Beda Mubarak Dengan SBY
Sejumlah pengamat
berpendapat api revolusi yang
sedang membakar Mesir saat
ini bisa berimbas ke
Indonesia. Rakyat Mesir yang
sedang marah kepada
Presiden Hosni Mubarak lalu
memintanya turun, bisa
menginspirasi rakyat
Indonesia melakukan hal
serupa kepada Presiden SBY.
Masuk akalkah pandangan itu?
Pandangan seperti itu sah-sah
saja tetapi sulit untuk
mengatakan masuk akal.
Kalaupun terjadi revolusi di
Indonesia, tentu saja berharap
tidak begitu, tapi revolusi itu
adalah khas Indonesia dan bukan
revolusi ikut-ikutan.
Membandingkan Mesir dengan
Indonesia hanya karena
peristiwa di awal 2011 ini,
terasa sangat mengada-ada dan
dipaksakan. Lain halnya kalau
perbandingan itu hanya untuk
menakut-nakuti SBY, agar
seperti kata pepatah Jawa:
eling. Tetapi cukup sampai di
situ saja, jangan berlebih.
Sebab perlu dipahami,
kemarahan rakyat Mesir
terhadap Presiden Hosni
Mubarak bukan terjadi tiba-
tiba. Melainkan akumulasi dari
persoalan lebih dari 30 tahun.
Kemarahan rakyat Mesir, juga
bukan karena semata-mata
pengaruh revolusi di Tunisia,
negara Arab di kawasan
Magribi, Afrika Utara.
Bahwa jargon dan tema yang
digunakan penentang Mubarak
terkesan meniru pemrotes di
Tunisia, itu hanya sebuah
kebetulan semata. Mesir adalah
Mubarak dan Tunisia adalah Ben
Ali. Sejatinya rakyat Mesir
sudah terlalu lama menyimpan
amarah dan dendam terhadap
rezim Hosni Mubarak.
Persoalan sesungguhnya di
Mesir adalah 'luka lama'. Luka
itu sudah terjadi lebih dari 30
tahun lalu. Sejak awal
pemerintahannya, Hosni
Mubarak sudah melukai rakyat
Mesir begitu pula Presiden
Anwar Sadat. Luka yang dibuat
Sadat antara lain ketika ia
tunduk kepada tekanan Amerika
Serikat untuk berdamai dengan
Israel.
Para penentang Sadat, banyak
yang terpaksa mengungsi ke
negara-negara sekitar, tapi
tidak sedikit yang kabur ke
Eropa, Kanada, Amerika dan
Australia.
Patut diingat, naiknya Mubarak
ke posisi puncak di Mesir, tidak
sama dengan proses yang dilalui
SBY. Kalau SBY dipilih langsung
mayoritas rakyat Indonesia,
Mubarak mengawali
pemerintahannya dengan
memperoleh hibah kekuasaan
dari almarhum Anwar Sadat.
Mubarak menjadi presiden
karena Presiden Anwar Sadat
dibunuh atau terbunuh oleh
tentara Mesir dalam sebuah
defile kehormatan. Berhubung
saat pembunuhan Sadat,
Mubarak sudah menjabat Wakil
Presiden, sesuai konstitusi
Mesir, dialah orang di urutan
pertama yang paling berhak
menjadi presiden.
Saat Mubarak dilantik selaku
Presiden, mayoritas rakyat
Mesir tidak setuju. Ketidak
setujuan antara lain karena
Mubarak dinilai tidak lebih dari
seorang boneka almarhum
Sadat. Tapi ia berhasil
memgatasi penolakan itu, karena
dukungan Amerika dan Eropa
Barat pada pemerintahannya
sangat kuat.
Dalam perjalanan
kepemimpinannya. Mubarak
memang bisa berkuasa setelah
menang dalam pemilu. Tapi
kemenangannya itu tidak
membuat orang-orang Mesir
yang hidup di pengasingan serta
merta tertarik pulang ke
negerinya Cleopatra itu.
Ratusan ribu bahkan mungkin
jutaan orang keturunan Mesir
yang hidup di pengasingan itu,
tetap bertahan. Mereka ingin
melihat perubahan sistem
politik. Para overseas Egyptian
ini kelak merupakan kekuatan
tersendiri yang terus
merongrong Hosni Mubarak.
Dengan canggihnya sistem
informasi, mereka menggunakan
berbagai cara untuk
memprovokasi anti Hosni
Mubarak. Hasilnya seperti
sekarang ini.
Hal ini pula yang membedakan
SBY dengan Hosni Mubarak.
Orang-orang Indonesia atau
keturunan yang hidup di
pengasingan, kalaupun ada,
jumlahnya tidak signifikan.
Sudah begitu, orang Indonesia
sepertinya 'cuek' dengan apapun
yang dilakukan Presiden SBY.
Lihat saja, kemanapun
mengadakan perjalanan ke luar
negeri, kemudian mengadakan
pertemuan dengan masyarakat
Indonesia, tidak pernah terjadi
Presiden SBY dihujat ataupun
dipermalukan oleh warga
Indonesia.
Kendati api revolusi Mesir tidak
bisa menyala di Indonesia, akan
tetapi peristiwa di negara Arab
yang terbesar penduduknya di
antara seluruh negara Arab itu,
patut menjadi pelajaran. Yang
perlu belajar adalah seluruh
kekuatan politik, termasuk
Presiden SBY sendiri. Bahwa
kalau menjadi pemimpin, jangan
suka mengobral janji. Jangan
keenakan duduk di kekuasaan
lantas tidak ingkm digantikan
orang lain.
Kekuasaan itu bukan segala-
galanya. Di atas kekuasaan
masih ada yang lebih kuat.
Kekuasaan itu ada batasnya dan
juga ada masanya. Jangan
pernah berfikir, dengan uang
bisa membeli kekuasaan. Siapa
yang pernah berfikir, Presiden
ke-2, Soeharto yang demikian
lama berkuasa dan ditengarai
memiliki kekayaan tak terbatas,
toh bisa tumbang.
Jadi kalaupun ada yang mampu
membeli kekuasaan, sifatnya
hanya sementara. Tidak akan
permanen. Karena segala
sesuatunya yang ada di dunia
ini, memang tak ada yang bisa
permanen.
berpendapat api revolusi yang
sedang membakar Mesir saat
ini bisa berimbas ke
Indonesia. Rakyat Mesir yang
sedang marah kepada
Presiden Hosni Mubarak lalu
memintanya turun, bisa
menginspirasi rakyat
Indonesia melakukan hal
serupa kepada Presiden SBY.
Masuk akalkah pandangan itu?
Pandangan seperti itu sah-sah
saja tetapi sulit untuk
mengatakan masuk akal.
Kalaupun terjadi revolusi di
Indonesia, tentu saja berharap
tidak begitu, tapi revolusi itu
adalah khas Indonesia dan bukan
revolusi ikut-ikutan.
Membandingkan Mesir dengan
Indonesia hanya karena
peristiwa di awal 2011 ini,
terasa sangat mengada-ada dan
dipaksakan. Lain halnya kalau
perbandingan itu hanya untuk
menakut-nakuti SBY, agar
seperti kata pepatah Jawa:
eling. Tetapi cukup sampai di
situ saja, jangan berlebih.
Sebab perlu dipahami,
kemarahan rakyat Mesir
terhadap Presiden Hosni
Mubarak bukan terjadi tiba-
tiba. Melainkan akumulasi dari
persoalan lebih dari 30 tahun.
Kemarahan rakyat Mesir, juga
bukan karena semata-mata
pengaruh revolusi di Tunisia,
negara Arab di kawasan
Magribi, Afrika Utara.
Bahwa jargon dan tema yang
digunakan penentang Mubarak
terkesan meniru pemrotes di
Tunisia, itu hanya sebuah
kebetulan semata. Mesir adalah
Mubarak dan Tunisia adalah Ben
Ali. Sejatinya rakyat Mesir
sudah terlalu lama menyimpan
amarah dan dendam terhadap
rezim Hosni Mubarak.
Persoalan sesungguhnya di
Mesir adalah 'luka lama'. Luka
itu sudah terjadi lebih dari 30
tahun lalu. Sejak awal
pemerintahannya, Hosni
Mubarak sudah melukai rakyat
Mesir begitu pula Presiden
Anwar Sadat. Luka yang dibuat
Sadat antara lain ketika ia
tunduk kepada tekanan Amerika
Serikat untuk berdamai dengan
Israel.
Para penentang Sadat, banyak
yang terpaksa mengungsi ke
negara-negara sekitar, tapi
tidak sedikit yang kabur ke
Eropa, Kanada, Amerika dan
Australia.
Patut diingat, naiknya Mubarak
ke posisi puncak di Mesir, tidak
sama dengan proses yang dilalui
SBY. Kalau SBY dipilih langsung
mayoritas rakyat Indonesia,
Mubarak mengawali
pemerintahannya dengan
memperoleh hibah kekuasaan
dari almarhum Anwar Sadat.
Mubarak menjadi presiden
karena Presiden Anwar Sadat
dibunuh atau terbunuh oleh
tentara Mesir dalam sebuah
defile kehormatan. Berhubung
saat pembunuhan Sadat,
Mubarak sudah menjabat Wakil
Presiden, sesuai konstitusi
Mesir, dialah orang di urutan
pertama yang paling berhak
menjadi presiden.
Saat Mubarak dilantik selaku
Presiden, mayoritas rakyat
Mesir tidak setuju. Ketidak
setujuan antara lain karena
Mubarak dinilai tidak lebih dari
seorang boneka almarhum
Sadat. Tapi ia berhasil
memgatasi penolakan itu, karena
dukungan Amerika dan Eropa
Barat pada pemerintahannya
sangat kuat.
Dalam perjalanan
kepemimpinannya. Mubarak
memang bisa berkuasa setelah
menang dalam pemilu. Tapi
kemenangannya itu tidak
membuat orang-orang Mesir
yang hidup di pengasingan serta
merta tertarik pulang ke
negerinya Cleopatra itu.
Ratusan ribu bahkan mungkin
jutaan orang keturunan Mesir
yang hidup di pengasingan itu,
tetap bertahan. Mereka ingin
melihat perubahan sistem
politik. Para overseas Egyptian
ini kelak merupakan kekuatan
tersendiri yang terus
merongrong Hosni Mubarak.
Dengan canggihnya sistem
informasi, mereka menggunakan
berbagai cara untuk
memprovokasi anti Hosni
Mubarak. Hasilnya seperti
sekarang ini.
Hal ini pula yang membedakan
SBY dengan Hosni Mubarak.
Orang-orang Indonesia atau
keturunan yang hidup di
pengasingan, kalaupun ada,
jumlahnya tidak signifikan.
Sudah begitu, orang Indonesia
sepertinya 'cuek' dengan apapun
yang dilakukan Presiden SBY.
Lihat saja, kemanapun
mengadakan perjalanan ke luar
negeri, kemudian mengadakan
pertemuan dengan masyarakat
Indonesia, tidak pernah terjadi
Presiden SBY dihujat ataupun
dipermalukan oleh warga
Indonesia.
Kendati api revolusi Mesir tidak
bisa menyala di Indonesia, akan
tetapi peristiwa di negara Arab
yang terbesar penduduknya di
antara seluruh negara Arab itu,
patut menjadi pelajaran. Yang
perlu belajar adalah seluruh
kekuatan politik, termasuk
Presiden SBY sendiri. Bahwa
kalau menjadi pemimpin, jangan
suka mengobral janji. Jangan
keenakan duduk di kekuasaan
lantas tidak ingkm digantikan
orang lain.
Kekuasaan itu bukan segala-
galanya. Di atas kekuasaan
masih ada yang lebih kuat.
Kekuasaan itu ada batasnya dan
juga ada masanya. Jangan
pernah berfikir, dengan uang
bisa membeli kekuasaan. Siapa
yang pernah berfikir, Presiden
ke-2, Soeharto yang demikian
lama berkuasa dan ditengarai
memiliki kekayaan tak terbatas,
toh bisa tumbang.
Jadi kalaupun ada yang mampu
membeli kekuasaan, sifatnya
hanya sementara. Tidak akan
permanen. Karena segala
sesuatunya yang ada di dunia
ini, memang tak ada yang bisa
permanen.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !