Dosa-dosa Menegpora

Mallarangeng dianggap gagal
sebagai Menpora. Dunia
kepemudaan dan keolahragaan
mereka anggap mengalami
kemunduran. Mallarangeng
dinilai tak mampu menyelesaikan
kisruh dualisme Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) dan
malah memanfaatkan untuk
kepentingan politisnya.
Dia, oleh kelompok itu, juga
dianggap tak bisa
menyelesaikan kisruh sepakbola
antara PSSI dan LPI. “Andi
seharusnya menyelesaikan
dengan tegas dan cepat, tapi
malah membiarkan kisruh ini
terus berlanjut hingga hari ini,”
kata M Chairul Basyar, peserta
aksi. Tak heran hingga kini KNPI
masih pecah dengan dua
kepungurusan.
Kemarin, Mallarangeng justru
kian mempertegas
keberpihakannya dalam konflik
PSSI. Dia menekan Komite
Pemilihan untuk meninjau
kembali hasil kerja mereka yang
tak meloloskan George Toisutta
dan Arifin Panigoro dan hanya
meloloskan Nurdin Halid serta
Nirwan D Bakrie sebagai calon
ketua umum dan/atau wakil
ketua umum PSSI.
Jika desakan pemerintah tak
dihiraukan, pemerintah akan
menjalankan kewenangannya
sesuai dengan ketentuan.
Merujuk PP No 16/2007,
bentuk sanksinya meliputi
peringatan, teguran tertulis,
pembekuan izin sementara,
penncabutan izin, pencabutan
keputusan atas pengangkatan
atau penunjukan, atau
pemberhentian, pengurangan,
penundaan, atau penghentian
dana bantuan, dan/atau
kegiatan keolahragaan yang
bersangkutan tidak diakui.
Banyak hal aneh dari tindakan-
tindakan Menpora Mallarangeng
yang menunjukkan apa
sesungguhnya yang terjadi
dalam konflik sepakbola.
Sesuatu yang kemudian
menebalkan keyakinan bahwa
telah terjadi pergulatan politik
partai-partai besar
memanfaatkan euforia sepak
bola, terutama setelah timnas
tampil gemilang di laga Piala
AFF 2010.
Dia, misalnya, merujuk Pasal
123 ayat (2) PP No 16/2007
yang menyoal ketua umum
organisasi olahraga yang
dipenjara wajib diganti melalui
forum tertinggi organisasi.
Benar, Nurdin Halid pernah
dipenjara, dua kali lagi. Tapi,
bukankah dia sudah bebas dan
karena itu kebebasan hak-hak
sipilnya harus dihormati?
Menjadi aneh karena PP yang
lahir pada 2007 itu menjadi
mandul saat Nurdin mendekam
di penjara dan baru dipersoalkan
saat ini. Bukankah pasal
tersebut harusnya bisa dipakai
pemerintah untuk melengserkan
Nurdin saat dia masuk penjara
kedua kalinya, hanya beberapa
saat setelah dilantik menjadi
anggota DPR? Kemana saja
pemerintah saat itu sehingga
lupa menerapkan PP tersebut.
Jika kemudian yang dipersoalkan
adalah statusnya sebagai orang
yang pernah menjalani hukuman,
maka di Indonesia Nurdin bukan
satu-satunya mantan terpidana
yang memimpin olahraga. Bob
Hasan juga memimpin PB PASI
nyaris sepanjang hidupnya. Dia
juga pernah jadi terpidana. Tapi,
apakah Menpora Mallarangeng
peduli?
Jika Menpora berjalan di atas
rule, bukankah dia harusnya
juga tidak membutakan mata
terhadap aturan-aturan
internasional juga? Tapi, dia
memang melakukan langkah
kuda, berlari dengan mata yang
tak melirik kanan-kiri.
Sampai saat ini, Mallarangeng
belum menuntaskan persoalan-
persoalan yang terjadi di LPI.
Dia malah menjadi salah satu
pendorong bergulirnya
Kompetisi LPI meski PSSI dan
FIFA menyatakan kompetisi itu
ilegal. Menpora pula yang
mencarikan payung hukum ganjil
bagi LPI, yakni bernaung di
bawah BOPI.
Dukungan Mallarangeng
membuat LPI jadi pongah.
Mereka mengaku tak berafiliasi
dengan PSSI, AFC, atau FIFA.
Bagaimana mungkin ini bisa
terjadi sementara mereka
menggunakan aturan-aturan
sepak bola yang pada akhirnya
diratifikasi FIFA? Untuk yang
satu ini, Menpora kembali
membutakan matanya.
Juga soal penggunaan pemain
asing, Mallarangeng bahkan
merestui klub-klub LPI
menggunakannya. Padahal,
menurut aturan yang lazim di
dunia sepakbola, seorang pemain
asing harus memiliki izin tinggal
dan izin kerja. Izin itu bisa
didapat berdasarkan sertifikat
transfer internasional (ITC)
antarfederasi. Siapa pemain LPI
yang sudah mengantongi ITC?
Nol! Tapi, lagi-lagi Mallarangeng
membutakan matanya.
Banyak hal-hal aneh lain dari
tindakan-tindakan Menpora
Mallarangeng yang kadang
menggelikan bagi mereka yang
mengerti olahraga.
Mallarangeng, umpamanya,
pernah membawa tim anak
gawang yang baru saja menang
sebuah festival di Milan ke
Istana. Bagi Menpora yang juga
politisi Partai Demokrat itu, itu
mungkin prestasi hebat. Tapi
bagi mereka yang mengerti
olahraga, menjadi finalis Piala
AFF sangat jauh lebih berarti
ketimbang anak-anak gawang
yang menang di Milan.
Maka, kemudian publik dengan
mata telanjang bisa melihat,
minimal meraba-raba, seperti
apa sebenarnya Menpora
Mallarangeng. Karena berangkat
sebagai pengamat politik yang
kemudian terjun ke panggung
partai politik dan bergerak
intens di dunia itu serta nyaris
tak mengenal apapun soal
olahraga, maka yang muncul
adalah aksi-aksi politisasi
terhadap olahraga. Itu bisa
terbukti misalnya dari apakah
Menpora peduli dengan
miskinnya prestasi bulutangkis
sejak dipimpin Djoko Santoso,
kemunduran judo saat dipegang
George Toisutta, atau tak
seriusnya Arifin Panigoro
mengurus olahraga golf setelah
dia berjuang mati-matian jadi
Ketua Umum PGI?
Jika penyair Taufik Ismail
pernah menciptakan puisi
bertajuk Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia, menjadi masuk akal
pula bila tak sedikit pihak yang
menyatakan Malu (Aku) Punya
Menpora. Ya, karena sikap dan
langkahnya yang mendua itu
sehingga pernah menjadi
sasaran kecaman dan demo para
aktivis. [nic]

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri