peta buta

Posted by PuJa on January 11,
2011
S Yoga
http://suaramerdeka.com/
SELAMA setahun kami
mempersiapkan pemberontakan
yang lebih besar lagi. Kota
Rakyat menjadi markas kami dan
menjadi pusat kekuatan pasukan
Dadeda. Tuan Jabro kini sedang
menyusun rencana
pemberontakan sistematis,
dikembangkan dari revisi buku
Keluar dari Lorong Gelap.
Sebenarnya tak ada yang baru
dalam revisian ini, hanya strategi
pengerahan massa sedikit
dimodifikasi hingga lebih
mangkus dan sangkil. Dan
sebuah peta buta yang katanya
menyebutkan hari, tanggal dan
tempat pemberontakan akan
dimulai.
Aku dipercaya menjadi pemimpin
sebuah pasukan, beranggotakan
lima puluh orang, sebuah
pasukan yang sangat minim,
untuk daerah yang cukup luas
seperti wilayah Kota Senja,
sebuah kota di barat Kota Fajar,
yang sebenarnya masih
merupakan bagian Kota Fajar.
Kota dalam kota. Sebenarnya
banyak pihak yang tidak mau
menerima kehadiranku, mereka
masih saja curiga kalau-kalau
aku mata-mata yang dikirim
pemerintah Negeri Senja, karena
seluk-beluk diriku benar-benar
tidak pernah mereka ketahui.
Memang benar, aku baru
muncul pada saat aku mencari
kakakku, dan mulai berkenalan
akrab dengan Tuan Jabro di
penjara. Orang-orang dekat
Tuan Jabro, seperti Jangos pun
masih saja curiga, Jangos
mengatakan bisa saja aku
sengaja diseludupkan saat
mereka bertemu di penjara,
meski saat itu aku telah
mengaku, kalau aku telah disiksa
agar mengakui perbuatanku
sebagai mata-mata kaum
pemberontak.
Dan aku katakan, bahwa
sebenarnya aku hanyalah
seorang pengembara yang haus
akan kebenaran, ingin
menyelidiki perkembangan
kepribadian dan filsafat akan
adanya harapan pada orang-
orang yang sedang berperang.
Apakah harapan itu hanya
sekadar memenangi perang,
demi kekuasaan dan kekayaan,
membunuh musuh dengan
kejam, atau lebih dari itu? Dan
apakah tindakan semua itu
dapat mereka nikmati? Atau
justru mereka merasa ketakutan,
kasihan, dan batinya
terguncang?
Tetap saja Jangos tidak mau
percaya. Mata batinnya tetap
saja tidak bisa dibohongi,
menurutnya, mataku tak akan
mampu menyembunyikan
kebohongan. Tapi entah oleh
pertimbangan apa Tuan Jabro
mau menerimaku sebagai salah
satu pemimpin operasi
pemberontakan. Sejauh ini aku
belum menerima perintah-
perintah yang berarti, hanya
kesibukan-kesibukan kecil
melatih menjadi rutinitas harian.
Kapan dan di mana
pemberontakan akan dimulai,
belum aku ketahui. Betapa
rapihnya kelompok ini bekerja.
Segala komunikasi yang bersifat
rahasia tersimpan dan teratur
rapi, sulit terkuak. Atau memang
tak ada rahasia, karena tak
punya kebijakan. Jangan-jangan
begitu aku mengetahui tanggal
dan tempat saat akan dimulai
pemberontakan, saat itu pula
pemberontakan sedang
berlangsung. Kalau ini terjadi
jelas akan mempersulit
pekerjaanku.
Setiap pemimpin operasi Keluar
dari Lorong Gelap diberi sebuah
buku yang harus dirahasiakan. Di
dalam buku tercantum lima
puluh nama pemimpin yang
bertindak sebagai tokoh kunci
suksesnya pemberontakan, tapi
separuh nama-nama pemimpin
itu sama sekali tidak aku kenal.
Bagaimana mungkin seorang
yang namanya tak pernah
kedengaran ditelingga
masyarakat tiba-tiba diangkat
menjadi pemimpin operasi
mahapenting. Kebijakan apa
yang telah ditempuh. Apa
karena ia masih sekerabat.
Isi buku petunjuk sebenarnya
sangat sulit aku mengerti,
bagaimana tidak, hampir seluruh
buku hanya berisi peta buta
daerah yang sama sekali tidak
aku kenal. Ketika aku tanyakan
pada Jangos, katanya, “Nanti
saja, bila saatnya tiba.” Para
pemimpin operasi
pemberontakan yang lain juga
tak mau buka mulut sedikit pun,
entah mereka tahu atau sama
tidak tahunya seperti diriku.
Tapi dalam catatan tambahan,
yang merupakan motto
pemberontakan disebutkan,
“ Siapa pun harus bertanggung
jawab atas wilayah yang ia
ketahui dengan baik. Ketahuilah
apa yang dekat dengan dirimu,
jangan percaya pada orang lain.
Setiap apa yang berdetak dalam
dirimu adalah sebuah awal
pemberontakan abadi yang
paling sejati, yang akan kita
kobarkan pada umat manusia.
Siapa mengerti akan dirinya
maka ia akan mengerti akan hal
ihwal kehidupan.
“Setiap dirimu adalah senjata
pamungkas dari keinginan
kolektif, yang mereka sebut
dengan kedaulatan, dan akan
kita sebut sebagai pengkhianatan
atas kemerdekaan seseorang.
Setiap dirimu adalah mengetahui
dirimu sendiri dan sejarah
manusia berawal dari
pengetahuan tentang diri
sendiri. ”
Kini sudah setahun tak ada
kontak lagi dengan Tuan Jabro
tentang kebijakan apa yang
harus dilakukan. Para pemimpin
pemberontak yang lain tetap saja
tak mau komentar akan rencana
apa selanjutnya. Dalam posisi
seperti ini, aku menjadi curiga,
jangan-jangan mereka telah
meninggalkanku, karena
mengetahui adanya sesuatu
motivasi yang tidak beres dengan
diriku. Jangos aku tanya,
“ Kenapa tidak ada perintah apa-
apa?” Katanya, “Dalam
mempelajari buku petunjuk
pemberontakan sendiri akan
memakan waktu cukup lama.”
Ini hal yang mustahil bagiku,
bagaimana bisa buku yang hanya
berisi peta buta dan beberapa
motto perjuangan harus
dipelajari begitu lama.
Aku buka kembali buku
petunjuk pemberontakan. Tak
ada yang dapat aku simpulkan
sebagai sesuatu yang berguna.
Mungkin ini semua, tergantung
pada daya tafsir si pembaca.
Dan, Tuan Jabro telah
mengunakan kekuatan sihir
untuk melindungi buku ini,
dengan mengerahkan para
dukun sakti, sehingga siapa pun
yang berniat jahat tak akan
mampu menginterpretasi dengan
baik isi buku. Pasti ini perbuatan
Tuan Jabro untuk mengelabuiku.
Satu-satunya jalan adalah
memaksa seseorang untuk
mengutarakan interpretasinya
atas buku ini. Tanpa ini mustahil
aku menemukan jawaban
rencana besar Tuan Jabro.
Setelah aku sarapan telur-telur
burung onta segar, segera aku
pergi menemui Jangos di Kota
Rakyat.
Aku hentakkan seluruh tubuh
Jangos, aku seret tubuhnya ke
gudang tembakau. Aku letakkan
sebilah belati di samping urat
lehernya. “Akan aku putus satu-
satu urat lehermu, bila kau tak
mau mengatakan apa
sebenarnya yang dimaksud
dalam buku petunjuk. Tolong
pecahkan teka-teki di peta buta,
yang memuat kapan dan di
mana pemberontakan akan
dimulai, ” gertakku.
Dengan berlinang air mata,
akhirnya Jangos menceritakan
pemahamannya tentang isi buku.
Menurutnya, “Hanya dengan
memahami rasa sakit, kita akan
keluar sebagai pemenang dalam
kehidupan.
“Karena rasa sakit diciptakan
oleh diri sendiri yang putus asa,
atau mungkin orang lain yang
sok berkuasa atas tubuh orang
lain, maka jalan keluarnya
adalah menguar rasa sakit
semaksimal mungkin, biar kita
dan semua orang tahu, serta
memahami kalau rasa sakit itu
benar-benar sakit -ada. ”
Aku merasa dibohongi.
Menurutku, Jangos hanya
mengigau tak keruan, bukan
kebenaran yang keluar dari
mulutnya, tapi bisa ular yang
bisa mencelakakan diriku. Aku
tikam perlahan urat lehernya,
perlahan pula mengucurkan
darah. Tapi Jangos tak merintih,
justru tersenyum bangga.
Katanya, “Lihatlah darahku
mengalir sesuai alur sejarah yang
benar, merembes ke tanah dan
menuju muaranya. ” “Dasar
bodoh!” pekikku. Dengan tak
banyak buang waktu, aku gorok
leher Jangos hingga hampir
putus. Aku lihat kepasrahan
tubuhnya menghadapi maut
seperti saat dia duduk di
hadapan jenazah Dhubir,
sahabatnya yang mati digantung
pasukan musuh, nampak sedih
dan kosong.
Jelas harapan seseorang pada
saat maut menjelang hanyalah
kekosongan, beku, dan hambar,
tak ada nikmat apa pun. Aku
dengarkan degup jatung Jangos
yang sekarat, ternyata sama
dengan degup jatungku, hanya
miliknya perlahan melemah,
seperti suara yang mulai
menghilang di kejauhan,
melenting terlempar ke dalam
hutan angker penuh rawa dan
kemamang. Sebelum nyawanya
benar-benar melayang, aku
perhatikan bibirnya mengucap,
“ Selamat tinggal pengkhianat
bangs….”
Setelah nyawanya pergi, aku
seret mayat Jangos ke dalam wc
— ketika itu rumah Jangos sepi
tak ada siapa pun selain kami,
aku potong-potong tubuhnya
menjadi sayatan-sayatan yang
dapat aku masukkan ke dalam
lubang WC. Aku perkirakan tak
akan ada yang mengetahui
Jangos telah terbunuh dan
mayatnya dimasukkan ke dalam
WC. Orang pasti mengira Jangos
diculik oleh pasukan Negeri
Senja. Mungkin seratus tahun
lagi semua akan terbongkar,
mayat seorang pejuang yang
dulunya hilang tak ketahuan
rimbanya, ditemukan potongan-
potongan kerangka seorang laki-
laki di dalam WC rumahnya.
Hari berikutnya sama sekali tak
ada berita tentang hilangnya
Jangos. Tetangga-tetangganya
tak ada yang membicarakan.
Saudara-saudaranya kutanya di
mana Jangos sekarang, tak ada
yang mau tahu. Istri Jangos
ketika kuhubungi, mengatakan,
paling-paling suaminya masih
kelon dengan pelacur
kesayangan. Kalaupun Jangos
mingat, istrinya sudah rela-ikhlas,
tak ada gunanya
mempertahankan gading yang
telah retak.
Kuhubungi Tuan Jabro,
kutanyakan keberadaan Jangos,
kenapa sudah seminggu belum
muncul juga, apa mungkin dia
telah dibunuh orang. Tuan Jabro
malah tidak cemas sama sekali,
dia mengatakan, itu kebiasaan
lama Jangos, dulu ia sering pergi
tanpa pamit berminggu-minggu,
namun kembali juga, biarlah ia
melepaskan ketegangan.
Perjuangan ini memang
menguras fisik dan otak kita.
Biarkan pikiran Jangos segar
dulu. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan dengan diri
Jangos. Kerjakan tugasmu
dengan benar, jangan suka
ngurusin orang lain. Aku muak
melihat mulut Tuan Jabro
mencerocos tak tahu apa yang
telah menimpa Jangos. Akhirnya
aku dengarkan siaran radio. Tak
ada berita kememghilangan
Jangos. Surat kabar juga tak
memuat berita tentang Jangos
secuil pun. Hanya pembunuhan-
pembunuhan di wilayah
perbatasan yang dilakukan entah
oleh siapa, menjejali kolom-
kolom surat kabar.
Akhirnya, kupikir juga untuk apa
aku peduli dengan keamblasan
Jangos. Kini aku hanya diam dan
membaca-baca buku di markas
bersama para pasukan yang
telah bosan menanti datangnya
perintah penyerbuan.
Lalu aku beranikan diri
menyurati Tuan Jabro. Aku
katakan, kapan rencana
pemberontakan dimulai?
Seminggu aku tunggu jawaban,
tidak ada. Aku surati lagi, aku
katakan, kalau kita tidak segera
menyerang, pasukan Negeri
Senja akan terlebih dahulu
menyerang, jika itu terjadi
musnahlah impian kita
memenangkan pertempuran.
Aku tunggu surat balasan
berminggu-minggu. Balasan yang
kunanti-nanti belum juga datang.
Dalam penantian yang sangat
membosankan, aku putuskan
untuk bergerilya, menyerang
beberapa markas pasukan
Negeri Senja yang menyusup di
Kota Senja. Kami menanti
berhari-hari di jalan yang kami
duga akan dilewati pasukan
Negeri Senja. Kami harus bisa
menangkap paling tidak seorang
dari mereka untuk dimintai
keterangan di mana markas
mereka berada.
Di hari ketiga penantian kami,
malam itu sekitar pukul sepuluh
munculah tanda-tanda adanya
orang berjalan ke arah kami.
Pada mulanya hanya terdengar
salak anjing di kejauhan,
kemudian berlarian babi-babi ke
arah kami sambil bercicuit,
jelaslah bahwa ada orang sedang
berjalan cepat. Segera kami
siaga. Kami bergeser dari jalan
yang kami duga, ke arah
datangnya suara babi di sebelah
kanan, ternyata ada jalan
setapak yang tersembunyi. Kami
tunggui hampir lima menit,
akhirnya terdengar burung-
burung berterbangan dari arah
depan, jelas sudah dekat.
Kami hanya berlima, memang
segaja pasukan aku bagi lima
orang-lima orang untuk
menyebar di wilayah Kota Senja,
dan dua puluh lima sisanya aku
tugaskan menjaga markas. Tak
lama kemudian terdengar orang-
orang berbisik-bisik, berbicara
perlahan. Badanku ikut gemetar,
inilah pengalaman pertama
kaliku memberi komando, aku
tenggak tuak ramuan pasukanku
banyak-banyak, badanku sedikit
tenang.
Aku tenggak lagi. Rasanya aku
mabuk. Tanah lapang di
hadapanku seolah berkabut,
sinar rembulan begitu suram.
Mereka nampak memasuki
tanah lapang, mereka
menggotong tandu, pastilah
seseorang sedang terluka, di
depannya ada tiga orang
bersenjata, di belakangnya dua
orang membawa perbekalan.
Begitu mereka ada di tengah
lapangan, kami segera
menyerbu, tembakan ke udara
berulang kali rupanya telah
membuat mereka lari kocar-kacir
dan meninggalkan tandu di
tengah lapangan. Jadi, kami tak
perlu menembak mereka. Kami
dekati tandu yang tergeletak,
kami buka, rupanya seorang
yang terluka parah di pahanya,
mungkin pahanya hancur
terkena berondongan peluru.
Kami interogasi, di mana markas
mereka berada. Perundingan
sangat alot, ia tetap tak mau
mengaku, habis kesabaranku,
aku perintahkan pasukan untuk
segera menghabisi. Aku pergi ke
dalam hutan, aku menenggak
tuak lagi. Rupanya anak buahku
mampu melumpuhkan
keperkasaan hatinya dengan
persuasif hingga mau mengaku.
Pasukanku bersedia menjamin
keselamatan dan mengobati sakit
yang ia derita, bila ia
mengatakan di mana markas
pasukannya berada. Ia mengaku
pasukannya berada di lereng
Bukit Pandak.
Segera kami menuju ke sana.
Kami tetap berlima. Aku ingin
menikmati petualangan ini.
Mungkin dengan tindakankku
ini, semua yang masih curiga
bahwa aku mata-mata musuh
menjadi terbuka dan sadar akan
kesetiaanku pada Tuan Jabro.
Aku tuang tuak lagi ke dalam
tenggorokan. Jalanku
sempoyongan. Rasanya benar-
benar berat mata ini. Aku tak
peduli. Aku butuh keberanian
dan kenikmatan dalam
petualangan ini. Karena rasa
takutku mulai menyeruak,
menggapai-gapai ingin
diperhatikan.
Kalau aku mati pun, aku mati
dalam kenikmatan yang tiada
tara. Kami menyusup ke daerah
markas yang ditunjukkan, dari
hasil pengintaian, nampak hanya
beberapa orang yang
berkeliaran, mungkin hanya
sepuluh orang. Segera kami
berondong dengan senjata,
terjadilah kontak senjata, tak
begitu lama, aku putuskan
menghujani dengan granat. Aku
nikmati hujanan peluru dan
ledakan granat, yang
mengingatkanku pada
permainan petasan di waktu
kecil. Begitu membahagiakan.
Lumpuhlah perlawanan mereka.
Kami datangi markas, mayat
mereka bergeletakan dengan
darah membasahi tubuh. Meski
mereka telah tewas, namun aku
belum yakin benar, maka satu
persatu kepalanya aku tembak
sekali lagi. Darahnya muncrat ke
mana-mana, sebagian melumuri
bajuku. Baunya benar-benar
amis, baguslah untuk kenang-
kenangan. Kami pulang dengan

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri