Tehnik Propaganda AS
Penyesatan
opini, dalam
berbagai
bentuknya,
sesungguhnya
merupakan
bagian dari sebuah propaganda.
Propaganda sering diartikan
sebagai suatu proses yang
melibatkan seorang
komunikator yang bertujuan
untuk mengubah sikap,
pendapat, dan perilaku
penduduk yang menjadi
sasarannya melalu simbol-
simbol verbal, tulisan, dan
perilaku; dengan menggunakan
media seperti buku-buku,
pamflet, film, ceramah, dan lain-
lain. Propaganda merupakan
salah satu metode standar yang
digunakan negara untuk
mengamankan, memelihara,
dan menerapkan power
(kekuasaan) dalam rangka
memajukan kepentingan
nasionalnya. (Columbus dan
Wolf, Pengantar Hubungan
Internasional, hlm. 184).
Melihat defenisi di atas,
propaganda merupakan perkara
yang ‘wajib’ ada dalam sebuah
negara, apalagi negara yang
ideologis. Di sinilah penguasa
atau rakyat sebuah negara
harus benar-benar mampu
menilai mana yang merupakan
propaganda mana yang tidak.
Penguasa atau rakyat sebuah
negara yang gagal memahami
propaganda negara lain akan
mengakibatkan perubahan
sikap, pendapat, dan
perilakunya justru sejalan
dengan kepentingan musuh.
Umat Islam sebagai umat yang
ideologis harus benar-benar
menyadari bahwa propaganda
itu benar-benar ada.
Propaganda bisa dilakukan
secara sistematis untuk
mendapat kemanfaatan jangka
pendek atau bisa juga untuk
kemanfaatan jangka panjang.
Untuk jangka pendek, misalnya,
melegalisasi serangan ke sebuah
negara dan menjatuhkan
sebuah rezim atau
pemerintahan di sebuah negara;
seperti propaganda AS untuk
menjatuhkan rezim Saddam
Hussein, Soekarno, dan
Soeharto, termasuk Taliban di
Afganistan. Sebagai contoh, saat
hendak menyerang Irak dalam
Perang Teluk II, AS melancarkan
propaganda dengan melakukan
pembohongan informasi kepada
kongres dan publik AS.
Terungkap kebohongan Nariyah
yang katanya merupakan saksi
kekejaman tentara Irak. Namun
ternyata, gadis ini tidak pernah
bekerja di Kuwait dan saat
peristiwa ada di Paris. Atas dasar
laporan bohong itulah, kongres
menyetujui serangan ke Irak.
(Lihat: ZA Maulani, dalam,
Terorisme dan Konspirasi Anti
Islam, hlm. 9). Untuk
menjatuhkan rezim Taliban, AS
dalam propagandanya
mendaftar pengkhianatan
Taliban terhadap rakyat
Afganistan seperti pembantaian,
pelanggaran hak asasi wanita
dan anak perempuan, perilaku
korup, dan menggunakan Islam
sebagai selubung pembantaian
etnis. (Jaringan Teroris, Deparlu
AS, hlm 13).
Propaganda bisa dilakukan juga
untuk kepentingan jangka
panjang. Propaganda seperti ini
biasanya lebih bersinggungan
dengan nilai-nilai ideologis yang
ingin disebarkan di pihak lawan
dan, sebaliknya, menanamkan
‘ citra jelek’ terhadap nilai-nilai
ideologis yang dianut oleh
negara musuh. Tipe propaganda
seperti ini biasa lebih
membutuhkan waktu yang
panjang, namun secara
sistematis dan kontinu terus
dilakukan. Sebagai contoh,
bagaimana AS dengan gencar
menyebarkan nilai-nilai
ideologisnya seperti sekularisme,
demokrasi, HAM, kebebasan,
dan pasar bebas. Sesungguhnya
ini merupakan propaganda
jangka panjang AS. Tujuannya
jelas, yakni untuk kepentingan
AS sendiri. Sebaliknya, AS
membuat citra jelek terhadap
lawan ideologinya seperti
tuduhan teroris, ekstrimis,
konservatif, dan pencitraan jelek
lainnya. Metode utama
propaganda jangka panjang ini
yang dilakukan oleh AS adalah
disinformasi, yakni melakukan
penyesatan opini. Inilah yang
sekarang ini sedang dilakukan
oleh AS kepada musuh utama
ideologisnya, yakni Islam.
Teknis Khusus ‘Penyesatan
Opini’
KJ Holsti, dalam Politik
Internasional: Kerangka untuk
Analisis, hlm 220, dengan
mengutip buku The Fine Art of
Propaganda: A Study of Father
Coughlin ’n Speeches,
mengemukakan beberapa teknis
propaganda yang sering
dilakukan untuk melakukan
penyesatan opini.
Pertama, nama julukan.
Propagandis mencantelkan
lambang yang dibebani emosi
pada seseorang atau suatu
negeri. Sasaran diharapkan akan
menanggapi cap tersebut tanpa
memeriksa bukti. Sebagai
contoh, Saddam Hussain diberi
julukan ‘Pembantai dari
Baghdad’. Selama Perang Teluk
II, media massa AS menyebut
Presiden Irak ini dengan sebutan
‘ Binatang Buas’ (Mary McGroriy,
Washington Post, 7/8/90) atau
‘ Monster’ (Newsweek, 20/8/90).
Orang-orang Arab (yang jelas
sangat berhubungan dengan
Islam) dalam budaya populer
Barat digambarkan sebagai
orang yang licik, tidak bisa
dipercaya, jalang, bernafsu seks
besar, dan kejam. Rasulullah
saw. dijuluki ‘si Maniak Seks’
atau ‘sang Teroris’.
Perusahaan kartun a Doaug
Marlette membuat headline
dengan judul, “What Would
Mohammed Drive?”
Digambarkan di sana, Rasulullah
mengendrai truk yang berisi
bom nuklir-laden yang mirip
dengan truk yang digunakan
oleh Timothi McVeigh dalam
pengeboman di Oklahoma City
1995. Pejuang Hamas diberi
gelar teroris. Para penegak
syariat Islam dilabeli secara
sistematis dengan julukan ‘kaum
skriptualis’, kaum tekstualis’,
atau ‘kaum ortodoks dan
konservatif’. Iran diberi gelar
‘negeri para mullah’ (tentu
dengan konotasi negatif). Istilah
‘ Muslim garis keras’, sebagai
lawan dari ‘Muslim moderat’,
digunakan untuk memberikan
kesan negatif pada pelaku
penegak syariat Islam. Negara
yang tidak sejalan dengan AS di
Timur Tengah dicap sebagai
‘ negara militan’, sementara
negara yang sejalan dengan AS
disebut ‘negara sahabat’ atau
‘negara moderat’.
Dalam teknis propaganda ini,
para propagandis biasanya
menggunakan istilah-istilah
emosional dan stereotif yang
telah melekat di telinga
pendengar. Seperti kata ‘buas’,
‘maniak’, garis keras’, biasanya
merupakan istilah yang sudah
melekat dianggap ‘jahat’.
Berbeda dengan kata ‘moderat’,
‘pejuang’, dan ‘substansialis’;
merupakan kata-kata yang
dianggap ‘baik’. Kata-kata
tersebut kemudian dilekatkan
pada seseorang atau negara
tanpa diperiksa lagi
kebenarannya.
Kedua, generalitas
gemerlapan .
Kalau yang pertama lebih
berkaitan dengan individu atau
suatu negeri, yang kedua ini
digunakan untuk gagasan atau
kebijakan. Istilah ‘dunia bebas’,
‘dunia beradab’, atau ‘dunia
yang makmur’ adalah
generalitas yang paling disukai
oleh Barat untuk mendukung
ide kapitalismenya.
Ketiga, pengalihan.
Pelaku propaganda berupaya
mengidentifikasikan suatu
gagasan, seseorang, suatu
negara, atau kebijakan dengan
mengalihkannya pada gagasan
atau kebijakan yang bertolak
belakang. Hal ini untuk
menimbulkan citra jelek pada
gagasan atau kebijakan pihak
musuh. Khilafah Islamiyah atau
negara Islam dijuluki sebagai
‘ negara pada zaman batu’,
‘sistem abad kegelapan’, ‘dunia
jumud dan tidak beradab’,
‘sistem utopis’, ‘sistem penuh
darah’, serta julukan-julukan
negatif lainnya. Perlawanan
terhadap penjajah Israel di
Palestina dialihkan dengan
gagasan lain seperti ‘anti Semith’
atau ‘anti negara demokrasi’.
Saat Irak diserang oleh AS
dalam Perang Teluk II, untuk
menutupi maksud AS
sebenarnya, dipropagandakan
bahwa hal itu demi
membebaskan Kuwait. Demikian
juga saat sekarang; untuk
menutupi tujuan AS sebenarnya,
yakni menguasai minyak Irak,
dipropagandakan bahwa
penyerangan atas Irak adalah
bukan untuk menyerang umat
Islam, tetapi untuk menjatuhkan
diktator Saddam Hussein. Pada
faktanya, saat AS menyerang
Irak dalam Perang Teluk II,
200.000 orang Irak meninggal
dunia. Pemerintah dan media
massa AS mengabaikan hal ini.
Bahkan, Colin Powel, saat
ditanya jumlah korban sipil di
Irak yang meninggal sejak tahun
1991 dalam tersebut, dengan
arogan menjawab, tidak peduli
dengan angka-angka korban
tersebut, “It’s really not a
number I am terribly interested
in. ”
Kalaulah AS memang
bermaksud baik menjatuhkan
diktator Saddam Hussein,
mengapa Raja Fahd, Musharaf,
Husni Mubarak, dan Islam
Karimov yang juga diktator tidak
diserang. Mengapa pula Ariel
Sharon, yang jelas-jelas
membantai umat Islam Palestina,
tidak diserang AS?
Keempat, ‘orang sederhana’.
Setiap pelaku propaganda sadar
bahwa masalah bertambah
rumit jika ia tampak pada
pendengarnya sebagai ‘orang
asing’. Karena itu, mereka
berupaya mengidentifikasikan
diri sedekat mungkin dengan
nilai dan gaya hidup sasaran
dengan menggunakan logat,
aksen, dan ungkapan setempat.
Untuk itu, para propagandis
biasanya lebih suka
menggunakan penduduk
‘ pribumi’ untuk menyuarakan
kepentingan mereka. Cara yang
paling efektif adalah merekayasa
seseorang untuk menjadi tokoh,
sumber rujukan, atau ilmuwan
yang kompeten. Hal ini
dilakukan lewat proses
pendidikan, rekayasa media
dengan menampilkan tokoh
tersebut secara terus-menerus,
atau dengan memberinya gelar/
penghargaan. Tentu saja dengan
kesan wah dan go internasional.
Jadi, umat Islam harus waspada,
kalau ada calon tokoh atau
tokoh, yang idenya
bertentangan dengan Islam
bahkan menyerang Islam, tetapi
mendapat banyak penghargaan
dari Barat.
Kelima, kesaksian.
Di sini propagandis
menggunakan seseorang atau
lembaga yang dihargai untuk
mendukung atau mengecam
suatu gagasan atau kesatuan
politik. Diharapkan sasaran
mempercayainya karena hal ini
disampaikan oleh yang
‘ berwenang’. Propagandis,
misalnya, menggunakan
narasumber yang diberi gelar
‘ pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang
berpengalaman’, atau ‘saksi
langsung’ untuk menambah
keyakinan para pendengarnya.
Untuk menambah keyakinan
pembaca tentang adanya
jaringan Jamaah Islamiyah atau
Jaringan al-Qaedah di Asia
Tenggara, media massa Barat
merujuk pada pendapat orang
yang mereka sebut sebagai
‘ pakar teroris’ seperti Rohan
Gunaratma. Dia disebut ‘pakar’
hanya karena mengarang buku
tentang terorisme. Di sini tidak
dipersoalkan, apakah buku yang
dikarangnya memberikan bukti-
bukti ilmiah atau tidak. Demikian
juga untuk menambah
keyakinan pendengar tentang
‘ pemahaman Islam yang
benar’—maksudnya yang
sejalan dengan kepentingan
Barat, media massa Barat
merujuk pada orang yang
mereka sebut dengan ‘pakar
Islam’ atau ‘cendekiawan
Muslim. Padahal, yang dirujuk
sering merupakan antek Barat
yang dicangkokkan di tubuh
umat. Di sini umat Islam penting
untuk tetap melihat argumentasi
dari ‘sumber-sumber’ tersebut,
bukan terpesona dengan gelar-
gelarnya.
Di samping itu, untuk
menambah percaya
pendengarnya, propagandis juga
merujuk pada lembaga-lembaga
swasta yang dikesankan
independen. Padahal, pada
praktiknya, lembaga ini
merupakan lembaga pesanan
yang menjalankan proyek-
proyek penelitian berskala besar
dengan biaya pemerintah.
Banyak studi-studi tentang Islam
atau Timur Tengah yang
disponsori oleh pemerintah AS
atau organasisi donor yang
berafiliasi kepada pemerintah
AS. Lembaga-lembaga yang
terkesan independen ini
kemudian memperkuat
pandangan pemerintah AS dan
mereka kemudian menjadi
rujukan media massa.
Di Indonesia, sudah diketahui
umum, pada imasa Orde Baru,
untuk memperkuat kebijakan
pemerintah yang otoriter dan
korup, penguasa sering merujuk
pada CSIS. Padahal, CSIS adalah
lembaga thinktank yang
diketahui berhubungan dengan
penguasa Orba pada waktu itu.
Dalam kampanye AS sekarang
ini juga banyak lembaga-
lembaga yang mendapat
bayaran dari Barat untuk
mendukung propaganda Barat.
Di AS beberapa lembaga
‘ independen’ diketahui memiliki
hubungan erat dengan
pemerintah seperti Heritage
Foundation.
Keenam, pilihan.
Hampir semua propaganda
biasanya melakukan pilihan
fakta; meskipun aktual, namun
jarang rinci. Kalaupun rinci,
propagandis menggunakan
‘ fakta-fakta’ yang diperlukan
saja untuk membuktikan tujuan
yang telah ditetapkan terlebih
dulu. Pilihan ini biasanya
digunakan untuk melakukan
generalisasi. Perjuangan syariat
Islam diidentikkan dengan
kekerasan.
Kesimpulan ini dibangun dengan
memilih fakta adanya aksi
kekerasaan yang dilakukan oleh
sekelompok kaum Muslim yang
ingin menegakkan syariat Islam
(itu pun sering tanpa bukti
hukum). Sementara itu, adanya
fakta lain berupa perjuangan
syariat Islam tanpa kekerasaan
— seperti yang dilakukan oleh
Hizbut Tahrir di Uzbekistan,
Yordania, Mesir, dan belahan
dunia lainnya —cendrung
ditutupi. Akibatnya, ada kesan
kuat bahwa perjuangan syariat
Islam identik dengan teror dan
kekerasan.
Pemerintah AS mengeluarkan
propaganda khusus untuk
membantah diskriminasi Muslim
di AS pasca Serangan 11
Septermber. Dalam iklan
propaganda yang disiarkan di
hampir seluruh Dunia Islam,
dipilih fakta-fakta tertentu untuk
mendukung tujuan tersebut.
Empat orang warga AS yang
berasal dari Arab bicara tentang
kebebasan dan kesempatan
hidup di Negeri Paman Sam itu.
Padahal, banyak fakta lain di AS
yang bertolak belakang dengan
iklan tersebut diabaikan; seperti
kewajiban cap jari bagi orang-
orang dari Arab, Pakistan, dan
negeri-negeri Islam lainnya;
perusakan masjid dan Islamic
Centre; gangguan terhadap
wanita Muslimah di Amerika.
Di samping pilihan fakta, pilihan
kata yang digunakan oleh media
massa juga berperan dalam
propaganda. Jika yang
melakukan penyerangan adalah
Muslim Palestina, serangan itu
disebut sebagai serangan dari
kelompok militan,
fundamentalis, garis keras,
bahkan teroris. Sebaliknya, jika
yang melakukan penyerangan
dan pembantaian adalah Israel
atau Amerika Serikat, kata yang
sering digunakan adalah
serangan balasan (retaliation),
serangan untuk mendahului
(preempative strike), atau
tindakan hukuman (punitive
action).
Pilihan kata itu tentu saja lebih
baik dari istilah teroris, bahkan
bisa dijadikan pembenaran
tindakan. Hamas yang ingin
membebaskan diri dari penjajah
Israel disebut teroris. Sebaliknya,
sebutan pejuang pro
kemerdekaan diberikan kepada
kelompok Fretelin di Timor
Timur yang ingin memisahkan
diri dari Indonesia. Jika yang
tertangkap adalah tentara AS,
mereka disebut sandera atau
hostage (berkonotasi tidak
bersalah). Sebaliknya, pejuang
al-Qaedah yang tertangkap
disebut tahanan atau detainer
(yang berkonotasi jahat dan
sudah bersalah).
Ketujuh, ikut pihak yang
banyak .
Teknik ini memanfaatkan
keinginan pendengar untuk
‘ menjadi bagian’ atau ‘satu
sikap’ dengan orang banyak.
Propaganda AS dan sekutunya
sering menggunakan ungkapan
‘ masyarakat internasional’,
‘sahabat-sahabat AS’, dsb.
Dengan teknik ini akan
terbangun suatu anggapan:
siapa yang menentang
propaganda tersebut akan
menjadi minoritas dan terkucil.
Teknis ini paling sering
digunakan oleh AS dalam
kampanye ‘Perang Melawan
Terorisme’-nya saat ini. AS dan
sekutunya sering menyatakan
bahwa terorisme adalah
serangan terhadap dunia.
Sama halnya dengan ungkapan
para penolak syariat Islam yang
sering menggunakan ungkapan,
‘ mayoritas umat Islam Indonesia
adalah moderat’, ‘organisasi
Islam terbesar di Indonesia saja
menolak syariat Islam ’, ‘mereka
itu hanya minoritas…’, dan
ungkapan-ungkapan sejenis
lainnya. Padahal jelas,
kebenaran tidaklah bergantung
pada suara mayoritas.
Kedelapan, kambing hitam
frustasi .
Salah satu cara untuk
menciptakan kebencian dan
melepaskan frustasi adalah
menciptakan kambing hitam.
Propaganda kapitalis acapkali
menuduh terorisme sebagai
pengacau kemakmuran dunia,
penyebab kemelaratan dan
kemiskinan, dan pengganggu
kebebasan dunia dan
demokrasi. Padahal semua itu
justru merupakan buah dari
sistem kapitalisme yang keji.
Syariat Islam dituduh
merendahkan wanita dan
menjadi pangkal kemunduran
wanita, padahal sistem
kapitalismelah penyebabnya.
Tuduhan ‘pemecah-belah’
sering dilontarkan terhadap
pejuang syariat Islam. Padahal
pada faktanya, justru ide
nasionalisme, kebebasan
menentukan nasib sendiri, dan
ide-ide kapitalisme lainnyalah
yang menyebabkan
terpecahbelahnya kaum Muslim.
Bukankah ini terjadi pada Timor
Timur yang melakukan
referandum untuk memisahkan
diri? Alasannya, kebebasan
menentukan nasib sendiri.(Farid
Wadjdi)
opini, dalam
berbagai
bentuknya,
sesungguhnya
merupakan
bagian dari sebuah propaganda.
Propaganda sering diartikan
sebagai suatu proses yang
melibatkan seorang
komunikator yang bertujuan
untuk mengubah sikap,
pendapat, dan perilaku
penduduk yang menjadi
sasarannya melalu simbol-
simbol verbal, tulisan, dan
perilaku; dengan menggunakan
media seperti buku-buku,
pamflet, film, ceramah, dan lain-
lain. Propaganda merupakan
salah satu metode standar yang
digunakan negara untuk
mengamankan, memelihara,
dan menerapkan power
(kekuasaan) dalam rangka
memajukan kepentingan
nasionalnya. (Columbus dan
Wolf, Pengantar Hubungan
Internasional, hlm. 184).
Melihat defenisi di atas,
propaganda merupakan perkara
yang ‘wajib’ ada dalam sebuah
negara, apalagi negara yang
ideologis. Di sinilah penguasa
atau rakyat sebuah negara
harus benar-benar mampu
menilai mana yang merupakan
propaganda mana yang tidak.
Penguasa atau rakyat sebuah
negara yang gagal memahami
propaganda negara lain akan
mengakibatkan perubahan
sikap, pendapat, dan
perilakunya justru sejalan
dengan kepentingan musuh.
Umat Islam sebagai umat yang
ideologis harus benar-benar
menyadari bahwa propaganda
itu benar-benar ada.
Propaganda bisa dilakukan
secara sistematis untuk
mendapat kemanfaatan jangka
pendek atau bisa juga untuk
kemanfaatan jangka panjang.
Untuk jangka pendek, misalnya,
melegalisasi serangan ke sebuah
negara dan menjatuhkan
sebuah rezim atau
pemerintahan di sebuah negara;
seperti propaganda AS untuk
menjatuhkan rezim Saddam
Hussein, Soekarno, dan
Soeharto, termasuk Taliban di
Afganistan. Sebagai contoh, saat
hendak menyerang Irak dalam
Perang Teluk II, AS melancarkan
propaganda dengan melakukan
pembohongan informasi kepada
kongres dan publik AS.
Terungkap kebohongan Nariyah
yang katanya merupakan saksi
kekejaman tentara Irak. Namun
ternyata, gadis ini tidak pernah
bekerja di Kuwait dan saat
peristiwa ada di Paris. Atas dasar
laporan bohong itulah, kongres
menyetujui serangan ke Irak.
(Lihat: ZA Maulani, dalam,
Terorisme dan Konspirasi Anti
Islam, hlm. 9). Untuk
menjatuhkan rezim Taliban, AS
dalam propagandanya
mendaftar pengkhianatan
Taliban terhadap rakyat
Afganistan seperti pembantaian,
pelanggaran hak asasi wanita
dan anak perempuan, perilaku
korup, dan menggunakan Islam
sebagai selubung pembantaian
etnis. (Jaringan Teroris, Deparlu
AS, hlm 13).
Propaganda bisa dilakukan juga
untuk kepentingan jangka
panjang. Propaganda seperti ini
biasanya lebih bersinggungan
dengan nilai-nilai ideologis yang
ingin disebarkan di pihak lawan
dan, sebaliknya, menanamkan
‘ citra jelek’ terhadap nilai-nilai
ideologis yang dianut oleh
negara musuh. Tipe propaganda
seperti ini biasa lebih
membutuhkan waktu yang
panjang, namun secara
sistematis dan kontinu terus
dilakukan. Sebagai contoh,
bagaimana AS dengan gencar
menyebarkan nilai-nilai
ideologisnya seperti sekularisme,
demokrasi, HAM, kebebasan,
dan pasar bebas. Sesungguhnya
ini merupakan propaganda
jangka panjang AS. Tujuannya
jelas, yakni untuk kepentingan
AS sendiri. Sebaliknya, AS
membuat citra jelek terhadap
lawan ideologinya seperti
tuduhan teroris, ekstrimis,
konservatif, dan pencitraan jelek
lainnya. Metode utama
propaganda jangka panjang ini
yang dilakukan oleh AS adalah
disinformasi, yakni melakukan
penyesatan opini. Inilah yang
sekarang ini sedang dilakukan
oleh AS kepada musuh utama
ideologisnya, yakni Islam.
Teknis Khusus ‘Penyesatan
Opini’
KJ Holsti, dalam Politik
Internasional: Kerangka untuk
Analisis, hlm 220, dengan
mengutip buku The Fine Art of
Propaganda: A Study of Father
Coughlin ’n Speeches,
mengemukakan beberapa teknis
propaganda yang sering
dilakukan untuk melakukan
penyesatan opini.
Pertama, nama julukan.
Propagandis mencantelkan
lambang yang dibebani emosi
pada seseorang atau suatu
negeri. Sasaran diharapkan akan
menanggapi cap tersebut tanpa
memeriksa bukti. Sebagai
contoh, Saddam Hussain diberi
julukan ‘Pembantai dari
Baghdad’. Selama Perang Teluk
II, media massa AS menyebut
Presiden Irak ini dengan sebutan
‘ Binatang Buas’ (Mary McGroriy,
Washington Post, 7/8/90) atau
‘ Monster’ (Newsweek, 20/8/90).
Orang-orang Arab (yang jelas
sangat berhubungan dengan
Islam) dalam budaya populer
Barat digambarkan sebagai
orang yang licik, tidak bisa
dipercaya, jalang, bernafsu seks
besar, dan kejam. Rasulullah
saw. dijuluki ‘si Maniak Seks’
atau ‘sang Teroris’.
Perusahaan kartun a Doaug
Marlette membuat headline
dengan judul, “What Would
Mohammed Drive?”
Digambarkan di sana, Rasulullah
mengendrai truk yang berisi
bom nuklir-laden yang mirip
dengan truk yang digunakan
oleh Timothi McVeigh dalam
pengeboman di Oklahoma City
1995. Pejuang Hamas diberi
gelar teroris. Para penegak
syariat Islam dilabeli secara
sistematis dengan julukan ‘kaum
skriptualis’, kaum tekstualis’,
atau ‘kaum ortodoks dan
konservatif’. Iran diberi gelar
‘negeri para mullah’ (tentu
dengan konotasi negatif). Istilah
‘ Muslim garis keras’, sebagai
lawan dari ‘Muslim moderat’,
digunakan untuk memberikan
kesan negatif pada pelaku
penegak syariat Islam. Negara
yang tidak sejalan dengan AS di
Timur Tengah dicap sebagai
‘ negara militan’, sementara
negara yang sejalan dengan AS
disebut ‘negara sahabat’ atau
‘negara moderat’.
Dalam teknis propaganda ini,
para propagandis biasanya
menggunakan istilah-istilah
emosional dan stereotif yang
telah melekat di telinga
pendengar. Seperti kata ‘buas’,
‘maniak’, garis keras’, biasanya
merupakan istilah yang sudah
melekat dianggap ‘jahat’.
Berbeda dengan kata ‘moderat’,
‘pejuang’, dan ‘substansialis’;
merupakan kata-kata yang
dianggap ‘baik’. Kata-kata
tersebut kemudian dilekatkan
pada seseorang atau negara
tanpa diperiksa lagi
kebenarannya.
Kedua, generalitas
gemerlapan .
Kalau yang pertama lebih
berkaitan dengan individu atau
suatu negeri, yang kedua ini
digunakan untuk gagasan atau
kebijakan. Istilah ‘dunia bebas’,
‘dunia beradab’, atau ‘dunia
yang makmur’ adalah
generalitas yang paling disukai
oleh Barat untuk mendukung
ide kapitalismenya.
Ketiga, pengalihan.
Pelaku propaganda berupaya
mengidentifikasikan suatu
gagasan, seseorang, suatu
negara, atau kebijakan dengan
mengalihkannya pada gagasan
atau kebijakan yang bertolak
belakang. Hal ini untuk
menimbulkan citra jelek pada
gagasan atau kebijakan pihak
musuh. Khilafah Islamiyah atau
negara Islam dijuluki sebagai
‘ negara pada zaman batu’,
‘sistem abad kegelapan’, ‘dunia
jumud dan tidak beradab’,
‘sistem utopis’, ‘sistem penuh
darah’, serta julukan-julukan
negatif lainnya. Perlawanan
terhadap penjajah Israel di
Palestina dialihkan dengan
gagasan lain seperti ‘anti Semith’
atau ‘anti negara demokrasi’.
Saat Irak diserang oleh AS
dalam Perang Teluk II, untuk
menutupi maksud AS
sebenarnya, dipropagandakan
bahwa hal itu demi
membebaskan Kuwait. Demikian
juga saat sekarang; untuk
menutupi tujuan AS sebenarnya,
yakni menguasai minyak Irak,
dipropagandakan bahwa
penyerangan atas Irak adalah
bukan untuk menyerang umat
Islam, tetapi untuk menjatuhkan
diktator Saddam Hussein. Pada
faktanya, saat AS menyerang
Irak dalam Perang Teluk II,
200.000 orang Irak meninggal
dunia. Pemerintah dan media
massa AS mengabaikan hal ini.
Bahkan, Colin Powel, saat
ditanya jumlah korban sipil di
Irak yang meninggal sejak tahun
1991 dalam tersebut, dengan
arogan menjawab, tidak peduli
dengan angka-angka korban
tersebut, “It’s really not a
number I am terribly interested
in. ”
Kalaulah AS memang
bermaksud baik menjatuhkan
diktator Saddam Hussein,
mengapa Raja Fahd, Musharaf,
Husni Mubarak, dan Islam
Karimov yang juga diktator tidak
diserang. Mengapa pula Ariel
Sharon, yang jelas-jelas
membantai umat Islam Palestina,
tidak diserang AS?
Keempat, ‘orang sederhana’.
Setiap pelaku propaganda sadar
bahwa masalah bertambah
rumit jika ia tampak pada
pendengarnya sebagai ‘orang
asing’. Karena itu, mereka
berupaya mengidentifikasikan
diri sedekat mungkin dengan
nilai dan gaya hidup sasaran
dengan menggunakan logat,
aksen, dan ungkapan setempat.
Untuk itu, para propagandis
biasanya lebih suka
menggunakan penduduk
‘ pribumi’ untuk menyuarakan
kepentingan mereka. Cara yang
paling efektif adalah merekayasa
seseorang untuk menjadi tokoh,
sumber rujukan, atau ilmuwan
yang kompeten. Hal ini
dilakukan lewat proses
pendidikan, rekayasa media
dengan menampilkan tokoh
tersebut secara terus-menerus,
atau dengan memberinya gelar/
penghargaan. Tentu saja dengan
kesan wah dan go internasional.
Jadi, umat Islam harus waspada,
kalau ada calon tokoh atau
tokoh, yang idenya
bertentangan dengan Islam
bahkan menyerang Islam, tetapi
mendapat banyak penghargaan
dari Barat.
Kelima, kesaksian.
Di sini propagandis
menggunakan seseorang atau
lembaga yang dihargai untuk
mendukung atau mengecam
suatu gagasan atau kesatuan
politik. Diharapkan sasaran
mempercayainya karena hal ini
disampaikan oleh yang
‘ berwenang’. Propagandis,
misalnya, menggunakan
narasumber yang diberi gelar
‘ pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang
berpengalaman’, atau ‘saksi
langsung’ untuk menambah
keyakinan para pendengarnya.
Untuk menambah keyakinan
pembaca tentang adanya
jaringan Jamaah Islamiyah atau
Jaringan al-Qaedah di Asia
Tenggara, media massa Barat
merujuk pada pendapat orang
yang mereka sebut sebagai
‘ pakar teroris’ seperti Rohan
Gunaratma. Dia disebut ‘pakar’
hanya karena mengarang buku
tentang terorisme. Di sini tidak
dipersoalkan, apakah buku yang
dikarangnya memberikan bukti-
bukti ilmiah atau tidak. Demikian
juga untuk menambah
keyakinan pendengar tentang
‘ pemahaman Islam yang
benar’—maksudnya yang
sejalan dengan kepentingan
Barat, media massa Barat
merujuk pada orang yang
mereka sebut dengan ‘pakar
Islam’ atau ‘cendekiawan
Muslim. Padahal, yang dirujuk
sering merupakan antek Barat
yang dicangkokkan di tubuh
umat. Di sini umat Islam penting
untuk tetap melihat argumentasi
dari ‘sumber-sumber’ tersebut,
bukan terpesona dengan gelar-
gelarnya.
Di samping itu, untuk
menambah percaya
pendengarnya, propagandis juga
merujuk pada lembaga-lembaga
swasta yang dikesankan
independen. Padahal, pada
praktiknya, lembaga ini
merupakan lembaga pesanan
yang menjalankan proyek-
proyek penelitian berskala besar
dengan biaya pemerintah.
Banyak studi-studi tentang Islam
atau Timur Tengah yang
disponsori oleh pemerintah AS
atau organasisi donor yang
berafiliasi kepada pemerintah
AS. Lembaga-lembaga yang
terkesan independen ini
kemudian memperkuat
pandangan pemerintah AS dan
mereka kemudian menjadi
rujukan media massa.
Di Indonesia, sudah diketahui
umum, pada imasa Orde Baru,
untuk memperkuat kebijakan
pemerintah yang otoriter dan
korup, penguasa sering merujuk
pada CSIS. Padahal, CSIS adalah
lembaga thinktank yang
diketahui berhubungan dengan
penguasa Orba pada waktu itu.
Dalam kampanye AS sekarang
ini juga banyak lembaga-
lembaga yang mendapat
bayaran dari Barat untuk
mendukung propaganda Barat.
Di AS beberapa lembaga
‘ independen’ diketahui memiliki
hubungan erat dengan
pemerintah seperti Heritage
Foundation.
Keenam, pilihan.
Hampir semua propaganda
biasanya melakukan pilihan
fakta; meskipun aktual, namun
jarang rinci. Kalaupun rinci,
propagandis menggunakan
‘ fakta-fakta’ yang diperlukan
saja untuk membuktikan tujuan
yang telah ditetapkan terlebih
dulu. Pilihan ini biasanya
digunakan untuk melakukan
generalisasi. Perjuangan syariat
Islam diidentikkan dengan
kekerasan.
Kesimpulan ini dibangun dengan
memilih fakta adanya aksi
kekerasaan yang dilakukan oleh
sekelompok kaum Muslim yang
ingin menegakkan syariat Islam
(itu pun sering tanpa bukti
hukum). Sementara itu, adanya
fakta lain berupa perjuangan
syariat Islam tanpa kekerasaan
— seperti yang dilakukan oleh
Hizbut Tahrir di Uzbekistan,
Yordania, Mesir, dan belahan
dunia lainnya —cendrung
ditutupi. Akibatnya, ada kesan
kuat bahwa perjuangan syariat
Islam identik dengan teror dan
kekerasan.
Pemerintah AS mengeluarkan
propaganda khusus untuk
membantah diskriminasi Muslim
di AS pasca Serangan 11
Septermber. Dalam iklan
propaganda yang disiarkan di
hampir seluruh Dunia Islam,
dipilih fakta-fakta tertentu untuk
mendukung tujuan tersebut.
Empat orang warga AS yang
berasal dari Arab bicara tentang
kebebasan dan kesempatan
hidup di Negeri Paman Sam itu.
Padahal, banyak fakta lain di AS
yang bertolak belakang dengan
iklan tersebut diabaikan; seperti
kewajiban cap jari bagi orang-
orang dari Arab, Pakistan, dan
negeri-negeri Islam lainnya;
perusakan masjid dan Islamic
Centre; gangguan terhadap
wanita Muslimah di Amerika.
Di samping pilihan fakta, pilihan
kata yang digunakan oleh media
massa juga berperan dalam
propaganda. Jika yang
melakukan penyerangan adalah
Muslim Palestina, serangan itu
disebut sebagai serangan dari
kelompok militan,
fundamentalis, garis keras,
bahkan teroris. Sebaliknya, jika
yang melakukan penyerangan
dan pembantaian adalah Israel
atau Amerika Serikat, kata yang
sering digunakan adalah
serangan balasan (retaliation),
serangan untuk mendahului
(preempative strike), atau
tindakan hukuman (punitive
action).
Pilihan kata itu tentu saja lebih
baik dari istilah teroris, bahkan
bisa dijadikan pembenaran
tindakan. Hamas yang ingin
membebaskan diri dari penjajah
Israel disebut teroris. Sebaliknya,
sebutan pejuang pro
kemerdekaan diberikan kepada
kelompok Fretelin di Timor
Timur yang ingin memisahkan
diri dari Indonesia. Jika yang
tertangkap adalah tentara AS,
mereka disebut sandera atau
hostage (berkonotasi tidak
bersalah). Sebaliknya, pejuang
al-Qaedah yang tertangkap
disebut tahanan atau detainer
(yang berkonotasi jahat dan
sudah bersalah).
Ketujuh, ikut pihak yang
banyak .
Teknik ini memanfaatkan
keinginan pendengar untuk
‘ menjadi bagian’ atau ‘satu
sikap’ dengan orang banyak.
Propaganda AS dan sekutunya
sering menggunakan ungkapan
‘ masyarakat internasional’,
‘sahabat-sahabat AS’, dsb.
Dengan teknik ini akan
terbangun suatu anggapan:
siapa yang menentang
propaganda tersebut akan
menjadi minoritas dan terkucil.
Teknis ini paling sering
digunakan oleh AS dalam
kampanye ‘Perang Melawan
Terorisme’-nya saat ini. AS dan
sekutunya sering menyatakan
bahwa terorisme adalah
serangan terhadap dunia.
Sama halnya dengan ungkapan
para penolak syariat Islam yang
sering menggunakan ungkapan,
‘ mayoritas umat Islam Indonesia
adalah moderat’, ‘organisasi
Islam terbesar di Indonesia saja
menolak syariat Islam ’, ‘mereka
itu hanya minoritas…’, dan
ungkapan-ungkapan sejenis
lainnya. Padahal jelas,
kebenaran tidaklah bergantung
pada suara mayoritas.
Kedelapan, kambing hitam
frustasi .
Salah satu cara untuk
menciptakan kebencian dan
melepaskan frustasi adalah
menciptakan kambing hitam.
Propaganda kapitalis acapkali
menuduh terorisme sebagai
pengacau kemakmuran dunia,
penyebab kemelaratan dan
kemiskinan, dan pengganggu
kebebasan dunia dan
demokrasi. Padahal semua itu
justru merupakan buah dari
sistem kapitalisme yang keji.
Syariat Islam dituduh
merendahkan wanita dan
menjadi pangkal kemunduran
wanita, padahal sistem
kapitalismelah penyebabnya.
Tuduhan ‘pemecah-belah’
sering dilontarkan terhadap
pejuang syariat Islam. Padahal
pada faktanya, justru ide
nasionalisme, kebebasan
menentukan nasib sendiri, dan
ide-ide kapitalisme lainnyalah
yang menyebabkan
terpecahbelahnya kaum Muslim.
Bukankah ini terjadi pada Timor
Timur yang melakukan
referandum untuk memisahkan
diri? Alasannya, kebebasan
menentukan nasib sendiri.(Farid
Wadjdi)
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !