Misteri Kata Berulang
Putu Wijaya
*) Dramawan, sastrawan
SEBUAH kata tidak pernah
berdiri sendiri. Setelah
disepakati untuk mengusung
sebuah pengertian, ia aktif
bekerja dan lantas menimbun
sejarah. Dalam perjalanannya,
tak bisa dikontrol, ia bisa
menaikkan berbagai
penumpang. Tak sedikit
penumpang gelap yang ikut
menempel, sehingga kata itu
tumbuh, berkembang, dan
bisa membelot.
Kata "makan" mengandung
pengertian mengisi perut.
Memasukkan makanan ke
dalam mulut untuk bertahan
hidup. Tapi kemudian kata itu
dipakai juga untuk
menunjukkan memasukkan
pengetahuan ke dalam otak,
seperti dalam "makan
sekolahan". Dalam "makan
hati", tidak ada lagi urusan
dengan makan, karena yang
dimaksudkan adalah situasi
"sakit hati".
Kata "selesai" adalah lawan
dari kata "mulai", artinya
berakhir atau rampung.
Dalam perkembangannya,
kata itu bisa berarti macat,
mati, atau sempurna. Tetapi
kemudian melompat untuk
mewakili pengertian yang
sama sekali tak terbayangkan
sebelumnya. Dalam kalimat:
"Selesai sudah perjuangan
yang semula dipujikan akan
membawa kejayaan itu",
"selesai" berarti gagal.
Kamus mencoba membatasi
petualangan kata. Tetapi
bahasa tidak bisa dikekang.
Kata-kata bagaikan kuda liar
yang akan terus saja berlari,
bahkan menembus wilayah-
wilayah terlarang yang semula
sama sekali bukan trayeknya.
Sebuah kata yang sangat
lumrah, lewat lika-liku
perjalanannya, berkhianat jadi
pendukung pengertian yang
sebaliknya karena
disampaikan dengan intonasi
lain. Kata "indah", "cantik",
"pintar", dan "hebat", yang
merupakan sebuah puncak
pujian, bisa menjadi hujatan,
celaan, dan umpatan,
bergantung pada bagaimana
ia diucapkan.
Arti kata kadang berhasil
dipatok/diduga oleh kamus.
Tetapi banyak sekali kata yang
kemudian ingkar, menerobos
takdir, melawan arti bakunya.
Karena itu, kamus harus
selalu rajin membersihkan diri
kalau tidak mau menjadi
hanya timbunan kata yang
sudah mati. Kelakuan manusia
pemakai kata sangat
berperan.
Dalam bunyi yang berulang,
ada misteri, energi, dan
nuansa magis. Mantra adalah
pengulangan-pengulangan
yang membuat sang pemakai
kata bisa kosong, lalu
kemasukan. Seperti nada yang
berulang-ulang dalam musik
"tripping" yang bisa membawa
terbang dan menghanyutkan
pendengarnya "teler".
Dalam kata-kata yang
berulang, ada pendalaman
dan juga pergeseran
pengertian. Pengulangan
adalah penerus, pengeras arti,
tapi bisa juga menyulap
sebuah kata untuk menunjuk
sesuatu yang sama sekali
baru. "Malam" dan "malam-
malam" masih terkait tetapi
sudah berbeda. "Jalan" dan
"jalan-jalan" juga masih dekat.
Tapi "main" dan "main-main"
sudah berubah arti. Begitu
juga "mata" dan "mata-mata".
Atau "rupa" ketika menjadi
"rupa-rupa" dan "tiba"
sesudah menjadi "tiba-tiba"
artinya berbeda sekali.
Almarhum Arifin C. Noer
adalah penulis lakon/
sutradara/aktor yang sering
membuat judul lakon dengan
kata berulang. Misalnya
Mega-mega, Kapai-kapai, dan
Umang-umang. Pengulangan
itu tidak lepas dari jiwa
musikal Arifin (yang memiliki
suara indah layaknya
penyanyi) atau karena ia juga
seorang penyair, sehingga
irama menjadi penting.
Tak hanya menggandakan
bunyi, Arifin juga mengubah
konsonan pengulangan itu.
Seperti Kucak-kacik. Dalam
pengulangan yang berubah
bunyi, ada hajat untuk
mengeraskan. Memberikan
tekanan lanjut, seperti pada
kata "morat-marit". Atau
"huru-hara", "wara-wiri", dan
"mondar-mandir". Perubahan
vokal itu menyebabkan terasa
ada dinamika.
Ternyata ada konsep gerak
(akting) dalam kata-kata. Hal
tersebut jelas kalau kita simak
sandiwara radio. Cerita-cerita
seram jauh lebih seru ketika
didengarkan ketimbang
diperlihatkan dengan
peragaan. Kata-kata dengan
demikian tidak hanya simbol,
tetapi juga kekuatan/senjata
yang mampu merangsang/
menggerakkan penonton dari
jarak jauh.
Kata-kata bukan hanya
perjanjian pengertian,
melainkan remote control
emosi pendengarnya. Tak
mengherankan kalau
dikatakan ada seribu makna
dalam sebaris kalimat. Konon,
puisi dapat mengganti
beberapa pucuk senapan
dalam pertempuran. Tak aneh
kalau kata-kata dijaga ketat
dalam pergaulan karena
dapat memicu keributan.
Kata-kata memiliki bakat
memberontak. Kata bisa
berpotensi sebagai bom yang
membuat sebuah kalimat bisa
meledak dan menimbulkan
huru-hara. Maka kata-kata
pun diberi persyaratan
busana, kalau mau digelar di
ruang publik. Sebuah penerbit
pernah minta penulis
mengganti kata "ngeloco"
dengan "masturbasi".
Sebenarnya kedua kata itu
pengertiannya sama, tetapi
yang pertama dianggap cabul.
Ternyata ada watak/sifat
dalam kata. Kata-kata seperti
makhluk hidup yang berbeda
warna satu sama lain. Ada
kata yang selamanya manis.
Ada yang berbakat jadi
prajurit. Ada yang
temperamental dan
berbahaya karena dapat
membunuh tuannya sendiri,
kalau yang bersangkutan tidak
berhati-hati.
Kata juga tidak mau dibatasi
oleh kesepakatan ketika ia
dilahirkan. Ia bagaikan
seorang ronin, samurai
bayaran. Berkelana dan
mengabdi kepada siapa saja
yang mau membayar mahal,
sebagai tuannya.
Tapi kata-kata juga tidak
abadi. Ia bisa mati, bila tidak
pernah dipakai lagi. Seperti
kata "porem" dalam
ungkapan "porem wajah"
yang sudah diganti "raut
wajah". Namun hebatnya,
kata yang sudah mati
sewaktu-waktu bisa bangkit
dan menyerang kembali
dengan garang bila disulut.
Kata "ganyang" yang berasal
dari bahasa Jawa dan
dikobarkan oleh Bung Karno
pada masa "ganyang
Malaysia" sampai kini
berkibar.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !