Menteri Dan Tukang Becak

Cerpen:
Ramdhani Nur
"Saya ini
menteri!" "Saya
ini tukang
becak!" Menteri
memaki. Tukang becak
sama. Itu awal
perselisihannya. Masing-
masing berkeras minta
dilayani segera. Bukan
masalah istimewa
sebenarnya, cuma soal ban
yang bocor terhunus paku.
Hanya saja dalam kondisi
darurat begini semua jadi
merasa perlu diperhatikan.
Tak peduli menteri atau
tukang becak. "Kurang ajar!"
"Kurang asem!"
Menteri maju selangkah.
Tukang becak mendekat tak
hilang gertak. Nafas-nafas
saling terlontar. Terik
memanggang kepala. Otak
seperti mencair, wajar saja.
"Hei, tukang becak!" "Hei,
menteri!"
Belum jadi kerumunan, tapi
adu mulut ini berhasil
menarik perhatian
kendaraan dan orang-orang
yang lalu lalang. Melirik
sambil laju. "Kamu berani ya,
menghalang-halangi urusan
pejabat negara. Kepentingan
rakyat banyak!" "Kamu juga
nekat ya, mengganggu
urusan pejabat rumah
tangga. Kepentingan nyawa
keluarga dan istri!" "Hei,
jangan membalik-balikkan
kata-kataku!" "Biar saja!
Saya memang kebalikanmu!"
Makin seru! Menteri kian
panas hati. Tukang becak
pun makin berani. Lelaki
penambal ban di sana berdiri
bingung. Ada dua ban yang
mengundang rejeki untuk
diperbaiki. Sepuluh ribu
rupiah untuk ban menteri,
empat ribu rupiah untuk ban
tukang becak. Belum
diputuskan mana yang akan
ditambal dahulu. "Nih,
seratus ribu! Cepat
tambalkan ban saya!" uang
disodorkan pada penambal
ban. "Nih, sepuluh ribu! Saya
dahulu!" tukang becak ikutan
mengasongi lembar-lembar
ribuan. Menteri terkekeh
sejadinya. "Mana mau dia
diimingi duit secuil itu."
"Secuil katamu? Ini
penghasilan setengah hari
saya! Tapi saya berani
melakukan itu. Mestinya
kamu juga berani
mengiminginya setengah dari
penghasilanmu sehari, bukan
seratus ribu!" giliran tukang
becak mengakak. "Sialan!!!"
Menteri naik pitam. Hendak
memukul tapi urung. Tukang
becak sudah siap kuda-kuda.
Tapi situasi masih terkendali.
Kali ini satu dua orang
merapat. Tak bertindak
hanya mendecak-decak. Baru
kali ini mereka melihat
menteri dari dekat. "Yakin
itu menteri?" bisik-bisik
bersahut di antara penyaksi.
"Mosok, menteri nyupir
sendiri!" "Mungkin ada acara
pribadi. Mobilnya juga
pribadi." "Kira-kira menteri
apa ya?" "Menteri Keadilan!
Liat aja ngomongnya kayak
pengacara." "Menteri
Kemakmuran. Cuma orang
makmur yang punya mobil
begitu." "Menteri Perawanan
Wanita!" "Hush!" "Lha itu ada
wanita di dalem mobil!"
Tentu saja percakapan ini tak
didengar sang menteri
maupun tukang becak.
Mereka terlalu mahsyuk
pada pertengkaran. Tak
sadar jika orang-orang sudah
makin banyak mengelilingi.
"Satu juta! Saya dulu!" yakin
si menteri. Orang di sekitar
melenguh. Oooh...!
Satu juta? Sudah tak waras
memang. Harga ban mobil
baru saja tak sampai segitu.
Mungkin itu cuma tarif
egonya saja di hadapan
tukang becak. Dan memang
tepat menusuk pada ego
sang tukang becak yang
membuatnya mengkerut.
Tapi tidak buat si penambal.
Ini rezaki nomplok! Susi,
pacarnya selalu bermimpi
meliliki hape bertivi. Dengan
duit segitu bisa saja hal itu
terjadi. Lembar-lembar
ratusan ribu menari-nari
menggoda di depan mata
sang penambal. "Ambil!
Ambil! Ambil!"
Begitu koor yang terdengar
di sekeliling tempat kejadian,
dipimpin seorang lelaki
gendut yang ternyata masih
sepupu tukang tambal ban.
Menteri di atas angin.
Pikirnya, seberuntung-
beruntungnya tukang becak
mendapat rejeki,
penghasilannya pasti tak kan
bisa menyamai deretan uang
sebanyak di genggaman sang
Menteri.
"Becak...!" pekik tukang
becak setelah berpikir lama.
Orang-orang di sekitar
melongo. Mencoba
menunggu apa yang
dimaksud dengan pekikannya
tadi. "Ambil becak saya,
asalkan tambalkan salah
satu bannya yang bocor."
Edan...! Tukang becak panas
hati juga. Sudah sama hilang
kewarasannya. Masak
menawar ongkos tambal ban
dibayar dengan becak. Terus
dia bakal menyisakan apa?
"Sudah ada yang nawar tiga
juta, tapi ini saya kasih cuma-
cuma."
Orang-orang di sekitar
berdecak-decak kagum.
Sebuah becak untuk
membayar ongkos tambal
ban. Luar biasa sekali.
Padahal itu mungkin
kekayaan tertingginya, juga
pintu bagi mengalirnya
rupiah-rupiah. Tapi tak
dipedulikan. Di hadapan
menteri harga dirinya tak
boleh mati. Meski dirinya
hanya seorang tukang becak
yang becaknya tak lagi
dimiliki.
Salah seorang dari penyaksi
yang makin berkerubung,
menyeruak ke barisan
terdepan. Dalam hening,
kemudian dia menaikkan
kedua telapaknya di depan
dada. Perlahan dipertemukan
telapaknya itu membentuk
tepukan. Plok! Plok!
"Selama hidup saya, tak
pernah saya menyaksikan hal
luar biasa seperti ini. Bravo
tukang becak!" ucapannya
berujung pada anggukan dan
tatap saling pandang
penyaksi lainnya. Kemudian
tepukan menular pada
lengan-lengan lainnya. Plok!
Plok! Plok! Plok! Plok! Plok!
"Ya...! Bravo!" "Bravo tukang
becak!" "Viva tukang becak!"
"Bravo!” “Viva!” “Bravo!”
“Viva!"
Suasana jadi gemuruh.
Tukang becak tersenyum
bungah sumringah. Menteri
kecut bersungut-sungut.
Panas hati dan kepalanya.
Tak ada di negara manapun
baik repubik atau monarki, di
mana sang menteri bisa
direndahkan oleh rakyat
jelata. Menteri adalah sosok
istimewa. Hanya sedikit saja
di bawah raja atau kepala
negara. Artinya
penghormatan terhadapnya
pun semestinya tak terlalu
jauh berbeda. Ini sungguh
keterlaluan. Martabat dan
wibawana sebagai menteri
harus dipertahankan. "Kamu
pikir, kamu saja yang bisa
edan? Saya juga bisa!"
lantang Menteri. Digiringnya
mata tukang becak dan para
pengerumun pada mobil yang
roda bagian depannya bocor.
Tangannya lalu menepuk-
nepuk lembut kap mobil yang
bodynya sama mengkilap
dengan kulit bening
perempuan muda yang duduk
di dalamnya. "Mobil!
Hahaha!" Waaaah...!
Kompak serempak wajah-
wajah itu berubah melongo.
Jangan ditanya bagaimana
wajah penambal ban.
Berkali-kali kepalanya
menggeleng. Tubuhnya
serasa melayang hampir
oleng. "Mobil ini saya pesan
langsung dari Jerman. Kalau
dijual, uangnya bisa dibelikan
becak lebih dari 200 buah
hahaha...!" Weeeh!!!
Seperti dikomandoi orang-
orang ikut tertawa. Sebagian
hanya mengangguk-angguk
penuh senyum, termasuk
lelaki pembuat tepuk tangan
untuk tukang becak tadi.
Sementara si gendut, sepupu
penambal ban, terus
mengelus-elus bahu
saudaranya itu. Seolah
sebuah lampu wasiat yang
mengeluarkan jin berwujud
mobil. Satu-satunya orang
yang tampak berbeda cuma
tukang becak saja.
"Bagaimana? Ada tawaran
baru lagi? Hahaha!" Tawanya
tak habis-habis. Jujur, tukang
becak ini tak lagi punya
barang yang lebih berharga
selain becaknya. Rumah
masih ngontrak, kampung
halaman tak punya. Paling-
paling cincin mas 5 gram
milik istrinya. Pasti tak kan
seberapa. Kecuali jika benda
yang ditawarkannya nanti
bukanlah berbentuk barang.
Lalu apa? "Istri!" lantang
tukang becak. ISTRI???
Begitulah reaksi yang
terlontar dari semua
pengunjung serempak.
Terkejut dan tak percaya.
Wah, wah, wah! Ini memang
perlu dipertegas. Tak boleh
main-main. Masa istri
dijadikan obyek penawaran.
Jika tawaran becak dan mobil
saja sudah begitu edan,
apalagi dengan istri. Ini
manusia lho, perempuan!
Keterlaluan! Ego tak boleh
mudah merusak kewarasan
orang. Lebih-lebih hanya
untuk persoalan sepele
seperti tambal ban ini.
"Kamu mau bayar tambal
ban pakai istri kamu?" "Ya!
Muda, cantik dan belum
punya anak. Hahaha!"
Glek! Glek! Glek! Senyap
berganti dengan riuhnya
ludah para pengerumun yang
tertelan. Ternyata banyak
pengunjung yang masih
waras. Menteri telah kalah
edan sepertinya. Diam saja
yang dia bisa. Atau mungkin
dia tengah menimbang-
nimbang tawaran baru. Ini
semua tentang ego. Sangat
pantang untuk direndahkan.
"Kalau setuju, saya bawa istri
saya sekarang juga."
"Tunggu!"
Wah, ada lagi. Bakal ada
keedanan baru lagi
sepertinya. Orang-orang pun
sama berpikir begitu.
Penasaran, meski tak ingin
terbawa edan. "Saya tidak
pernah melihat istrimu, tapi
saya ragu dia akan semuda
dan secantik wanita yang
berada di dalam mobil itu!
Hahaha!" Kontan deretan
mata menyerbu tubuh wanita
cantik yang samar terhalang
kaca riben. Dipelototi begitu,
tentu saja wanita itu gelisah
dan terintimidasi. "Istrimu?"
"Bukan! Selingkuhan."
"Hahaha, nilainya jelas masih
kalah dengan istri." "Begitu?
Bagaimana kalau aku
tambahkan satu juta.
Selingkuhan dan satu juta!"
Wah! "Kamu pikir aku takut?
Istri dan cincin mas 5 gram!"
Wuih! "Selingkuhan dan uang
sepuluh juta!" Yeaaah! "Istri,
cincin mas, dan becak!"
Yeees! "Selingkuhan, uang
dan mobil!" Wooooow!
Tepukan meriuh tak terkira.
Siang terik yang edan ini
makin sempurna dengan
lontaran ketakwarasan oleh
dua sosok yang telah
terpanggang ego. Mata-mata
para pengerumun berlariann
antara menteri dan tukang
becak, ke menteri lagi, lalu
berakhir pada tukang becak.
"Baiklah deal..." "Deal apa?"
"Saya ngaku kalah."
"Kalah?" "Ya, silakan bapak
menteri tambal ban mobilnya
dahulu. Saya kapan-kapan
lagi saja. Lagi pula,
memangnya saya ini orang
edan apa? Mempertaruhkan
istri buat bayar ongkos
tambal ban. Hahaha!" Hihihi.
Hehehe. Huhuhu. Ya, semua
yang hadir ikut tertawa. Puas
sekali mereka menyaksikan
klimaks dari drama ini. Si
pembuat tepuk tangan malah
sampai menitikkan air mata.
Terharu sepertinya. "Sudah
saya duga. Engkaulah
juaranya, tukang becak! Dan
seperti saudara-saudara yang
juga hadir di sini saya
bersumpah telah menjadi
saksi atas tawar-menawar
ini. Juga dengan segala
konsekuensinya. Menteri
harus menyerahkan mobil,
uang sebesar sepuluh juta,
dan selingkuhannya." "Ya!
Serahkan! Serahkan!
Serahkan!"
Koor itu membahana.
Mengerubung dan
menyudutkan sang menteri.
Membuatnya terpaksa
menyerahkan uang, kunci
mobil dan juga
selingkuhannya yang
menangis meronta-ronta.
Penambal ban menerimanya
dengan seluruh tubuh yang
bergetar. Horeee...!
Diaba-aba oleh sang pembuat
tepuk tangan, akhirnya
semua turut meniru memberi
tepukan. Plok! Plok! Plok!
Yah semua sudah terjadi. Tak
bisa ditarik mundur apa-apa
yang telah dimulakan.
Menteri ingin berontak
sebenarnya, wajahnya
menyisakan raut itu. Tapi di
hadapan orang-orang yang
berkerumun niatannya itu
mesti urung.
"Hei, no hard feeling!"
celoteh tukang becak
tersenyum-senyum, dan
hanya disambut tatapan
kesal sang menteri. Sebuah
kebodohan yang
menyakitkan. "Ah, ya! Pasti
bapak tak punya uang lagi,
kan? Tenanglah! Saya antar
pakai becak saya, gratis! Tapi
tunggu sampai bannya
ditambal dulu. Hahaha!"
**** Cirebon, Januari 2011

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri