Konspirasi FPI
Dengan ideologi puritannya
terkadang bisa saja dia dan para
asistennya menjadi naif dan
ekstra lugu. Kalau kita lebih jeli
melihat aksi-aksi politik FPI, tentu
kita bisa menarik dari arah mana
sumber dukungan ke FPI ini
berasal.
Kalau saya tidak salah, FPI
(dengan Laskar Pembela Islam
nya) pertama kali muncul dalam
demo tanggal 17 Agustus 1998.
Mereka menentang semua
elemen-elemen aksi yang
menolak Habibie menjadi
presiden.
Pada Bulan Agustus 1999, FPI/LPI
melakukan demo ke MPR.
Mereka mendukung pemilihan
kembali Habibie menjadi
presiden, dan menolak Megawati
Soekarnoputri menjadi kandidat
presiden dengan alasan
“menurut Islam, haram
hukumnya kalau perempuan
menjadi presiden.”
Pada kesempatan lain FPI/LPI
menyerang Komnas HAM yang
sedang melakukan investigasi
beberapa jenderal (termasuk
Menteri Pertahanan Wiranto,
waktu itu) yang diduga
melakukan pelanggaran HAM
berat di Timor Timur. Menurut
FPI/LPI, Komnas HAM tidak
membela umat Islam (yaitu para
jenderal yang muslim) tapi
membela orang Timor Timur
yang Nasrani.
Disini saya lebih tertarik untuk
melihat ke tataran ideologis yang
menggerakkan FPI dan para
simpatisannya yang mayoritas
berideologi Islamis dan Neo-
fundamentalis.
***
Kaum Islamis dan Neo-
Fundamentalis menyerukan
rekonstruksi sosial dan moralitas
dengan berdasarkan pada
seruan kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis. Mereka ingin
menemukan kembali ajaran
Islam tanpa ada deviasi historis,
dan distorsi yang berasal dari
nalar, sambil menyingkirkan
segala tradisi budaya juga adat
istiadat lokal yang menempel di
ajaran Islam. Mereka ingin
memisahkan diri dari islam
tradisional yang telah
mewujudkan dirinya selama 1400
tahun akumulasi tradisi
pemikiran dalam kitab-kitab
khazanah klasik dan kultur
tradisional masyarakat-masyarak
at Muslim. Akumulasi ilmu-ilmu
islam ini dianggap sebagai
penghambat jalan ke arah
pemurnian Islam, jalan kembali
kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Mereka menampilkan
pemutusan tajam dengan tradisi-
tradisi keislaman dan pada saat
yang sama menyerukan kembali
ke masa lalu yang dibayangkan
murni, masa lalu yang
dikukuhkan kembali secara
berbeda dari realitas sejarahnya,
masa lalu yang steril dari segala
“tahyul, bid’ah dan khurafat”
yang tidak hanya berbentuk
ziarah kubur waliyullah,
penghargaan adat-istiadat lokal,
tetapi termasuk juga tradisi fiqih-
ushul fiqih madzhab, ilmu kalam,
filsafat Islam, dan tentu saja
tasawuf-thariqat.
***
Ketua FPI, Muhammad Rizieq
Shihab, walaupun tidak menjadi
Wahabi, dan bukanlah
penganjur Wahabi tulen,
tampaknya telah mengadopsi
mentalitas Wahabisme Saudi dari
tempat ia belajar: LIPIA (sekarang
ada di Warung Buncit, di depan
Kantor Harian Republika) dan
Universitas Ibnu Su’ud di Riyadh.
Jika kolega-kolega Wahabinya
mengambil bentuk permusuhan
terhadap musuh-musuh alamiah
Wahabi, maka Rizieq Shihab
menampilkan model Islam
konfrontatifnya terhadap apa
yang ia pandang maksiat atau
kesesatan.
FPI (dan kelompok islamis dan
neo-fundamentalis lainnya
seperti HTI, MMI, dan lain
sebagainya) hanyalah salah satu
puncak gunung es
fundamentalisme Islam yang
bagian terbesarnya di bawah air
menjangkau ke ajaran-ajaran
Muhammad bin Abdul Wahab,
pendiri gerakan Wahabi di Nejd
pada abad ke 18, dan
persilangannya dengan gerakan
salafi modernis Islam.
Muhammad ibn Abd al-Wahhab
(1703-1792) memutuskan untuk
memisahkan diri dari
Kekhalifahan Turki Usmani dan
mendirikan negara sendiri di
Arabia Tengah dan wilayah Teluk
Persia. Kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis adalah
kredonya, sekaligus membuang
semua fiqih-usul fiqih, tasawuf,
dan falsafah warisan abad
pertengahan. Ibn Abdul Wahhab
menyatakan bahwa para
Khalifah Turki Usmani adalah
kafir, kerena mereka telah
murtad dari Islam.
***
Dari sejak berdirinya hingga
sekarang, aliran Wahabi ini
melakukan aksinya dengan dua
fokus kerja besar:
1. Penghancuran ekspresi kultur
Islam tradisional. Kultur Islam
tradisional ini dipandang oleh
kaum Wahabi sebagai tahyul,
bid’ah, dan khurafat. Ini
terentang mulai dari ziarah
kubur waliyullah, kesenian
tradisional, praktik sufisme
populis, adat istiadat lokal yang
telah membaur dengan ekspresi
Islam populis seperti perayaan
maulid, dsb.
2. Pengkafiran dan menuding
sesat (ini adalah bentuk
penghancuran kultur Islam
tradisionalis dalam ranah
pemikiran) para ulama dalam 4
pilar tradisi intelektual spiritual
Islam (Fiqih-Ushul Fiqih
Madzhab, Tasawuf-Thariqat,
Filsafat Islam, dan Ilmu Kalam
Asy’ariyah-Maturidiy ah)
Wahabi inilah yang menjelma
menjadi aliran neo-
fundamentalis di seluruh dunia
setelah booming petro dolar
Saudi di awal 70-an. Neo-
fundamentalis Wahabi ini
terkadang adalah mereka yang
mengalami convert atau
“pemurtadan”, dari Islam
tradisional lalu dibrainwashed
oleh lembaga-lembaga
Pendidikan Islam Wahabi di
Saudi Arabia atau filialnya
(seperti LIPIA di Warung Buncit
Jakarta) menjadi Wahabi yang
kaffah atau minimal memiliki
mentalitas Wahabi.
Di antara pemula ormas Islam
neo-fundamentalis penerima
dana Saudi yang beragenda
Wahabisme adalah DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia), dari
lembaga inilah pada tahun 80-an
kita mulai mendengar adanya
kristenisasi di Indonesia,
bersamaan dengan eksploitasi
permusuhan dan kebencian
kepada kelompok Nasrani di
Indonesia. Dari Majalah Media
Dakwah terbitan DDII inilah
semangat kebencian dan
permusuhan kepada kelompok
yang berbeda dengan mereka
mulai disemai dengan baik,
dengan bantuan uang Saudi
Wahabi.
***
Gerakan modernis Islam yang
digagas oleh Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad ‘Abduh,
dan Sayed Rayid Ridha pada
abad ke 19-awal abad 20 adalah
satu gerakan pembaruan Islam
yang pada awalnya bercita-cita
baik, tetapi pada akhirnya malah
membentuk ruang vakum
otoritas dalam Islam Sunni. ini
adalah efek samping dari
gerakan reformis-modernis,
penganjuran ijtihad sebagai
bentuk pembebasan diri dari
madzhab-madzhab, dan kembali
ke Al-Qur’an dan Hadis. Gerakan
Salafi tiga besar ulama modernis
ini akhirnya hanya membesar di
sisi kanan, yang melahirkan
tokoh-tokoh Islamis seperti
Hasan al-Banna, Abul A’la al-
Maududi, Quthub, Sa’id Hawwa,
Mustafa As-Siba’i, lalu
bercampur baur dengan
gagasan-gagasan Wahabi hingga
melahirkan orang-orang seperti
Osama bin Laden dan para
Thaliban di Afghanistan. Dari
Hasan Al-Banna dan Quthub,
gagasan-gagasan sisi kanan Salafi
ini disuburkan dalam Ikhwanul
Muslimin, dan kemudian
diekspor ke Indonesia melalui
pengajian-pengajian Usrah
kampus, yang akhirnya
berevolusi menjadi partai politik
PKS.
Sisi kiri gerakan salafi yang
diwariskan Muhammad ‘Abduh
ini adalah gerakan-gerakan neo-
modernis (yang menurut saya
adalah ahli waris paling absah
dari gerakan pembaruan Islam
dari garis Muhammad ‘Abduh)
yang diwakili oleh almarhum
Nurcholish Madjid, Dawam
Rahardjo, dan Dr. M. Syafi’i
Anwar (salah satu korban insiden
1 juni 08 di Monas) di Indonesia.
Sementara di Timur Tengah dan
India diwakili oleh Muhammad
Khalafallah, Amin Al-Khuli,
Sayyid Mahmud Al-Qimny,
Muhammad Al-Ghazali, Fazlur
Rahman, Al-Faruqi, Nashr Hamid
Abu Zaid, dan Hassan Hanafi. Sisi
kiri Salafi ini juga dibombardir
dengan tuduhan sesat sejak dulu
oleh kaum Wahabi dan “saudara
kandung”nya di sisi kanan Salafi.
***
Kalau kita mengikuti alur berfikir
kelompok islamis dan neo-
fundamentalis yang memandang
Ahmadiyah sesat, maka dimana
pola fikir penyesatan ini akan
berakhir? Ini akan berakhir
dalam konflik horizontal ketika
satu kelompok mengklaim
mereka adalah pengikut Qur’an-
Sunnah yang sebenarnya (dalam
versi Wahabi-Salafi, karena dua
kelompok inilah yang
mengeksploitasi pendekatan
harfiyah terhadap Qur’an-
Sunnah dan selalu berkata “di
dalam Islam..”, “menurut
Islam….”, “Islam berkata…”
sehingga siapa pun yang
berbeda pendapat dengan
mereka menjadi otomatis berada
di luar Islam), sementara yang
lainnya adalah kelompok sesat
atau minimal bid’ah.
Dalam sebuah fatwa para ulama
Islam Wahabi di Saudi Arabia
yang dikeluarkan pada tahun
1991 ( jilid 3: halaman 344) oleh
al-Lajnah al-Da’imah li al-Buhuts
al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
dinyatakan bahwa Syaikh Sayyid
‘Abdul Qadir al-Jailani (pendiri
thariqat Qadiriyah yang
diamalkan oleh banyak ulama
Nahdlatul ‘Ulama dan juga
ulama Islam tradisionalis lain di
Indonesia, Malaysia, dan
Thailand Selatan) dan Syah
Waliyullah Ad-Dihlawi (ulama
reformer di India) adalah kafir
dan musyrik.
Para ulama fiqih (sebagian besar
mereka juga mufassir Al-Qur’an)
yang juga dituduh kafir dan sesat
oleh pendiri Wahabi (Ibn Abdul
Wahhab) sendiri antara lain
adalah Fakhruddin ar-Razi (wafat
606H/1210M), Abu Sa’id al-
Baydhawi (wafat 710H/1310M),
Abu Hayyan al-Gharnati (wafat
745H/1344M), al-Khazin (wafat
741H/1341M), Muhammad al-
Balkhi (wafat 830H/1426M),
Shihabuddin al-Qastalani
(w.923/1517M) , Abu Sa’ud
al-‘Imadi (w. 982H/1574M), dan
masih banyak lagi.
Dalam logika berfikir penyesatan
kelompok lain ini, maka pada
akhirnya kelompok sesat dan
bid’ah ini tidak hanya Ahmadiyah
(perlu diingat bahwa ada
tidaknya nabi yang tidak
membawa risalah setelah Nabi
Muhammad adalah problem
khilafiyah dalam filsafat Islam,
dan Tasawuf falsafi. Tidak lebih
parah dari problem khilafiyah
dalam filsafat Islam tentang
Tuhan hanya mengetahui yang
partikular seperti dikatakan Ibnu
Rusyd, dan Tuhan mengetahui
segala-galanya seperti yang
dikatakan Al-Ghazali, atau
perkataan Ana al-Haqq oleh Al-
Hallaj, dan para Wali itu lebih
utama dari pada para Nabi
seperti yang dikatakan oleh Ibnu
‘Arabi), tetapi terentang mulai
dari Islam Syi’ah; pengikut
thariqat-thariqat sufi yang hobi
zikir dan sholawat beraneka
macam; ulama nahdliyyin yang
masih tabarrukan, ziarah ke
kuburan waliyullah, dan
mengamalkan talqin dan
tawassul; aktivis Jaringan Islam
Liberal; pemikir Islam yang
mencoba mengaplikasikan
gagasan-gagasan rasional filsafat
barat ke dalam kajian Islam;
ulama fiqih madzhab (dengan
nalar ushul fiqih tradisionalnya)
yang mencoba mengkritik
gagasan kaum fundamentalis
yang selalu berkata “menurut
Islam..”; cendekiawan Islam
Sunni yang mengadopsi
pemikiran Abdul Karim Soroush
dan Mohsen Kadivar yang Syi’i,
aktivis religius sinkretik yang
memadukan zikir naqsyabandi
dengan reiki, kundalini dan yoga;
…… saya yang menulis artikel ini
dan juga Anda yang menyetujui.
***
Sebelum dikuasai aliansi klan
Sa’ud-Wahabi, Kota Makkah-
Madinah adalah lokus intelektual
dan spiritual Islam paling kaya.
Semua representasi Madzhab
Fiqih ada di sini. Para Fuqaha
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali,
Syi’ah Jakfari, Zhahiri dan
cabang-cabang di bawahnya
menyambut para jamaahnya
masing-masing di setiap musim
haji. Seluruh Thariqat sufi juga
memiliki mursyidnya di Mekkah –
Madinah. Qadiriyah, Rifa’iyyah,
Naqsyabandiyah, Syadziliyah,
Syistiyyah, Sammaniyah dan lain
sebagainya. Dari Thariqah yang
mu’tabarah hingga yang ghairu
ma’tabarah. Sekarang ini semua
tinggal kenangan.
Para Ulama Islam tradisionalis
yang memiliki keterikatan
dengan akumulasi khazanah
tradisi pemikiran Islam
sebenarnya mirip dengan kaum
intelektual Barat yang memiliki
keterikatan dengan tradisi
pemikiran masa lalu Barat,
keterikatan yang malah lebih
dalam, koheren, dan integral.
Kita bisa melihat dalam tradisi
filsafat Barat, dari para pemikir
skolastik ke Rene Descartes,
David Hume, Immanuel Kant,
Hegel, Edmund Husserl, hingga
filsuf eksistensialis, adanya dialog
filosofis yang masih tetap
berlanjut. Kitab-kitab filsafat
kuno masih tetap dibaca,
sebagian besar istilah teknis
masih dipakai, bahkan dalam
konteksnya yang telah
ditransformasikan. Hal ini tidak
berbeda dengan para ulama
fiqih tradisionalis yang lebih
dahulu membuka kitab fiqih
Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu
Hajar al-Haitami, kitab-kitab
Qawaid Fiqhiyyah, dan Kitab
Ushul Fiqih Al-Mushtasfa
karangan Al-Ghazali untuk
menjawab masalah
kontemporer, ketimbang
mencomot satu dua ayat Al-
Qur’an, plus hadis, lalu berkata
“… menurut Islam, ….” dengan
semangat kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis seperti yang
kerap dilakukan kaum Neo-
fundamentalis dan Islamis.
Sekarang Madzhab Hanafi telah
punah dari Hijaz. Sejak tahun
1925 para ulama Madzhab Syafi’i
dilarang mengimami shalat di
Masjidil Haram di Makkah.
Begitu juga halnya dengan
Madzhab Maliki. Seorang ulama
besar Madzhab Maliki, Sayed
Muhammad Alwi Al-Maliki juga
dilarang memberi khutbah di
Masjidil Haram maupun Masjid
Nabawi di Madinah. Padahal
lebih dari 1000 tahun secara
turun temurun para ulama
madzhab Maliki menjadi identik
dengan Madinah. Sayed
Muhammad Alwi Al Maliki
dituduh oleh Wahabi sebagai
seorang sufi, sesat dan murtad.
Apalagi Madzhab Syi’ah, di
bawah penguasa Wahabi Saudi
mereka mengalami
penghancuran karakter secara
sistematis. Thariqat-thariqat
Shufi? Mereka semua dianggap
sesat, kafir, dan murtad. Yang
berhak menyandang nama Islam
hanyalah Wahabi. Madzab
Hanbali dan Ibnu Taimiyah? Itu
boleh, sebatas masih
terakomodasi dalam batas-batas
akidah Wahabi. Kitab Majmu’
Fatwa karangan Ibnu Taimiyah
sendiri pun telah mengalami
penyuntingan agar sesuai
dengan akidah Wahabi,
beberapa bab yang tidak sesuai
dengan akidah Wahabi,
dihilangkan dalam edisi terbitan
kitab itu di Saudi Arabia.
Pola inilah yang telah dan
sedang diekspor oleh Wahabi-
Salafi (Neo Fundamentalis-
Islamis) melalui agen-agennya ke
seluruh dunia.
Masihkah kita berdiri menjadi
makmum di belakang kelompok
ini sambil menuding Ahmadiyah
sesat, lalu setelah itu kelompok
B, C, juga dituding sesat lalu kita
sendiri juga dihadapkan pada
dua pilihan menjadi Wahabi-
Salafi atau menjadi kelompok
sesat…
Penulis:
Sayed Mahdi Al-Jamalullail
adalah blogger yang kritisi
terhadap ajaran-ajaran kaum
Wahabi dan Salafawi. Kritisisme
Sayed berlandaskan tradisi
pemikiran Islam. Tradisi itu telah
mewujudkan dirinya dalam
khazanah literatur yang
terakumulasi sejak abad ke 2 H/
8 M. Bagi Sayed Wahabiyah dan
Salafawiyah mampu merusak
nalar dan akal sehat, seperti
halnya penyalahgunaan
narkoba. Lihat blognya di:
http://idhamdeyas.blogspot.com/
terkadang bisa saja dia dan para
asistennya menjadi naif dan
ekstra lugu. Kalau kita lebih jeli
melihat aksi-aksi politik FPI, tentu
kita bisa menarik dari arah mana
sumber dukungan ke FPI ini
berasal.
Kalau saya tidak salah, FPI
(dengan Laskar Pembela Islam
nya) pertama kali muncul dalam
demo tanggal 17 Agustus 1998.
Mereka menentang semua
elemen-elemen aksi yang
menolak Habibie menjadi
presiden.
Pada Bulan Agustus 1999, FPI/LPI
melakukan demo ke MPR.
Mereka mendukung pemilihan
kembali Habibie menjadi
presiden, dan menolak Megawati
Soekarnoputri menjadi kandidat
presiden dengan alasan
“menurut Islam, haram
hukumnya kalau perempuan
menjadi presiden.”
Pada kesempatan lain FPI/LPI
menyerang Komnas HAM yang
sedang melakukan investigasi
beberapa jenderal (termasuk
Menteri Pertahanan Wiranto,
waktu itu) yang diduga
melakukan pelanggaran HAM
berat di Timor Timur. Menurut
FPI/LPI, Komnas HAM tidak
membela umat Islam (yaitu para
jenderal yang muslim) tapi
membela orang Timor Timur
yang Nasrani.
Disini saya lebih tertarik untuk
melihat ke tataran ideologis yang
menggerakkan FPI dan para
simpatisannya yang mayoritas
berideologi Islamis dan Neo-
fundamentalis.
***
Kaum Islamis dan Neo-
Fundamentalis menyerukan
rekonstruksi sosial dan moralitas
dengan berdasarkan pada
seruan kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis. Mereka ingin
menemukan kembali ajaran
Islam tanpa ada deviasi historis,
dan distorsi yang berasal dari
nalar, sambil menyingkirkan
segala tradisi budaya juga adat
istiadat lokal yang menempel di
ajaran Islam. Mereka ingin
memisahkan diri dari islam
tradisional yang telah
mewujudkan dirinya selama 1400
tahun akumulasi tradisi
pemikiran dalam kitab-kitab
khazanah klasik dan kultur
tradisional masyarakat-masyarak
at Muslim. Akumulasi ilmu-ilmu
islam ini dianggap sebagai
penghambat jalan ke arah
pemurnian Islam, jalan kembali
kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Mereka menampilkan
pemutusan tajam dengan tradisi-
tradisi keislaman dan pada saat
yang sama menyerukan kembali
ke masa lalu yang dibayangkan
murni, masa lalu yang
dikukuhkan kembali secara
berbeda dari realitas sejarahnya,
masa lalu yang steril dari segala
“tahyul, bid’ah dan khurafat”
yang tidak hanya berbentuk
ziarah kubur waliyullah,
penghargaan adat-istiadat lokal,
tetapi termasuk juga tradisi fiqih-
ushul fiqih madzhab, ilmu kalam,
filsafat Islam, dan tentu saja
tasawuf-thariqat.
***
Ketua FPI, Muhammad Rizieq
Shihab, walaupun tidak menjadi
Wahabi, dan bukanlah
penganjur Wahabi tulen,
tampaknya telah mengadopsi
mentalitas Wahabisme Saudi dari
tempat ia belajar: LIPIA (sekarang
ada di Warung Buncit, di depan
Kantor Harian Republika) dan
Universitas Ibnu Su’ud di Riyadh.
Jika kolega-kolega Wahabinya
mengambil bentuk permusuhan
terhadap musuh-musuh alamiah
Wahabi, maka Rizieq Shihab
menampilkan model Islam
konfrontatifnya terhadap apa
yang ia pandang maksiat atau
kesesatan.
FPI (dan kelompok islamis dan
neo-fundamentalis lainnya
seperti HTI, MMI, dan lain
sebagainya) hanyalah salah satu
puncak gunung es
fundamentalisme Islam yang
bagian terbesarnya di bawah air
menjangkau ke ajaran-ajaran
Muhammad bin Abdul Wahab,
pendiri gerakan Wahabi di Nejd
pada abad ke 18, dan
persilangannya dengan gerakan
salafi modernis Islam.
Muhammad ibn Abd al-Wahhab
(1703-1792) memutuskan untuk
memisahkan diri dari
Kekhalifahan Turki Usmani dan
mendirikan negara sendiri di
Arabia Tengah dan wilayah Teluk
Persia. Kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis adalah
kredonya, sekaligus membuang
semua fiqih-usul fiqih, tasawuf,
dan falsafah warisan abad
pertengahan. Ibn Abdul Wahhab
menyatakan bahwa para
Khalifah Turki Usmani adalah
kafir, kerena mereka telah
murtad dari Islam.
***
Dari sejak berdirinya hingga
sekarang, aliran Wahabi ini
melakukan aksinya dengan dua
fokus kerja besar:
1. Penghancuran ekspresi kultur
Islam tradisional. Kultur Islam
tradisional ini dipandang oleh
kaum Wahabi sebagai tahyul,
bid’ah, dan khurafat. Ini
terentang mulai dari ziarah
kubur waliyullah, kesenian
tradisional, praktik sufisme
populis, adat istiadat lokal yang
telah membaur dengan ekspresi
Islam populis seperti perayaan
maulid, dsb.
2. Pengkafiran dan menuding
sesat (ini adalah bentuk
penghancuran kultur Islam
tradisionalis dalam ranah
pemikiran) para ulama dalam 4
pilar tradisi intelektual spiritual
Islam (Fiqih-Ushul Fiqih
Madzhab, Tasawuf-Thariqat,
Filsafat Islam, dan Ilmu Kalam
Asy’ariyah-Maturidiy ah)
Wahabi inilah yang menjelma
menjadi aliran neo-
fundamentalis di seluruh dunia
setelah booming petro dolar
Saudi di awal 70-an. Neo-
fundamentalis Wahabi ini
terkadang adalah mereka yang
mengalami convert atau
“pemurtadan”, dari Islam
tradisional lalu dibrainwashed
oleh lembaga-lembaga
Pendidikan Islam Wahabi di
Saudi Arabia atau filialnya
(seperti LIPIA di Warung Buncit
Jakarta) menjadi Wahabi yang
kaffah atau minimal memiliki
mentalitas Wahabi.
Di antara pemula ormas Islam
neo-fundamentalis penerima
dana Saudi yang beragenda
Wahabisme adalah DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia), dari
lembaga inilah pada tahun 80-an
kita mulai mendengar adanya
kristenisasi di Indonesia,
bersamaan dengan eksploitasi
permusuhan dan kebencian
kepada kelompok Nasrani di
Indonesia. Dari Majalah Media
Dakwah terbitan DDII inilah
semangat kebencian dan
permusuhan kepada kelompok
yang berbeda dengan mereka
mulai disemai dengan baik,
dengan bantuan uang Saudi
Wahabi.
***
Gerakan modernis Islam yang
digagas oleh Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad ‘Abduh,
dan Sayed Rayid Ridha pada
abad ke 19-awal abad 20 adalah
satu gerakan pembaruan Islam
yang pada awalnya bercita-cita
baik, tetapi pada akhirnya malah
membentuk ruang vakum
otoritas dalam Islam Sunni. ini
adalah efek samping dari
gerakan reformis-modernis,
penganjuran ijtihad sebagai
bentuk pembebasan diri dari
madzhab-madzhab, dan kembali
ke Al-Qur’an dan Hadis. Gerakan
Salafi tiga besar ulama modernis
ini akhirnya hanya membesar di
sisi kanan, yang melahirkan
tokoh-tokoh Islamis seperti
Hasan al-Banna, Abul A’la al-
Maududi, Quthub, Sa’id Hawwa,
Mustafa As-Siba’i, lalu
bercampur baur dengan
gagasan-gagasan Wahabi hingga
melahirkan orang-orang seperti
Osama bin Laden dan para
Thaliban di Afghanistan. Dari
Hasan Al-Banna dan Quthub,
gagasan-gagasan sisi kanan Salafi
ini disuburkan dalam Ikhwanul
Muslimin, dan kemudian
diekspor ke Indonesia melalui
pengajian-pengajian Usrah
kampus, yang akhirnya
berevolusi menjadi partai politik
PKS.
Sisi kiri gerakan salafi yang
diwariskan Muhammad ‘Abduh
ini adalah gerakan-gerakan neo-
modernis (yang menurut saya
adalah ahli waris paling absah
dari gerakan pembaruan Islam
dari garis Muhammad ‘Abduh)
yang diwakili oleh almarhum
Nurcholish Madjid, Dawam
Rahardjo, dan Dr. M. Syafi’i
Anwar (salah satu korban insiden
1 juni 08 di Monas) di Indonesia.
Sementara di Timur Tengah dan
India diwakili oleh Muhammad
Khalafallah, Amin Al-Khuli,
Sayyid Mahmud Al-Qimny,
Muhammad Al-Ghazali, Fazlur
Rahman, Al-Faruqi, Nashr Hamid
Abu Zaid, dan Hassan Hanafi. Sisi
kiri Salafi ini juga dibombardir
dengan tuduhan sesat sejak dulu
oleh kaum Wahabi dan “saudara
kandung”nya di sisi kanan Salafi.
***
Kalau kita mengikuti alur berfikir
kelompok islamis dan neo-
fundamentalis yang memandang
Ahmadiyah sesat, maka dimana
pola fikir penyesatan ini akan
berakhir? Ini akan berakhir
dalam konflik horizontal ketika
satu kelompok mengklaim
mereka adalah pengikut Qur’an-
Sunnah yang sebenarnya (dalam
versi Wahabi-Salafi, karena dua
kelompok inilah yang
mengeksploitasi pendekatan
harfiyah terhadap Qur’an-
Sunnah dan selalu berkata “di
dalam Islam..”, “menurut
Islam….”, “Islam berkata…”
sehingga siapa pun yang
berbeda pendapat dengan
mereka menjadi otomatis berada
di luar Islam), sementara yang
lainnya adalah kelompok sesat
atau minimal bid’ah.
Dalam sebuah fatwa para ulama
Islam Wahabi di Saudi Arabia
yang dikeluarkan pada tahun
1991 ( jilid 3: halaman 344) oleh
al-Lajnah al-Da’imah li al-Buhuts
al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
dinyatakan bahwa Syaikh Sayyid
‘Abdul Qadir al-Jailani (pendiri
thariqat Qadiriyah yang
diamalkan oleh banyak ulama
Nahdlatul ‘Ulama dan juga
ulama Islam tradisionalis lain di
Indonesia, Malaysia, dan
Thailand Selatan) dan Syah
Waliyullah Ad-Dihlawi (ulama
reformer di India) adalah kafir
dan musyrik.
Para ulama fiqih (sebagian besar
mereka juga mufassir Al-Qur’an)
yang juga dituduh kafir dan sesat
oleh pendiri Wahabi (Ibn Abdul
Wahhab) sendiri antara lain
adalah Fakhruddin ar-Razi (wafat
606H/1210M), Abu Sa’id al-
Baydhawi (wafat 710H/1310M),
Abu Hayyan al-Gharnati (wafat
745H/1344M), al-Khazin (wafat
741H/1341M), Muhammad al-
Balkhi (wafat 830H/1426M),
Shihabuddin al-Qastalani
(w.923/1517M) , Abu Sa’ud
al-‘Imadi (w. 982H/1574M), dan
masih banyak lagi.
Dalam logika berfikir penyesatan
kelompok lain ini, maka pada
akhirnya kelompok sesat dan
bid’ah ini tidak hanya Ahmadiyah
(perlu diingat bahwa ada
tidaknya nabi yang tidak
membawa risalah setelah Nabi
Muhammad adalah problem
khilafiyah dalam filsafat Islam,
dan Tasawuf falsafi. Tidak lebih
parah dari problem khilafiyah
dalam filsafat Islam tentang
Tuhan hanya mengetahui yang
partikular seperti dikatakan Ibnu
Rusyd, dan Tuhan mengetahui
segala-galanya seperti yang
dikatakan Al-Ghazali, atau
perkataan Ana al-Haqq oleh Al-
Hallaj, dan para Wali itu lebih
utama dari pada para Nabi
seperti yang dikatakan oleh Ibnu
‘Arabi), tetapi terentang mulai
dari Islam Syi’ah; pengikut
thariqat-thariqat sufi yang hobi
zikir dan sholawat beraneka
macam; ulama nahdliyyin yang
masih tabarrukan, ziarah ke
kuburan waliyullah, dan
mengamalkan talqin dan
tawassul; aktivis Jaringan Islam
Liberal; pemikir Islam yang
mencoba mengaplikasikan
gagasan-gagasan rasional filsafat
barat ke dalam kajian Islam;
ulama fiqih madzhab (dengan
nalar ushul fiqih tradisionalnya)
yang mencoba mengkritik
gagasan kaum fundamentalis
yang selalu berkata “menurut
Islam..”; cendekiawan Islam
Sunni yang mengadopsi
pemikiran Abdul Karim Soroush
dan Mohsen Kadivar yang Syi’i,
aktivis religius sinkretik yang
memadukan zikir naqsyabandi
dengan reiki, kundalini dan yoga;
…… saya yang menulis artikel ini
dan juga Anda yang menyetujui.
***
Sebelum dikuasai aliansi klan
Sa’ud-Wahabi, Kota Makkah-
Madinah adalah lokus intelektual
dan spiritual Islam paling kaya.
Semua representasi Madzhab
Fiqih ada di sini. Para Fuqaha
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali,
Syi’ah Jakfari, Zhahiri dan
cabang-cabang di bawahnya
menyambut para jamaahnya
masing-masing di setiap musim
haji. Seluruh Thariqat sufi juga
memiliki mursyidnya di Mekkah –
Madinah. Qadiriyah, Rifa’iyyah,
Naqsyabandiyah, Syadziliyah,
Syistiyyah, Sammaniyah dan lain
sebagainya. Dari Thariqah yang
mu’tabarah hingga yang ghairu
ma’tabarah. Sekarang ini semua
tinggal kenangan.
Para Ulama Islam tradisionalis
yang memiliki keterikatan
dengan akumulasi khazanah
tradisi pemikiran Islam
sebenarnya mirip dengan kaum
intelektual Barat yang memiliki
keterikatan dengan tradisi
pemikiran masa lalu Barat,
keterikatan yang malah lebih
dalam, koheren, dan integral.
Kita bisa melihat dalam tradisi
filsafat Barat, dari para pemikir
skolastik ke Rene Descartes,
David Hume, Immanuel Kant,
Hegel, Edmund Husserl, hingga
filsuf eksistensialis, adanya dialog
filosofis yang masih tetap
berlanjut. Kitab-kitab filsafat
kuno masih tetap dibaca,
sebagian besar istilah teknis
masih dipakai, bahkan dalam
konteksnya yang telah
ditransformasikan. Hal ini tidak
berbeda dengan para ulama
fiqih tradisionalis yang lebih
dahulu membuka kitab fiqih
Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu
Hajar al-Haitami, kitab-kitab
Qawaid Fiqhiyyah, dan Kitab
Ushul Fiqih Al-Mushtasfa
karangan Al-Ghazali untuk
menjawab masalah
kontemporer, ketimbang
mencomot satu dua ayat Al-
Qur’an, plus hadis, lalu berkata
“… menurut Islam, ….” dengan
semangat kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadis seperti yang
kerap dilakukan kaum Neo-
fundamentalis dan Islamis.
Sekarang Madzhab Hanafi telah
punah dari Hijaz. Sejak tahun
1925 para ulama Madzhab Syafi’i
dilarang mengimami shalat di
Masjidil Haram di Makkah.
Begitu juga halnya dengan
Madzhab Maliki. Seorang ulama
besar Madzhab Maliki, Sayed
Muhammad Alwi Al-Maliki juga
dilarang memberi khutbah di
Masjidil Haram maupun Masjid
Nabawi di Madinah. Padahal
lebih dari 1000 tahun secara
turun temurun para ulama
madzhab Maliki menjadi identik
dengan Madinah. Sayed
Muhammad Alwi Al Maliki
dituduh oleh Wahabi sebagai
seorang sufi, sesat dan murtad.
Apalagi Madzhab Syi’ah, di
bawah penguasa Wahabi Saudi
mereka mengalami
penghancuran karakter secara
sistematis. Thariqat-thariqat
Shufi? Mereka semua dianggap
sesat, kafir, dan murtad. Yang
berhak menyandang nama Islam
hanyalah Wahabi. Madzab
Hanbali dan Ibnu Taimiyah? Itu
boleh, sebatas masih
terakomodasi dalam batas-batas
akidah Wahabi. Kitab Majmu’
Fatwa karangan Ibnu Taimiyah
sendiri pun telah mengalami
penyuntingan agar sesuai
dengan akidah Wahabi,
beberapa bab yang tidak sesuai
dengan akidah Wahabi,
dihilangkan dalam edisi terbitan
kitab itu di Saudi Arabia.
Pola inilah yang telah dan
sedang diekspor oleh Wahabi-
Salafi (Neo Fundamentalis-
Islamis) melalui agen-agennya ke
seluruh dunia.
Masihkah kita berdiri menjadi
makmum di belakang kelompok
ini sambil menuding Ahmadiyah
sesat, lalu setelah itu kelompok
B, C, juga dituding sesat lalu kita
sendiri juga dihadapkan pada
dua pilihan menjadi Wahabi-
Salafi atau menjadi kelompok
sesat…
Penulis:
Sayed Mahdi Al-Jamalullail
adalah blogger yang kritisi
terhadap ajaran-ajaran kaum
Wahabi dan Salafawi. Kritisisme
Sayed berlandaskan tradisi
pemikiran Islam. Tradisi itu telah
mewujudkan dirinya dalam
khazanah literatur yang
terakumulasi sejak abad ke 2 H/
8 M. Bagi Sayed Wahabiyah dan
Salafawiyah mampu merusak
nalar dan akal sehat, seperti
halnya penyalahgunaan
narkoba. Lihat blognya di:
http://idhamdeyas.blogspot.com/
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !