Pencerahan
Agama tak mati mati. Tapi juga
sekularisasi. Jangan jangan
karena keduanya sebenarnya tak
bertentangan.
Pernah ada suatu zaman ketika
orang orang pintar mengira
bahwa agama (”candu bagi
orang banyak”, kata Marx) akan
terhapus dari kehidupan.
Dari Eropa, suara seperti ini
menyebut diri suara
” Pencerahan”. Mereka
gambarkan manusia melangkah
dari gelap ke cerah. ”Gelap”
berarti kondisi ketika manusia
berpikir dan memandang dunia
dalam bimbingan doktrin dan
dogma. ”Cerah” berarti
hilangnya dua hal itu. Dengan
” Pencerahan”, manusia bebas
dari ketergantungan kepada
kepercayaan yang mengikat
pikirannya. Kita ingat perumusan
Kant yang termasyhur itu:
” Pencerahan” berarti keluar dari
Unmündigkeit, ketidakdewasaan
atau ketergantungan kepada
bimbingan orang lain —sebuah
keadaan yang sebenarnya dibikin
si manusia sendiri, selbst
verschuldeten.
Itu 1784. Itu zaman resah. Tahun
1789: Revolusi Prancis. Orang
orang atheis menyingkirkan
keyakinan dan lembaga agama
dari kehidupan publik. Revolusi
ini punya dampak yang
mendalam dan panjang pada
proses sekularisasi, sampai di
Prancis (dan Eropa) hari ini. Tapi
tak berarti agama lenyap.
Mula mula beberapa tokoh
revolusi menegakkan ”pemujaan
kepada akal budi”, Culte de la
Raison. Kultus ini tak mengenal
sesembahan. Dekristenisasi
berlangsung, Tuhan
dimakzulkan. Tapi itu tak
bertahan lama. Tahun 1794,
ketika ia jadi pemimpin Revolusi,
Robespierre menghukum
pancung para pelopor anti
Tuhan. Ia pun menegakkan
Culte de l ’Être suprême,
pemujaan kepada Wujud Yang
Maha Luhur. Ia percaya manusia
perlu Tuhan, setidaknya untuk
meneguhkan keadilan sosial.
” Andai Tuhan tak ada,” tulis
Voltaire di tahun 1770, ”ia harus
diciptakan”. Kant kurang lebih
berpikiran sama.
Memandang Tuhan sebagai yang
berguna Tuhan yang
instrumental itu tak berhenti
dengan gagalnya proyek
Robespierre. Bahkan sebenarnya
tak bermula dari sana. Ketika
manusia berpikir, sejak masa
Aristoteles, bahwa makhluk di
dunia ini pasti ada penyebab
pertamanya (causa sui, penyebab
yang tak disebabkan apa pun),
konsep ”Tuhan” ditemukan.
Konsep itu diletakkan sebagai
dasar argumen. Kemudian, di
zaman ketika manusia memakai
Tuhan untuk memperkuat posisi
politik dan menambah kekayaan,
atau sekadar menenteramkan
hati yang takut, Tuhan juga ada
untuk berguna. ”God is a
concept to measure our pain,”
kata John Lennon.
Dengan demikian, Tuhan tak lagi
sakral. Ia jadi sesuatu yang
profan. Posisinya tak jauh beda
dari ”instrumen” lain. Di situ
sekularisasi terjadi tapi tak atas
nama sekularisme. Agama
berkelindan semangat profan,
dan sebaliknya, agenda yang
profan (ala Robespierre atau ala
George W. Bush) dengan alim
memakai baju agama. Dalam
keadaan itu manusia sebenarnya
cerdik dan berkuasa. Ia lebih
mandiri ketimbang yang
dibayangkan Kant.
Kant memang tak
mengemukakan sesuatu yang
baru. Pencerahan terjadi sejak
manusia punya kehendak dan
memperalat apa saja yang di luar
dirinya untuk mencapai
kehendak itu. Dengan kata lain:
sejak manusia berani berpikir.
Sapere aude! semboyan yang
dipungut Kant sebagai moto
Pencerahan: ”Beranilah untuk
bijak”, atau ”Beranilah untuk
berpikir”. Tapi tekad yang lebih
gagah juga pernah dinyatakan
satu abad sebelumnya.
Pada awal abad ke 17, Francis
Bacon di Inggris menulis satu
proyek yang ambisius, The Great
Renewal. Pemikir, pejabat,
negarawan, dan ilmuwan itu
ingin memperbaharui gerak
kemajuan pengetahuan.
Halaman awal bukunya
bergambar sebuah perahu yang
melintasi ”Pilar pilar Heraklaitos”
menuju ke Lautan Atlantik. Di
zaman dahulu, tulisan yang
termaktub di antara kedua pilar
itu berbunyi, ”Ne plus
ultra” (Jangan pergi lebih dari
sini). Di buku Bacon, motonya,
” Multi pertransibunt, et
augebitter scientia” (Banyak yang
akan melintas, dan ilmu
pengetahuan akan bertambah).
Bacon meninggal di tahun 1626,
karena kedinginan dalam salju.
Ilmu pengetahuan bertambah,
juga keberanian manusia untuk
menembus batas. Tapi Bacon tak
segera diikuti. Eropa, juga Inggris,
tak tertarik untuk ilmu. Benua itu
terlibat dalam perang antara
Protestan dan Katolik yang tak
henti hentinya. Bacon pernah
memperkirakan, konflik antar
iman ini akan menumbuhkan
atheisme. Tentu ia salah.
Fanatisme malah berkobar.
Meskipun, dan ini yang sering
dilupakan, ketika itu sebenarnya
Tuhan telah direduksikan jadi
pendukung kubu yang saling
menghancurkan. Tuhan telah
jadi bagian dari teknologi politik.
Maka tak benar apa yang
dikatakan Marx: agama adalah
candu bagi orang banyak. Candu
menidurkan. Tapi di zaman itu,
juga di zaman kini, agama bagian
dari energi untuk satu tujuan:
mengalahkan apa yang di luar
itu: dunia yang dianggap tak
beres; manusia yang dianggap
mencong; alam yang dianggap
mubazir.
Dari dalamnya lahir manusia
sang penakluk.
Ini tak hanya berlaku di dunia
Kristen. Di dunia Islam, abad ke
20, dari Maududi sampai dengan
Qutb, citra manusia yang
sepenuhnya dibentuk oleh
tujuan —dan sanggup mengubah
dunia—membayang di mana
mana. Manusia yang di pusat
semesta itu juga pandangan yang
dianut Iqbal. Setidaknya dalam
sajak ini, ketika ia berbicara
dengan Tuhan:
Paduka buat malam, aku buat
sinar
Paduka buat lempung, aku buat
poci tembikar
Itu suara khas semangat
modern: angkuh, yakin. Ketika
itu yang suci sebenarnya tak
teramat menggetarkan dan tak
teramat berarti lagi.
Goenawan Mohamad
sekularisasi. Jangan jangan
karena keduanya sebenarnya tak
bertentangan.
Pernah ada suatu zaman ketika
orang orang pintar mengira
bahwa agama (”candu bagi
orang banyak”, kata Marx) akan
terhapus dari kehidupan.
Dari Eropa, suara seperti ini
menyebut diri suara
” Pencerahan”. Mereka
gambarkan manusia melangkah
dari gelap ke cerah. ”Gelap”
berarti kondisi ketika manusia
berpikir dan memandang dunia
dalam bimbingan doktrin dan
dogma. ”Cerah” berarti
hilangnya dua hal itu. Dengan
” Pencerahan”, manusia bebas
dari ketergantungan kepada
kepercayaan yang mengikat
pikirannya. Kita ingat perumusan
Kant yang termasyhur itu:
” Pencerahan” berarti keluar dari
Unmündigkeit, ketidakdewasaan
atau ketergantungan kepada
bimbingan orang lain —sebuah
keadaan yang sebenarnya dibikin
si manusia sendiri, selbst
verschuldeten.
Itu 1784. Itu zaman resah. Tahun
1789: Revolusi Prancis. Orang
orang atheis menyingkirkan
keyakinan dan lembaga agama
dari kehidupan publik. Revolusi
ini punya dampak yang
mendalam dan panjang pada
proses sekularisasi, sampai di
Prancis (dan Eropa) hari ini. Tapi
tak berarti agama lenyap.
Mula mula beberapa tokoh
revolusi menegakkan ”pemujaan
kepada akal budi”, Culte de la
Raison. Kultus ini tak mengenal
sesembahan. Dekristenisasi
berlangsung, Tuhan
dimakzulkan. Tapi itu tak
bertahan lama. Tahun 1794,
ketika ia jadi pemimpin Revolusi,
Robespierre menghukum
pancung para pelopor anti
Tuhan. Ia pun menegakkan
Culte de l ’Être suprême,
pemujaan kepada Wujud Yang
Maha Luhur. Ia percaya manusia
perlu Tuhan, setidaknya untuk
meneguhkan keadilan sosial.
” Andai Tuhan tak ada,” tulis
Voltaire di tahun 1770, ”ia harus
diciptakan”. Kant kurang lebih
berpikiran sama.
Memandang Tuhan sebagai yang
berguna Tuhan yang
instrumental itu tak berhenti
dengan gagalnya proyek
Robespierre. Bahkan sebenarnya
tak bermula dari sana. Ketika
manusia berpikir, sejak masa
Aristoteles, bahwa makhluk di
dunia ini pasti ada penyebab
pertamanya (causa sui, penyebab
yang tak disebabkan apa pun),
konsep ”Tuhan” ditemukan.
Konsep itu diletakkan sebagai
dasar argumen. Kemudian, di
zaman ketika manusia memakai
Tuhan untuk memperkuat posisi
politik dan menambah kekayaan,
atau sekadar menenteramkan
hati yang takut, Tuhan juga ada
untuk berguna. ”God is a
concept to measure our pain,”
kata John Lennon.
Dengan demikian, Tuhan tak lagi
sakral. Ia jadi sesuatu yang
profan. Posisinya tak jauh beda
dari ”instrumen” lain. Di situ
sekularisasi terjadi tapi tak atas
nama sekularisme. Agama
berkelindan semangat profan,
dan sebaliknya, agenda yang
profan (ala Robespierre atau ala
George W. Bush) dengan alim
memakai baju agama. Dalam
keadaan itu manusia sebenarnya
cerdik dan berkuasa. Ia lebih
mandiri ketimbang yang
dibayangkan Kant.
Kant memang tak
mengemukakan sesuatu yang
baru. Pencerahan terjadi sejak
manusia punya kehendak dan
memperalat apa saja yang di luar
dirinya untuk mencapai
kehendak itu. Dengan kata lain:
sejak manusia berani berpikir.
Sapere aude! semboyan yang
dipungut Kant sebagai moto
Pencerahan: ”Beranilah untuk
bijak”, atau ”Beranilah untuk
berpikir”. Tapi tekad yang lebih
gagah juga pernah dinyatakan
satu abad sebelumnya.
Pada awal abad ke 17, Francis
Bacon di Inggris menulis satu
proyek yang ambisius, The Great
Renewal. Pemikir, pejabat,
negarawan, dan ilmuwan itu
ingin memperbaharui gerak
kemajuan pengetahuan.
Halaman awal bukunya
bergambar sebuah perahu yang
melintasi ”Pilar pilar Heraklaitos”
menuju ke Lautan Atlantik. Di
zaman dahulu, tulisan yang
termaktub di antara kedua pilar
itu berbunyi, ”Ne plus
ultra” (Jangan pergi lebih dari
sini). Di buku Bacon, motonya,
” Multi pertransibunt, et
augebitter scientia” (Banyak yang
akan melintas, dan ilmu
pengetahuan akan bertambah).
Bacon meninggal di tahun 1626,
karena kedinginan dalam salju.
Ilmu pengetahuan bertambah,
juga keberanian manusia untuk
menembus batas. Tapi Bacon tak
segera diikuti. Eropa, juga Inggris,
tak tertarik untuk ilmu. Benua itu
terlibat dalam perang antara
Protestan dan Katolik yang tak
henti hentinya. Bacon pernah
memperkirakan, konflik antar
iman ini akan menumbuhkan
atheisme. Tentu ia salah.
Fanatisme malah berkobar.
Meskipun, dan ini yang sering
dilupakan, ketika itu sebenarnya
Tuhan telah direduksikan jadi
pendukung kubu yang saling
menghancurkan. Tuhan telah
jadi bagian dari teknologi politik.
Maka tak benar apa yang
dikatakan Marx: agama adalah
candu bagi orang banyak. Candu
menidurkan. Tapi di zaman itu,
juga di zaman kini, agama bagian
dari energi untuk satu tujuan:
mengalahkan apa yang di luar
itu: dunia yang dianggap tak
beres; manusia yang dianggap
mencong; alam yang dianggap
mubazir.
Dari dalamnya lahir manusia
sang penakluk.
Ini tak hanya berlaku di dunia
Kristen. Di dunia Islam, abad ke
20, dari Maududi sampai dengan
Qutb, citra manusia yang
sepenuhnya dibentuk oleh
tujuan —dan sanggup mengubah
dunia—membayang di mana
mana. Manusia yang di pusat
semesta itu juga pandangan yang
dianut Iqbal. Setidaknya dalam
sajak ini, ketika ia berbicara
dengan Tuhan:
Paduka buat malam, aku buat
sinar
Paduka buat lempung, aku buat
poci tembikar
Itu suara khas semangat
modern: angkuh, yakin. Ketika
itu yang suci sebenarnya tak
teramat menggetarkan dan tak
teramat berarti lagi.
Goenawan Mohamad
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !