Trik Membocorkan Anggaran Negara Via Tender
REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN--
Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Agus Rahardjo,
banyak cara yang dilakukan
oknum untuk membocorkan
anggaran pemerintah lewat
proses tender barang dan
jasa.
Ia mengutip studi yang
dilakukan Badan
Perencanaan dan
Pembangunan Nasional
(Bappenas) pada tahun 2001.
Diantaranya, praktik
menafikkan tawaran peserta
pengadaan yang menawarkan
harga lebih murah meski
kegiatan itu dilaksanakan
untuk mencari penawaran
yang lebih rendah.
Tidak sedikit pelaksana
lelang tersebut justru
memenangkan pihak-pihak
yang menetapkan harga di
atas harga pasar. Ia
mencontohkan pengadaan
alat tulis kantor (ATK).
"Harga kertas yang
seharusnya Rp30 ribu
menjadi Rp35 ribu," katanya.
Dalam studi itu, kata Agus,
diketahui juga bahwa proses
pengadaan barang dan jasa
pemerintah di Indonesia
tidak sehat dan tidak
menjamin adanya
persaingan usaha yang adil.
Ia mencontohkan adanya
ketentuan agar peserta
lelang harus mendapatkan
sertifikat dari pihak
tertentu, salah satunya dari
Kamar Dagang dan Industri
(Kadin).
Kemudian, adanya praktik
pembagian jenis lelang
berdasarkan jumlah
anggaran sehingga
menciptakan pembatasan
terhadap perusahaan yang
berhak mengikutinya. "Di
negara lain seperti itu tidak
ada. Bahkan di Malaysia
yang merupakan tetangga
juga tidak ada," katanya.
Bahkan, kata Agus, ada
ketentuan pengadaan yang
justru menjadi "bahan
tertawaan" negara lain
karena membatasi pengusaha
dari daerah lain untuk
terlibat. Ia mencontohkan
ketentuan dalam Keppres
18/2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Instnasi
Pemerintah yang
menyebutkan pengutamaan
pengusaha setempat.
Ketentuan itu menyebabkan
peluang pengusaha dari
daerah lain untuk mengikuti
proses pengadaan tersebut
menjadi kecil. "Indonesia
yang katanya negara
kesatuan diketawai karena
dalam pengadaan saja tidak
tercermin," katanya.
Kepala Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Agus Rahardjo,
banyak cara yang dilakukan
oknum untuk membocorkan
anggaran pemerintah lewat
proses tender barang dan
jasa.
Ia mengutip studi yang
dilakukan Badan
Perencanaan dan
Pembangunan Nasional
(Bappenas) pada tahun 2001.
Diantaranya, praktik
menafikkan tawaran peserta
pengadaan yang menawarkan
harga lebih murah meski
kegiatan itu dilaksanakan
untuk mencari penawaran
yang lebih rendah.
Tidak sedikit pelaksana
lelang tersebut justru
memenangkan pihak-pihak
yang menetapkan harga di
atas harga pasar. Ia
mencontohkan pengadaan
alat tulis kantor (ATK).
"Harga kertas yang
seharusnya Rp30 ribu
menjadi Rp35 ribu," katanya.
Dalam studi itu, kata Agus,
diketahui juga bahwa proses
pengadaan barang dan jasa
pemerintah di Indonesia
tidak sehat dan tidak
menjamin adanya
persaingan usaha yang adil.
Ia mencontohkan adanya
ketentuan agar peserta
lelang harus mendapatkan
sertifikat dari pihak
tertentu, salah satunya dari
Kamar Dagang dan Industri
(Kadin).
Kemudian, adanya praktik
pembagian jenis lelang
berdasarkan jumlah
anggaran sehingga
menciptakan pembatasan
terhadap perusahaan yang
berhak mengikutinya. "Di
negara lain seperti itu tidak
ada. Bahkan di Malaysia
yang merupakan tetangga
juga tidak ada," katanya.
Bahkan, kata Agus, ada
ketentuan pengadaan yang
justru menjadi "bahan
tertawaan" negara lain
karena membatasi pengusaha
dari daerah lain untuk
terlibat. Ia mencontohkan
ketentuan dalam Keppres
18/2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Instnasi
Pemerintah yang
menyebutkan pengutamaan
pengusaha setempat.
Ketentuan itu menyebabkan
peluang pengusaha dari
daerah lain untuk mengikuti
proses pengadaan tersebut
menjadi kecil. "Indonesia
yang katanya negara
kesatuan diketawai karena
dalam pengadaan saja tidak
tercermin," katanya.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !