Maridjan
Mbah Maridjan: sebuah
pertanyaan. Ia tewas di
tempatnya bertugas di Gunung
Merapi, karena ia sejak lama
menolak turun menghindar dari
letusan yang telah berkali-kali
menelan korban itu.
Kesetiaannya mengagumkan,
tapi apa arti tugas itu
sebenarnya?
Ia, meninggal dalam usia 83,
mungkin sebagai pelanjut dari
alam pikiran yang dikukuhkan
Kerajaan Mataram sejak abad
ke-17. Ia pernah bercerita,
Merapi adalah tempat
terkuburnya Empu Rama dan
Permadi, dua pembuat keris
yang ditimbuni Gunung
Jamurdipa karena telah
mengalahkan dewa-dewa. Kedua
orang itu tak mati. Mereka
hidup, menghuni gunung yang
kemudian disebut Merapi itu —
yang jadi semacam keraton para
arwah. Dan ke sanalah Raja
Mataram (Islam) pertama,
Panembahan Senapati
(1575-1601), mengirim juru
tamannya yang berubah jadi
raksasa. Si raksasa diangkat
sebagai "Patih Keraton Merapi",
dijuluki Kiai Sapujagat. Dengan
itu, Panembahan Senapati, yang
dikisahkan mempersunting Ratu
Laut Selatan, menunjukkan
bahwa kuasanya juga
membentang ke arah utara. Dan
di situlah pelanjut Kerajaan
Mataram, atau Yogyakarta sejak
abad ke-19, mengangkat orang
untuk jadi kuncen Merapi.
Maridjan, yang biasa dipanggil
"Mbah", sejak 1982 diangkat
Hamengku Buwono IX untuk
tugas itu. Betapa penting
kehormatan itu bagi si jelata
yang lahir di Dukuh Kinahrejo di
kaki Merapi itu. Ia menyandang
gelar kebangsawanan "Raden";
nama resminya Surakso Hargo.
Tapi ia tak tunduk kepada raja
yang sekarang, Hamengku
Buwono X. Dalam majalah
National Geographic yang terbit
Januari 2008, ("Living with
Volcanoes", tulisan Andrew
Marshall), disebutkan bagaimana
Maridjan menganggap HB X
membiarkan para pengusaha
mencopoti jutaan meter kubik
batu dan pasir dari tubuh
Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan
enggan ikut dalam upacara
nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika
makanan, kembang, kain, dan
potongan rambut serta kuku raja
dipersembahkan untuk
melestarikan hubungannya
dengan Keraton Merapi.
Agaknya Maridjan tak mengerti,
HB X ada di alam pikiran yang
berbeda. Sri Sultan, yang dalam
National Geographic
digambarkan mengisap lisong
Davidoff dan suka setelan
Armani, mengatakan: "Sebuah
bangsa yang besar tak dapat
dibangun di atas mithos yang
pesimistis."
Modernitas memang berangkat
dengan optimisme. Ia bertolak
dari keyakinan manusia bisa
melepaskan diri dari alam
sekitarnya. Dengan jarak itu, ia
sanggup mengendalikan dunia.
Fisika, geografi, ilmu kimia, dan
juga teknologi bertumbuh terus
dari kesanggupan menaklukkan
bumi. Kesadaran modern
menganggap alam sebagai
materi yang mati. Tak ada peri
menghuni samudra, tak ada
raksasa menjaga Merapi.
Di abad ke-18, di Jerman,
penyair Schiller menyebut arus
modern ini sebagai die
Entgötterung der Natur,
"lepasnya dewa-dewa dari
alam".
Tapi tak hanya di Jerman di
zaman Schiller dan Goethe
tumbuh kesadaran hilangnya
sifat yang magis dari alam.
Animisme, yang menganggap
benda-benda sekitar punya
sukma, tergusur di Yunani sejak
Sokrates dan Plato. Sejak abad
ke-5 Sebelum Masehi,
rasionalitas disambut. Sokrates
tak menyukai mereka yang
bekerja hanya berdasarkan
"naluri". Plato tak menghendaki
penyair yang memandang alam
sebagai sesuatu yang senyawa
dengan manusia.
Tak dapat dilupakan: alam jadi
mati, sebagaimana animisme
terusir, sejak monotheisme
ditegakkan. Pada mulanya
adalah agama Yahudi. Yahweh
adalah Tuhan yang "cemburu",
demikian disebut dalam
Perjanjian Lama. "Janganlah ada
padamu allah lain di hadapan-
Ku", begitu sabda-Nya. Maka
sebagaimana orang-orang
penyembah patung lembu
dibinasakan, segala sikap yang
menganggap benda apa pun
sebagai sesuatu yang punya
anima dianggap menyembah
berhala.
Monotheisme yang
mengharamkan animisme itu
berlanjut dalam agama Kristen
dan Islam. Pada satu titik, agama
Ibrahim ini bertemu dengan
semangat modern: saat
"lepasnya dewa-dewa dari
alam". Tak mengherankan bila
tendensi anti-takhayul tumbuh
misalnya di kalangan
Muhammadiyah, yang lazim
disebut sebagai pembawa
modernitas dalam Islam di
Indonesia. Tak mengherankan
bila orang Muhammadiyah
(seperti halnya HB X) cenderung
menampik adat nyadran di
Merapi dan di mana saja.
Nyadran adalah pemberhalaan.
Tapi ada yang sebenarnya hilang
ketika adat itu disingkirkan. Max
Weber, sosiolog itu, telah
termasyhur dengan telaahnya
tentang proses hilangnya yang
"magis" dari dunia, yang terjadi
sejak modernitas berkembang
biak. Manusia sejak itu hanya
menggunakan "akal
instrumental", memperlakukan
alam sebagai sesuatu yang bisa
diperalat, dengan hasil yang bisa
diarahkan. Dunia modern dan
kerusakan ekologi cepat bertaut.
Yang tak disebutkan Weber:
agama-agama pun kehilangan
kepekaannya kepada yang
sesungguhnya mendasari iman—
kepekaan kepada yang
menggetarkan dari kehadiran
Yang Suci, yang dalam kata-kata
Rudolf Otto yang terkenal
disebut sebagai mysterium,
tremendum, et fascinans. Yang
Suci membangkitkan pada diri
kita rasa gentar dan takjub
karena misterinya yang dahsyat.
Tapi ketika alam dipisahkan dari
Yang Suci (karena tak boleh
di-"sekutu"-kan), Tuhan pun
berjarak. Ia tak membuat kita
luruh. Kita hanya berhubungan
dengan-Nya lewat hukum.
Tuhan pun mudah ditebak.
Hukuman dan pahalanya dapat
dikalkulasi.
Maka ketika gunung meletus
dan tsunami menggebuk,
mereka yang merasa bisa
memperhitungkan maksud
Tuhan dengan cepat bisa
menjelaskan: bencana itu azab,
ia terjadi untuk tujuan tertentu.
Dalam hal ini agama mirip
dengan ilmu-ilmu yang merasa
bisa menjelaskan & menguasai
alam —dan membuat manusia
bersujud kepada Tuhan yang
sebenarnya tak akrab.
Saya kira Mbah Maridjan
meninggal dengan bersujud
kepada Tuhan yang sama. Tapi
Tuhan itu masih membuatnya
gentar, takjub, dan bertanya.
Goenawan Mohamad
pertanyaan. Ia tewas di
tempatnya bertugas di Gunung
Merapi, karena ia sejak lama
menolak turun menghindar dari
letusan yang telah berkali-kali
menelan korban itu.
Kesetiaannya mengagumkan,
tapi apa arti tugas itu
sebenarnya?
Ia, meninggal dalam usia 83,
mungkin sebagai pelanjut dari
alam pikiran yang dikukuhkan
Kerajaan Mataram sejak abad
ke-17. Ia pernah bercerita,
Merapi adalah tempat
terkuburnya Empu Rama dan
Permadi, dua pembuat keris
yang ditimbuni Gunung
Jamurdipa karena telah
mengalahkan dewa-dewa. Kedua
orang itu tak mati. Mereka
hidup, menghuni gunung yang
kemudian disebut Merapi itu —
yang jadi semacam keraton para
arwah. Dan ke sanalah Raja
Mataram (Islam) pertama,
Panembahan Senapati
(1575-1601), mengirim juru
tamannya yang berubah jadi
raksasa. Si raksasa diangkat
sebagai "Patih Keraton Merapi",
dijuluki Kiai Sapujagat. Dengan
itu, Panembahan Senapati, yang
dikisahkan mempersunting Ratu
Laut Selatan, menunjukkan
bahwa kuasanya juga
membentang ke arah utara. Dan
di situlah pelanjut Kerajaan
Mataram, atau Yogyakarta sejak
abad ke-19, mengangkat orang
untuk jadi kuncen Merapi.
Maridjan, yang biasa dipanggil
"Mbah", sejak 1982 diangkat
Hamengku Buwono IX untuk
tugas itu. Betapa penting
kehormatan itu bagi si jelata
yang lahir di Dukuh Kinahrejo di
kaki Merapi itu. Ia menyandang
gelar kebangsawanan "Raden";
nama resminya Surakso Hargo.
Tapi ia tak tunduk kepada raja
yang sekarang, Hamengku
Buwono X. Dalam majalah
National Geographic yang terbit
Januari 2008, ("Living with
Volcanoes", tulisan Andrew
Marshall), disebutkan bagaimana
Maridjan menganggap HB X
membiarkan para pengusaha
mencopoti jutaan meter kubik
batu dan pasir dari tubuh
Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan
enggan ikut dalam upacara
nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika
makanan, kembang, kain, dan
potongan rambut serta kuku raja
dipersembahkan untuk
melestarikan hubungannya
dengan Keraton Merapi.
Agaknya Maridjan tak mengerti,
HB X ada di alam pikiran yang
berbeda. Sri Sultan, yang dalam
National Geographic
digambarkan mengisap lisong
Davidoff dan suka setelan
Armani, mengatakan: "Sebuah
bangsa yang besar tak dapat
dibangun di atas mithos yang
pesimistis."
Modernitas memang berangkat
dengan optimisme. Ia bertolak
dari keyakinan manusia bisa
melepaskan diri dari alam
sekitarnya. Dengan jarak itu, ia
sanggup mengendalikan dunia.
Fisika, geografi, ilmu kimia, dan
juga teknologi bertumbuh terus
dari kesanggupan menaklukkan
bumi. Kesadaran modern
menganggap alam sebagai
materi yang mati. Tak ada peri
menghuni samudra, tak ada
raksasa menjaga Merapi.
Di abad ke-18, di Jerman,
penyair Schiller menyebut arus
modern ini sebagai die
Entgötterung der Natur,
"lepasnya dewa-dewa dari
alam".
Tapi tak hanya di Jerman di
zaman Schiller dan Goethe
tumbuh kesadaran hilangnya
sifat yang magis dari alam.
Animisme, yang menganggap
benda-benda sekitar punya
sukma, tergusur di Yunani sejak
Sokrates dan Plato. Sejak abad
ke-5 Sebelum Masehi,
rasionalitas disambut. Sokrates
tak menyukai mereka yang
bekerja hanya berdasarkan
"naluri". Plato tak menghendaki
penyair yang memandang alam
sebagai sesuatu yang senyawa
dengan manusia.
Tak dapat dilupakan: alam jadi
mati, sebagaimana animisme
terusir, sejak monotheisme
ditegakkan. Pada mulanya
adalah agama Yahudi. Yahweh
adalah Tuhan yang "cemburu",
demikian disebut dalam
Perjanjian Lama. "Janganlah ada
padamu allah lain di hadapan-
Ku", begitu sabda-Nya. Maka
sebagaimana orang-orang
penyembah patung lembu
dibinasakan, segala sikap yang
menganggap benda apa pun
sebagai sesuatu yang punya
anima dianggap menyembah
berhala.
Monotheisme yang
mengharamkan animisme itu
berlanjut dalam agama Kristen
dan Islam. Pada satu titik, agama
Ibrahim ini bertemu dengan
semangat modern: saat
"lepasnya dewa-dewa dari
alam". Tak mengherankan bila
tendensi anti-takhayul tumbuh
misalnya di kalangan
Muhammadiyah, yang lazim
disebut sebagai pembawa
modernitas dalam Islam di
Indonesia. Tak mengherankan
bila orang Muhammadiyah
(seperti halnya HB X) cenderung
menampik adat nyadran di
Merapi dan di mana saja.
Nyadran adalah pemberhalaan.
Tapi ada yang sebenarnya hilang
ketika adat itu disingkirkan. Max
Weber, sosiolog itu, telah
termasyhur dengan telaahnya
tentang proses hilangnya yang
"magis" dari dunia, yang terjadi
sejak modernitas berkembang
biak. Manusia sejak itu hanya
menggunakan "akal
instrumental", memperlakukan
alam sebagai sesuatu yang bisa
diperalat, dengan hasil yang bisa
diarahkan. Dunia modern dan
kerusakan ekologi cepat bertaut.
Yang tak disebutkan Weber:
agama-agama pun kehilangan
kepekaannya kepada yang
sesungguhnya mendasari iman—
kepekaan kepada yang
menggetarkan dari kehadiran
Yang Suci, yang dalam kata-kata
Rudolf Otto yang terkenal
disebut sebagai mysterium,
tremendum, et fascinans. Yang
Suci membangkitkan pada diri
kita rasa gentar dan takjub
karena misterinya yang dahsyat.
Tapi ketika alam dipisahkan dari
Yang Suci (karena tak boleh
di-"sekutu"-kan), Tuhan pun
berjarak. Ia tak membuat kita
luruh. Kita hanya berhubungan
dengan-Nya lewat hukum.
Tuhan pun mudah ditebak.
Hukuman dan pahalanya dapat
dikalkulasi.
Maka ketika gunung meletus
dan tsunami menggebuk,
mereka yang merasa bisa
memperhitungkan maksud
Tuhan dengan cepat bisa
menjelaskan: bencana itu azab,
ia terjadi untuk tujuan tertentu.
Dalam hal ini agama mirip
dengan ilmu-ilmu yang merasa
bisa menjelaskan & menguasai
alam —dan membuat manusia
bersujud kepada Tuhan yang
sebenarnya tak akrab.
Saya kira Mbah Maridjan
meninggal dengan bersujud
kepada Tuhan yang sama. Tapi
Tuhan itu masih membuatnya
gentar, takjub, dan bertanya.
Goenawan Mohamad
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !