Kebejatan DPR !
Lagi-lagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat berperilaku
kurang terpuji. Beramai-ramai
pergi ke Mekah mengajak
keluarga saat menjalankan tugas
negara sungguh perbuatan tidak
etis. Alasan bahwa keikutsertaan
kerabat atas biaya pribadi tetap
tidak bisa diterima, apalagi tanpa
didukung bukti. Maka
seharusnya seluruh biaya
kepergian mereka diaudit.
Kegiatan itu memang bagian dari
tugas Komisi VIII DPR untuk
mengawasi penyelenggaraan haji.
Secara resmi, tim pengawas
hanya beranggotakan 18 orang.
Tapi, ditambah sembilan anggota
keluarga, plus staf sekretariat,
total rombongan mencapai 30
orang. Ini pun baru gelombang
pertama. Masih akan menyusul
rombongan kedua, yang
jumlahnya lebih besar.
Sulit membayangkan bagaimana
mereka bisa menjalankan tugas
pengawasan bila diikuti kerabat.
Apalagi kegiatan ini disambi
beribadah haji. Keikutsertaan
keluarga dan kerabat hanya
akan memecah konsentrasi
mereka. Jika para kerabat itu
pergi atas biaya sendiri dan
tanpa menggunakan sedikit pun
fasilitas negara, mengapa harus
bersamaan dengan kegiatan tim
pengawas?
Kendati pengawasan pelayanan
jemaah haji cukup penting, tidak
seharusnya dilakukan dengan
mengerahkan anggota Dewan
sebanyak itu. Masih ada pihak
lain yang juga ikut memonitor,
seperti lembaga swadaya atau
media. Lagi pula, Komisi VIII tak
melulu bertugas mengawasi
pelaksanaan haji, tapi juga
kegiatan lain pemerintah, seperti
penanggulangan bencana.
Komisi ini pun bermitra kerja
dengan Kementerian Sosial dan
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Sebagian anggota
Komisi VIII seharusnya
dikerahkan untuk mengawasi
penanganan tsunami di
Mentawai dan letusan Gunung
Merapi.
Mengirim rombongan dalam
jumlah besar juga seolah
mengasumsikan bahwa masalah
pelaksanaan hanya ada di
Mekah. Urusan di hulu pun tak
kalah banyak. Salah satunya
adalah mengawasi pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dalam undang-undang ini
diamanatkan bahwa paling
lambat setahun sejak aturan itu
diberlakukan, pemerintah harus
membentuk Komisi Pengawas
Haji. Nyatanya, Kementerian
Agama baru memulai proses
seleksi calon anggota Komisi
pada bulan ini.
Keterlambatan membentuk
Komisi Pengawas Haji jelas tak
bisa dibiarkan. Dewan mestinya
tahun lalu sudah
mempersoalkannya ke
Kementerian Agama. Mengulur-
ulur pembentukan Komisi hanya
memperbesar peluang
penyelewengan dalam
pelaksanaan ibadah haji. Data
Komisi Pemberantasan Korupsi,
misalnya, menyebutkan bahwa
sepanjang 2007 hingga 2009
terjadi pemborosan biaya
penyelenggaraan haji senilai Rp
2,3 triliun.
Termasuk yang juga harus
diawasi adalah pelaksanaan
ketentuan dalam UU
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Sebab, undang-undang ini masih
mengizinkan Menteri Agama
menunjuk langsung pengelola
transportasi jemaah haji, tanpa
tender. Semua ini bisa diawasi
DPR tanpa harus beramai-ramai
ke Mekah.
Pergi ke Mekah dengan
rombongan besar, apalagi
mengajak kerabat, hanya
mempertegas kesan bahwa
anggota Dewan adalah penganut
aji mumpung.
Perwakilan Rakyat berperilaku
kurang terpuji. Beramai-ramai
pergi ke Mekah mengajak
keluarga saat menjalankan tugas
negara sungguh perbuatan tidak
etis. Alasan bahwa keikutsertaan
kerabat atas biaya pribadi tetap
tidak bisa diterima, apalagi tanpa
didukung bukti. Maka
seharusnya seluruh biaya
kepergian mereka diaudit.
Kegiatan itu memang bagian dari
tugas Komisi VIII DPR untuk
mengawasi penyelenggaraan haji.
Secara resmi, tim pengawas
hanya beranggotakan 18 orang.
Tapi, ditambah sembilan anggota
keluarga, plus staf sekretariat,
total rombongan mencapai 30
orang. Ini pun baru gelombang
pertama. Masih akan menyusul
rombongan kedua, yang
jumlahnya lebih besar.
Sulit membayangkan bagaimana
mereka bisa menjalankan tugas
pengawasan bila diikuti kerabat.
Apalagi kegiatan ini disambi
beribadah haji. Keikutsertaan
keluarga dan kerabat hanya
akan memecah konsentrasi
mereka. Jika para kerabat itu
pergi atas biaya sendiri dan
tanpa menggunakan sedikit pun
fasilitas negara, mengapa harus
bersamaan dengan kegiatan tim
pengawas?
Kendati pengawasan pelayanan
jemaah haji cukup penting, tidak
seharusnya dilakukan dengan
mengerahkan anggota Dewan
sebanyak itu. Masih ada pihak
lain yang juga ikut memonitor,
seperti lembaga swadaya atau
media. Lagi pula, Komisi VIII tak
melulu bertugas mengawasi
pelaksanaan haji, tapi juga
kegiatan lain pemerintah, seperti
penanggulangan bencana.
Komisi ini pun bermitra kerja
dengan Kementerian Sosial dan
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Sebagian anggota
Komisi VIII seharusnya
dikerahkan untuk mengawasi
penanganan tsunami di
Mentawai dan letusan Gunung
Merapi.
Mengirim rombongan dalam
jumlah besar juga seolah
mengasumsikan bahwa masalah
pelaksanaan hanya ada di
Mekah. Urusan di hulu pun tak
kalah banyak. Salah satunya
adalah mengawasi pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dalam undang-undang ini
diamanatkan bahwa paling
lambat setahun sejak aturan itu
diberlakukan, pemerintah harus
membentuk Komisi Pengawas
Haji. Nyatanya, Kementerian
Agama baru memulai proses
seleksi calon anggota Komisi
pada bulan ini.
Keterlambatan membentuk
Komisi Pengawas Haji jelas tak
bisa dibiarkan. Dewan mestinya
tahun lalu sudah
mempersoalkannya ke
Kementerian Agama. Mengulur-
ulur pembentukan Komisi hanya
memperbesar peluang
penyelewengan dalam
pelaksanaan ibadah haji. Data
Komisi Pemberantasan Korupsi,
misalnya, menyebutkan bahwa
sepanjang 2007 hingga 2009
terjadi pemborosan biaya
penyelenggaraan haji senilai Rp
2,3 triliun.
Termasuk yang juga harus
diawasi adalah pelaksanaan
ketentuan dalam UU
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Sebab, undang-undang ini masih
mengizinkan Menteri Agama
menunjuk langsung pengelola
transportasi jemaah haji, tanpa
tender. Semua ini bisa diawasi
DPR tanpa harus beramai-ramai
ke Mekah.
Pergi ke Mekah dengan
rombongan besar, apalagi
mengajak kerabat, hanya
mempertegas kesan bahwa
anggota Dewan adalah penganut
aji mumpung.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !