggang
rasa, dan kebersamaan di
meja makan, yang menjadi
cermin hal serupa di dalam
masyarakat.
”Jadi, jangan heran kalau
toleransi dan tenggang rasa
makin berkurang. Orang
main serobot di mana-mana,”
tambah Murdijati.
Pemodal besar yang
membaca perubahan gaya
hidup di dalam rumah
kemudian menawarkan
makanan instan. Dengan
iklan yang gencar, makanan
instan menjadi pilihan utama
konsumen. Makanan ibu
makin terlupakan.
Apa yang akan terjadi
kemudian? Ketika kita
melupakan makanan ibu,
sebenarnya kita sedang
membiarkan diri kita
tercerabut dari akar budaya
sendiri. ”Kita asing dengan
diri sendiri sebab apa yang
kita miliki sekarang
(termasuk makanan) adalah
hasil meniru kebudayaan
orang lain, ” ujar Murdijati.
Tersapu makanan instan
Murdijati yang aktif di Pusat
Kajian Makanan Tradisional
UGM sejak 1998
memperkirakan, 60 persen
makanan ibu atau makanan
tradisional Indonesia sudah
sulit ditemukan dan ditelusuri
jejaknya —untuk tidak
mengatakan punah. Dari
kajian Murdijati, makanan
tradisional satu per satu
hilang setelah gencarnya
kampanye makan mi instan
di berbagai media.
”Mi instan menyapu bersih
semua makanan (ibu) yang
ada sebab makanan itu
dicitrakan praktis, modern,
dan seolah-olah murah.
Sekarang bisa dicek, 95
persen rumah tangga (di
Indonesia) menyimpan mi
instan, ” tambah Murdijati.
Hantaman terhadap
makanan tradisional juga
datang dari makanan cepat
saji , dengan ”busana” lebih
mentereng, modern, dan
berkelas sehingga
menyilaukan mata.
” Sekarang, kita bangga
makan di restoran fast food
di mal. Kita merasa modern
dengan makan di sana,
padahal gizi fast food tidak
seimbang, ” ujar Murdijati.
Nah, ketika makanan
tradisional hilang, komoditas
yang menunjangnya pun
terabaikan. Murdijati
memberikan contoh, 14 dari
24 jenis umbi yang ada di
Daerah Istimewa Yogyakarta
sekarang punah karena tidak
ada yang mengonsumsi dan
mengembangkannya.
Komoditas tersebut makin
kurang dilirik seturut ”politik
beras” yang diusung Orde
Baru terlalu
menyederhanakan masalah.
Menurut Murdijati, ”Yang
dipikir hanya produksi beras,
tetapi tidak memikirkan
pendidikan konsumen. ”
Ketika beras melimpah,
semua orang dari Sabang
sampai Merauke
mengonsumsi beras,
termasuk yang sebelumnya
makan ubi, singkong, dan
sagu. ”Apalagi orang yang
makan nasi dianggap status
sosialnya tinggi. ”
Konsumsi beras kita, lanjut
Murdijati, sudah berlebihan.
Kita mengonsumsi 139,15
kilogram beras per kapita
per tahun. Padahal dunia
hanya merekomendasikan 60
kilogram.
Situasi itu menimbulkan
problem di bidang kesehatan,
ekonomi, dan sosial.
Kalaupun produksi beras
digenjot, tidak akan mampu
mengejar pertambahan
jumlah penduduk. Akhirnya
beras jadi mahal dan sulit
diakses penduduk miskin.
Bayang-bayang krisis pangan,
lanjut Murdijati,
didengungkan orang hampir
setiap hari. Namun, menurut
dia, tingkat ketersediaan
pangan kita sebenarnya
cukup dan bervariasi, asal
tidak terpaku hanya
mengonsumsi beras.
Potensi umbi alam di Provinsi
DIY, misalnya, cukup untuk
memberi makan 72 persen
dari 3 juta penduduk
seandainya mereka sehari
tidak makan nasi. Jika umbi
dikembangkan secara
intensif, bisa memberi makan
79 persen penduduk. Jika
dikembangkan secara
intensif dan ekstensif, bisa
memberi makan 89 persen
penduduk.
”Itu tanpa upaya keras lho
karena sudah ada di alam,
tetapi tidak pernah
diumumkan karena
pemerintah tidak punya data.
Yang punya data, kami di
pusat- pusat studi pangan, ”
katanya.
Dengan demikian,
seharusnya tidak ada
kekurangan pangan atau
kelaparan di Indonesia.
Persoalannya, orang sudah
telanjur bergantung pada
beras yang harganya kian
mahal dibandingkan sumber
karbohidrat lain.
Pertarungan
Murdijati berpendapat, jika
serius ingin menjaga
ketahanan pangan,
pemerintah harus segera
mendata makanan ibu dan
komoditas penunjangnya.
Setelah semua data dari
seluruh Indonesia itu
diintegrasikan, baru bisa
dibuat strategi pangan
berbasis kekayaan alam
sendiri.
Dalam konteks ini, posisi
makanan ibu dan semua
komoditas penunjangnya
menjadi sangat penting
karena menjadi bagian
program jangka panjang
(roadmap) pengembangan
produk makanan baru yang
bisa diterima luas. ”Kalau
bicara ketahanan pangan
sekadar bicara beras, itu
omong kosong. Beras tetap
harus surplus, tetapi orang
tidak perlu semuanya makan
nasi, ” ujar Murdijati.
Selain itu, perlu
menanamkan kesadaran soal
makanan agar masyarakat
tidak mudah termakan iklan
makanan instan dan cepat
saji produksi kapitalis global,
yang umumnya hanya
memikirkan kepentingan
bisnis. Menurut Murdijati, jika
kita gagal memberikan
pemahaman itu, kita akan
kian terjebak dalam situasi
yang sulit: bergantung pada
produsen makanan global,
terutama fast food.
Murdijati menganjurkan agar
penyadaran soal makanan
ditanamkan lagi lewat
keluarga. ”Keluarga
sebaiknya menghidupkan lagi
makanan tradisional sebab
memasak dan mengonsumsi
makanan di rumah akan
membangun kebahagiaan
dan kebajikan yang semakin
hilang.”
Seruan seperti itu selaras
dengan gerakan slow food
yang belakangan muncul.
”Gerakan ini (slow food)
merupakan antitesis fast
food. Jadi, serba berlawanan.
Fast food berbasis modal
besar melawan slow food
yang berbasis konsumen, ”
katanya.
Slow food yang berlambang
keong nan lamban
berlawanan dengan fast food
yang mengusung kecepatan
dan percepatan semu, yang
hanya menguntungkan
kapitalisme global.
Gerakan slow food sudah tiga
kali mengadakan konferensi
dunia di Milan, Italia.
Seruannya, antara lain,
makanan yang masuk ke
dalam tubuh harus diketahui
asal-usulnya; makanan harus
dimasak dengan cara-cara
yang diketahui dan bahan-
bahannya diyakini tidak
mengandung zat berbahaya;
memberikan penghargaan
kepada orang yang memasak
hidangan yang kita makan;
masyarakat/institusi
semestinya punya kebun atau
kantin untuk memasak
makanan sehingga semuanya
terkendali.
”Generasi nenek harus
kembali ke dapur untuk
mengajari cucunya memasak
karena generasi ibu dan
bapak sekarang telah
kehilangan orientasi di dapur
lantaran sibuk berkarier di
luar rumah,” imbau
Murdijati.
Gerakan slow food yang
berbasis pada makanan ibu
terutama dimaksudkan untuk
meningkatkan posisi tawar
konsumen terhadap produsen
makanan global yang selama
ini menjajah selera
konsumen.
”Jadi, ini gerakan politis,”
tegas Murdijati.
Editor: A. Wisnubrata
Sumber : Kompas Cetak

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri