Alternatif Cara Menyimpan Data
VIVAnews - Ide menyimpan
data di dalam bakteri sudah
terlintas sekitar satu dekade
terakhir. Pertimbangannya,
bakteri yang paling sederhana
sekalipun memiliki untaian DNA
panjang yang bisa menyimpan
enkripsi data.
Selain itu, secara alamiah, bakteri
jauh lebih tahan terhadap
kerusakan dibanding media
penyimpanan elektronik
manapun. Ia sanggup bertahan
dari berbagai macam bencana
yang dapat menghancurkan
harddisk.
Reproduksi alami bakteri juga
dapat dimanfaatkan untuk
membuat duplikasi data dan
menjaga integritas informasi yang
disimpan. Ini juga membuat
proses pengambilan kembali
data dapat dilakukan dengan
lebih mudah.
Berpedoman pada pemikiran
tersebut, sekelompok peneliti
asal The Chinese University of
Hong Kong mencari cara
bagaimana menyimpan data ke
dalam DNA bakteri. Ternyata
tidak sulit.
Pada bakteri, ada empat basis
DNA yang bisa digunakan untuk
membuat untaian DNA yakni
Adenine (A), Cytosine (C),
Guanine (G), dan Thymine (T).
Artinya, penyimpanan akan
menggunakan sistem angka basis
empat.
Pada laporannya, seperti dikutip
dari i09, 9 Desember 2010
peneliti memberi contoh
mengubah kata "iGEM" ke
dalam kode yang siap disimpan
dalam DNA.
Mereka menggunakan tabel
ASCII untuk mengonversi setiap
huruf ke dalam nilai numerik
misalnya i = 105, G = 71, dan
seterusnya. Angka ini kemudian
diubah menjadi penomoran basis
4 yakni 105 menjadi 1221, 71
menjadi 0113 dan seterusnya.
Angka basis 4 ini kemudian
diubah ke dalam sistem DNA
yang menggunakan kode A, T, C,
dan G di mana A menggantikan
angka 0, T menggantikan 1, C
menggantikan angka 2, dan G
pengganti angka 3. Jadi, kata
iGEM disimpan di dalam DNA
sebagai ATCTATTGATTTATGT.
Setelah data mentah siap,
peneliti menyebutkan, beberapa
algoritma bisa digunakan untuk
menyingkirkan informasi repetitif
atau redundan. Ini bukan hanya
dapat menghemat ruang,
banyaknya repetisi dalam
untaian DNA secara biologis
berpotensi membahayakan DNA
dan bakteri tersebut. Berarti,
penggunaan algoritma itu akan
mengatasi dua masalah
sekaligus.
Yang jadi masalah, untaian DNA
tidak cukup panjang untuk
menyimpan informasi kompleks
seperti foto atau buku. Solusi
terbaik adalah memecah data
menjadi bagian-bagian kecil dan
menyebarkannya pada sel yang
berbeda.
Agar berhasil, peneliti membuat
sistem yang memungkinkan
pecahan-pecahan data
diidentifikasi dan kemudian
disusun ke dalam urutan yang
benar. Untuk itu, mereka
membuat tiga struktur bagian
untuk seluruh DNA yakni
header, message, dan checksum.
Header merupakan rangkaian
sepanjang 8 bagian yang dibagi
ke dalam empat level informasi
yakni zona, kawasan, area, dan
distrik yang memungkinkan
setiap bagian dikembalikan ke
dalam urutan yang tepat.
Setelah pesan yang membawa
data sebenarnya dihantarkan,
checksum menyediakan repetisi
dari header awal yang berguna
untuk mengontrol mutasi yang
mungkin terjadi pada bakteri
yang bersangkutan.
Setelah informasi dienkripsi dan
ditempatkan pada banyak sel
yang berbeda di bakteri,
bagaimana cara pemilik data
mengambil kembali data yang
disimpan oleh bakteri yang
bersangkutan?
Sebuah decrypter akan
mengambil DNA dan
menjalankannya pada sebuah
teknologi yang disebut next-
generation high-througput
sequencing, atau NGS.
Tipe sequencing ini dapat
menganalisa dan
membandingkan banyak kopi
dari sequence yang sama dan
menggunakan modus terbanyak
untuk mengetahui basis data
mana yang benar dan data
mana yang telah mengalami
perubahan. Setelah itu,
algoritma kompresi akan
dibalikkan untuk mengembalikan
data mentah ke dalam bentuk
aslinya.
Langkah terakhir adalah
menyusun kembali pecahan-
pecahan data dalam urutan yang
benar agar rangkaian DNA
tersebut bisa diterjemahkan
kembali menjadi data yang dapat
digunakan.
Sampai tahap ini, data sudah
disimpan dan mengalami
enkripsi. Orang yang ingin
membaca data tersebut
membutuhkan formula yang
mengetahui urutan yang benar
dari header dan checksum.
Tanpa formula tersebut, data
yang ia miliki tidak dapat
digunakan.
data di dalam bakteri sudah
terlintas sekitar satu dekade
terakhir. Pertimbangannya,
bakteri yang paling sederhana
sekalipun memiliki untaian DNA
panjang yang bisa menyimpan
enkripsi data.
Selain itu, secara alamiah, bakteri
jauh lebih tahan terhadap
kerusakan dibanding media
penyimpanan elektronik
manapun. Ia sanggup bertahan
dari berbagai macam bencana
yang dapat menghancurkan
harddisk.
Reproduksi alami bakteri juga
dapat dimanfaatkan untuk
membuat duplikasi data dan
menjaga integritas informasi yang
disimpan. Ini juga membuat
proses pengambilan kembali
data dapat dilakukan dengan
lebih mudah.
Berpedoman pada pemikiran
tersebut, sekelompok peneliti
asal The Chinese University of
Hong Kong mencari cara
bagaimana menyimpan data ke
dalam DNA bakteri. Ternyata
tidak sulit.
Pada bakteri, ada empat basis
DNA yang bisa digunakan untuk
membuat untaian DNA yakni
Adenine (A), Cytosine (C),
Guanine (G), dan Thymine (T).
Artinya, penyimpanan akan
menggunakan sistem angka basis
empat.
Pada laporannya, seperti dikutip
dari i09, 9 Desember 2010
peneliti memberi contoh
mengubah kata "iGEM" ke
dalam kode yang siap disimpan
dalam DNA.
Mereka menggunakan tabel
ASCII untuk mengonversi setiap
huruf ke dalam nilai numerik
misalnya i = 105, G = 71, dan
seterusnya. Angka ini kemudian
diubah menjadi penomoran basis
4 yakni 105 menjadi 1221, 71
menjadi 0113 dan seterusnya.
Angka basis 4 ini kemudian
diubah ke dalam sistem DNA
yang menggunakan kode A, T, C,
dan G di mana A menggantikan
angka 0, T menggantikan 1, C
menggantikan angka 2, dan G
pengganti angka 3. Jadi, kata
iGEM disimpan di dalam DNA
sebagai ATCTATTGATTTATGT.
Setelah data mentah siap,
peneliti menyebutkan, beberapa
algoritma bisa digunakan untuk
menyingkirkan informasi repetitif
atau redundan. Ini bukan hanya
dapat menghemat ruang,
banyaknya repetisi dalam
untaian DNA secara biologis
berpotensi membahayakan DNA
dan bakteri tersebut. Berarti,
penggunaan algoritma itu akan
mengatasi dua masalah
sekaligus.
Yang jadi masalah, untaian DNA
tidak cukup panjang untuk
menyimpan informasi kompleks
seperti foto atau buku. Solusi
terbaik adalah memecah data
menjadi bagian-bagian kecil dan
menyebarkannya pada sel yang
berbeda.
Agar berhasil, peneliti membuat
sistem yang memungkinkan
pecahan-pecahan data
diidentifikasi dan kemudian
disusun ke dalam urutan yang
benar. Untuk itu, mereka
membuat tiga struktur bagian
untuk seluruh DNA yakni
header, message, dan checksum.
Header merupakan rangkaian
sepanjang 8 bagian yang dibagi
ke dalam empat level informasi
yakni zona, kawasan, area, dan
distrik yang memungkinkan
setiap bagian dikembalikan ke
dalam urutan yang tepat.
Setelah pesan yang membawa
data sebenarnya dihantarkan,
checksum menyediakan repetisi
dari header awal yang berguna
untuk mengontrol mutasi yang
mungkin terjadi pada bakteri
yang bersangkutan.
Setelah informasi dienkripsi dan
ditempatkan pada banyak sel
yang berbeda di bakteri,
bagaimana cara pemilik data
mengambil kembali data yang
disimpan oleh bakteri yang
bersangkutan?
Sebuah decrypter akan
mengambil DNA dan
menjalankannya pada sebuah
teknologi yang disebut next-
generation high-througput
sequencing, atau NGS.
Tipe sequencing ini dapat
menganalisa dan
membandingkan banyak kopi
dari sequence yang sama dan
menggunakan modus terbanyak
untuk mengetahui basis data
mana yang benar dan data
mana yang telah mengalami
perubahan. Setelah itu,
algoritma kompresi akan
dibalikkan untuk mengembalikan
data mentah ke dalam bentuk
aslinya.
Langkah terakhir adalah
menyusun kembali pecahan-
pecahan data dalam urutan yang
benar agar rangkaian DNA
tersebut bisa diterjemahkan
kembali menjadi data yang dapat
digunakan.
Sampai tahap ini, data sudah
disimpan dan mengalami
enkripsi. Orang yang ingin
membaca data tersebut
membutuhkan formula yang
mengetahui urutan yang benar
dari header dan checksum.
Tanpa formula tersebut, data
yang ia miliki tidak dapat
digunakan.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !