nogoroth

Nogoroth
Posted by PuJa on January 11,
2011
Dinar Rahayu
http://suaramerdeka.com/
AKU masih teringat pada ilustrasi
di sebuah buku yang
menggambarkan ujung pelangi
adalah segentong emas permata.
Dalam gambar itu ada tujuh
garis melengkung dan di satu
ujung ada seorang perempuan
yang meniti pelangi itu dan di
ujung lain ada segentong emas
permata. Matahari bersinar
cerah di atas kepala perempuan
itu dan bumi di bawah sana
dengan garis-garis pulau dan
awan. Sebuah gambar yang
ceria.
Aku juga masih ingat pelajaran di
sekolah ketika guruku
mengambil sebentuk piramid
kecil terbuat dari kaca. Ini
prisma, begitu katanya, lalu ia
menaruh prisma itu di atas meja.
Sinar matahari pagi di musim
kemarau datang terik melalui
jendela menembus prisma
seperti tombak menembus
daging ikan transparan yang
katanya berenang-renang di laut
yang dalam untuk menghindari
tombak pemburu-pemburu yang
akan menguliti mereka.
Sinar matahari yang putih itu
masuk ke dalam prisma dan
prisma memecah sinar itu
menjadi warna-warni yang keluar
dari sisi prisma yang lain, seolah
sebutir kepompong putih yang
retak dan menghasilkan kupu-
kupu warna-warni. Merah jingga
kuning hijau biru nila ungu.
Ikan transparan yang
kuceritakan di atas adalah ikan
ajaib. Kata ibuku siapa saja yang
mengenakan baju yang terbuat
dari kulit ikan itu maka ia akan
tak bisa dilihat mata telanjang
karena ia akan menjadi
transparan dan dapat bepergian
ke mana-mana tanpa terlihat
siapa pun tetapi ada bau amis
yang menempel pada si pemakai,
maka barang siapa yang tiba-tiba
mencium bau amis di rumah
sebaiknya ia segera
mengumpulkan emas dan harta
lain sebelum raib oleh si hantu
transparan berbau amis.
Aku percaya pada dongeng itu
waktu aku masih kecil karena
saat itu semua tampak besar dan
benar. Jadi karena kumendengar
ayah memiliki kulit yang tembus
pandang, tidak cokelat seperti
aku dan ibuku dan penduduk di
sini yang lain maka kuambil
tepung untuk disebarkan di
sekitar kamarku supaya kalau
ayah-yang kupikir mengenakan
baju ikan datang lagi kepada ibu
dan aku, aku dapat
mengetahuinya. Tapi tak pernah
ada jejak kaki di taburan tepung
itu.
Setelah kulihat sinar matahari
yang menombak prisma lalu
kemudian sinar putih itu pecah
menjadi rangkaian warna-warni
pelangi, aku berpikir jika siapa
pun mengenakan baju ikan
transparan itu pada siang hari,
maka kehadirannya dapat
diketahui dari serangkaian tujuh
warna yang terbebaskan oleh
prisma dari kungkungan putih
dan mereka menjadi dirinya
sendiri.
Merah jingga kuning hijau biru
nila ungu, dan mungkin bau
amis, tapi tetap tak ada yang
datang ke pondokku dan ibuku.
Aku juga berhenti sekolah.
Perang. Bangunan itu lebur.
Guru itu pulang.
Aku juga berhenti memercayai
dongeng ibu, banyak hal yang ia
katakan tak kupercayai lagi
malah beberapa hal yang tak
pernah ia omongkan, justru
kupercaya.
Aku juga tak begitu percaya ada
gentong berisi emas permata di
ujung pelangi. Aku malah curiga
jangan-jangan di ujung pelangi
hanya ada gentong berisi ular
kobra yang mengembangkan
leher begitu ada tangan yang
akan meraup isi gentong lalu ia
malah memagut tangan itu
mengirimkan bisa yang
melumpuhkan si pemilik tangan.
Aku juga marah karena masih
mengharapkan kedatangan
ayah.
Ayah. Kata orang-orang dulu ia
datang dengan kereta bersepuh
emas yang ditarik kuda api,
kereta ayah melesat di angkasa.
Ibuku berjalan meniti pelangi
dan akhirnya bunting di ujung
jalan. Jadi di ujung pelangi
bukanlah gentong berisi emas
permata karena ibuku tidak jadi
kaya, juga bukan ular kobra
yang memagut karena ibu belum
mati, melainkan sesuatu yang
membuat ibu bunting. Apakah
ayah yang ada di ujung pelangi?
Sebelum aku lahir ayah sudah
pergi dengan kulit ikan
transparannya. Tak ada yang
tahu dengan jelas kapan ia pergi.
Ia pergi sebagaimana ia datang,
bersama dengan teman-
temannya menaiki kereta yang
ditarik kuda bersayap. Kibasan
sayap kuda-kuda itu membuat
debu naik dan suara dengkingan
kuda itu melengking menulikan
telinga. Yang tertinggal adalah
ibu dengan segenggam debu di
tangan yang kabur dibawa angin
di pesisir dan kini aku masih
marah karena masih menatap
tempat matahari tenggelam dan
menyangka ayah hidup di ujung
cakrawala itu bersama ikan-ikan
transparan dan pelangi.
Tadi malam aku memimpikan
lagi tinggal di sebuah ruang,
melengkung di semua tempat
tanpa pembatas, memuai ke
segala arah tiap kali aku mengira
sampai di ujungnya. Ikan-ikan
transparan hidup di dalamnya
dengan tangkai melengkung di
kepalanya Di ujung tangkai itu
terdapat lentera, seperti ujung
kail yang mengangguk-angguk
maka demikian juga tangkai-
tangkai ikan itu dan lentera di
ujung tangkai itu berkedip-kedip
mengundang ikan lain untuk
memakan kedipan cahaya yang
ternyata berujung pada deretan
gigi tajam.
Tempat itu bakal semesta -surga-
atau lubang besar berisi
kekosongan barangkali sebelum
waktu menjadi. Apa pun itu
namanya tetapi aku tinggal
sendiri bersama ikan-ikan itu.
Kunamai tempat itu surga
karena hanya di tempat itu aku
terbebas dari ramalan muram
tentang keberadaan manusia
bahwa manusia tak mungkin
hidup selama setengah menit
tanpa menginginkan sesuatu. Di
tempat itu aku tak menginginkan
apa pun. Entah surga entah liang
kubur. Tetapi apa pun itu aku
menyukai tinggal di sana
bersama ikan-ikan transparan.
Tanpa Ibu tanpa Ayah.
Tempatku sendiri.
Karena tempat Ayah ada di
ujung pelangi sedangkan tempat
Ibu adalah daerah pesisir
bernama Nogoroth.
Tempatku di sini, di ruang mimpi,
sebelum waktu mengada,
sebelum Tuhan menjelma pada
wujud Ayah. Tuhan adalah Ayah,
yaitu seseorang atau sesuatu
yang meninggalkanku dan Ibu.
Sesuatu yang abstrak dan hanya
dikenal melalui altar, sesuatu
yang memerintah. Pembesaran
dari sosok Ayah seperti kita
melihat benda-benda di bawah
titik air. Semua tampak menjadi
lebih besar dari sesungguhnya.
Yang tak nampak menjadi
terlihat. Walaupun maya, tetapi
bayangan yang membesar itu
tetap menerorku.
Aku ingin pulang ke tempatku
itu yang tanpa sudut pembatas.
Bukan pulang pada pangkuan
Ayah atau pelukan Ibu.
Walau kata guruku
penggabungan unsur-unsur dari
Ayah dan Ibu menghasilkan aku,
tetapi aku ingin menolaknya.
Nogoroth ada di buritan kapal
ini.
Kini aku pergi ke ujung pelangi
tempat Ayah berada, aku dibawa
sebagai kasta yang lebih rendah
dari orang-orang di tanah
seberang. Di sini kutahu Ibu
bukanlah seperti cerita yang
kudengar dulu. Bahwa ia adalah
seorang kekasih yang memberi
inspirasi, bidadari yang tiap
malam menghibur Ayah. Di sini
Ibu adalah sundal yang dijajakan
kepada Ayah.
Untunglah aku sudah tak
memercayai apa pun sekarang.
Kitab, hidup, apa pun itu. Maka
dengan mudah kuceritakan pada
teman-temanku, sesama budak
yang dibawa ke tanah seberang
ini, bahwa di Nogoroth tempatku
berasal, saking panasnya,
bahkan emas tidak padat
melainkan mengalir
menganaksungai di bawah pasir.
Emas berwarna hitam seperti
mata ular, binatang melata
tanpa kaki yang ukurannya
berlipat-lipat dari ular-ular yang
ada di sini dan bisanya tidak
hanya mematikan tapi
membuatmu buta, ia tidak hanya
memagut tetapi juga
menyemburkan bisanya tepat di
matamu.
Kuceritakan pada mereka,
teman-temanku sesama budak,
ketika kami berkumpul tiap
malam melepas penat di
sekeliling unggun. Api yang
seolah jadi altar tempat kami
berkumpul menuang perih.
Kuceritakan pada mereka,
bahwa mata si ular tidak memiliki
bagian putih melainkan hitam
semata bulatan kematian seperti
bola permata hitam yang
digerinda sampai mengilap
sempurna menyerap tiap
kehidupan dan memakumu pada
kedua kaki sampai kau jatuh ke
cengkeraman tenungnya.
Sesaat sebelum kematian datang
dari gigitannya, sesaat sebelum
bisa si ular menjalar dan
membuat pembuluh darahmu
menghitam, melalui matanya kau
dapat melihat sejarah Nogoroth
dan seorang pejuang bernama
Yutani. Dari matanya engkau
seolah bisa mendengar si ular
bercerita, inilah cerita si ular:
Dulu si ular pun memiliki mata
yang penuh kehidupan seperti
makhluk lain.
Dengan putih di sekeliling hitam.
Kontras. Itulah hidup. Bahkan
seorang pelukis dapat menipu
mata sang penatap dengan
membubuhkan cat putih pada
mata obyek lukisannya sehingga
mata si obyek lukisannya itu
tampak basah, mengilap, hidup.
Demikianlah kehidupan: menipu.
Dan Yutani. Dulu rakyat
Nogoroth mengenal Yutani
dengan sebutan tuhan.
Adakah kau pernah mendengar
namanya?
Katanya ia terlahir dengan darah
menjadi selubung tubuhnya.
Jabang bayi itu tidak berlendir
selaput kekuningan, melainkan
merah tua dari darah yang licin
menggumpal seperti kulit
kepompong yang tebal, kenyal,
dan empuk. Dan matanya
bukanlah mata yang dimiliki
orang kebanyakan, matanya
menyihir, hitam tanpa seulas
putih pun. Mata yang tampak
dingin tapi mata itu tak pernah
menipu. Tidak seperti kehidupan,
mata Yutani tidak menipu.
Di usia yang kedelapanbelas ia
menghilang. Ada yang
mengatakan ia pergi ke gurun
berguru pada angin utara untuk
ilmu gaib. Ada yang mengatakan
ia pergi ke hutan untuk semedi
di antara akar-akar supaya ia
dapat memerintah jin.
Ia datang kembali ke Nogoroth
tiap tahun galaktik ketika
matahari kembar bersinar paling
panas. Yutani. Sakti seperti si
celeng dan si singa. Ia
menusukkan ujung tombaknya
ke tanah dan tanah kemudian
merekah seperti disiram berahi
tombak Yutani, dan air mengalir
dari lubang bekas tusukannya,
mengisi semua retakan yang
ditimbulkan tombak Yutani. Air
yang bening yang memantulkan
semua sinar. Air yang bisa
diminum manusia dan juga
binatang.
Seluruh penghuni Nogoroth
datang untuk minum di mata air
yang keluar dari tanah yang
sedang berahi pada Yutani.
Begitulah cerita mereka,
penduduk Nogoroth yang kini
ada di buritan kapal ini. Dari satu
tahun galaktik ke tahun galaktik
lainnya, Nogoroth tidak pernah
kekurangan air. Mereka
menyebut Yutani sebagai tuhan
pemberi air, tangan pemberi
berkah. Yutani si mata hitam.
Dan bukankah kau tahu
bagaimana Yutani dikalahkan
oleh Naki –bayi lain yang lahir
dengan harum damar dan
selaput bening tanpa bau amis,
dengan tangan yang terkepal
menggenggam berlian berbentuk
prisma, prisma yang mengu
raikan segala sinar menjadi
hamburan warna pelangi.
Seperti layaknya matahari dan
kabut yang tak pernah
menginjak debu bumi, Naki
dianggap suci karena ia harum
damar bukan berbau amis
darah. Biasalah, dia dapat pinja
man pedang, perisai, dan kuda
dari dewa-dewi tanah seberang
untuk membunuh Yutani.
Mengapa Yutani dibunuh, tanya
teman-temanku di sekeliling
unggun. Aku menjawab mereka:
karena Yutani bukan Naki.
Karena mengakui Yutani sebagai
tuhan adalah perbuatan keji.
Tuhan tidak berbau darah.
Tuhan harum damar.
Dari tanah kembali ke tanah.
Dari debu kembali ke debu.
Konon semua singa mengaum,
hiena melolong saat Naki
menusuk Yutani dengan
tombaknya yang berujung
berlian yang dibawa Naki
semenjak lahir. Mayat Yutani
dibuang ke jurang yang paling
dalam yang entah berdasar
entah tidak.
Naki naik ke atas tinggal di langit
mengendarai kereta emas yang
ditarik kuda yang bernafas api. Ia
menjadi imortal, datang tiap
tahun galaktik melintasi langit
dengan keretanya mengawasi
bumi dari atas kalau-kalau ruh
Yutani bangkit kembali. Kini tak
ada air di gurun dan di
Nogoroth, yang ada hanyalah
kematian.
Di dasar jurang Yutani sekarat
selama seribu tahun sampai
suatu saat si bisu yang melata
menghampiri Yutani. Si ular jatuh
cinta pada mata Yutani yang
hitam mengilap tanpa putih.
Hitam seperti granit. Ia
mengambil mata Yutani dan
Yutani diberinya tempat
berteduh di bawah bumi,
badannya mencair meresap di
antara pasir.
Jika dulu tanah birahi karena
tombak Yutani, maka kini tanah
Nogoroth berduka tanpa akhir,
tanah mengurug Yutani dan
menutupkan kerudung hitam di
atasnya.
Semenjak itu emas di Nogoroth
tidak berserak berbutir
kekuningan seperti sinar
matahari di permukaan,
melainkan hitam seperti mata si
ular. Dan emas-hitam cair itu
hanya bisa dipakai untuk
membakar,

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri