Des
Des Alwi adalah seonggok
sejarah Indonesia dalam miniatur
yang padat. Juga berwarna-
warni. Jika kita lihat lelaki ini
duduk di bawah pohon
ketapang berumur 100 tahun
yang menaungi halaman
hotelnya di Bandaneira, jika kita
ingat sosok yang tambun tinggi
itu sudah ada di tempat itu pada
1936 dan, sebagai anak kecil,
melihat Hatta dan Syahrir jadi
orang buangan yang turun dari
kapal dengan paras pucat, kita
bisa iri kepadanya: begitu banyak
yang telah dilihatnya, begitu
beragam pengalamannya, begitu
pas ia di pulau Maluku itu.
Begitu "Indonesia".
Des Alwi seperti Bandaneira:
elemen yang sering tak diingat,
tapi saksi penting dari riwayat
Indonesia —dalam hal ini
Indonesia sebagai sebuah
perjalanan kemerdekaan. "Di
sini," kata Rizal Mallarangeng,
yang telah dua kali ke
Bandaneira dengan rasa kagum
kepada para perintis
kemerdekaan yang dibuang ke
pulau itu, "bermula apa yang
kemudian menjadikan
Indonesia." Dia benar: di sini
berawal kolonialisme dan
antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah
pada 1529 usaha kolonisasi
Eropa dipatahkan; di sini
kontingen orang Portugis terus-
menerus diserang hingga mereka
batal membangun sebuah
benteng. Hampir seabad
kemudian, pada 1609, ketika
sepasukan Belanda mencoba
memperkuat Benteng Nassau,
para pemimpin Banda, disebut
"orang kaya", membunuh
laksamana asing itu dengan
segenap stafnya.
Banda mencatat konflik seperti
itu sampai ke dalam abad ke-20:
para penentang VOC (kemudian
Hindia Belanda) diasingkan ke
sini silih berganti. Kita tahu
sebabnya: pada mulanya adalah
rempah-rempah, terutama pala,
yang di dunia hanya ditemukan
di Banda, yang menggerakkan
perdagangan internasional paling
awal, seperti minyak bumi di
zaman ini. Dan bersama
perdagangan, datang
peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk
ke Maluku di abad ke-16, letak
Banda yang kaya rempah itu
dirahasiakan para saudagar Arab
(atau "Mur") yang membawa
barang berharga itu ke Eropa.
Kemudian penakluk dari
Semenanjung Iberia masuk,
kemudian Belanda dan Inggris.
Perjalanan jauh dan berbahaya,
tapi mereka selalu datang. Untuk
laba yang 300 kali lipat dari jual-
beli pala, bahkan yang bengis
siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Bandaneira ada sebuah
monumen kecil. Di Parigi Rante
itu ada sebuah sumur di sepetak
halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621,
seregu samurai Jepang
didatangkan Jan Pieterszoon
Coen (Gubernur Jenderal VOC
yang terkenal itu) ke Neira.
Mereka disewa untuk
menyembelih 40 orang pemuka
masyarakat Banda yang menolak
klaim Belanda dalam monopoli
niaga pala. Tubuh ke-40 orang
itu dicincang, kepala mereka
dipancangkan di deretan tiang.
Di dinding di belakang perigi itu
juga tertulis sederet nama orang
dari pelbagai penjuru Nusantara
yang dibuang ke pulau itu sejak
abad ke-19: dari Pontianak,
Yogya, Kutaraja, Cirebon,
Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada
nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa
Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.
Tak akan mengherankan bila
dari kepulauan ini sejarah
tampak berbeda: kita tak akan
mengatakan bahwa yang
berlangsung selama lebih dari
350 tahun di Nusantara adalah
350 tahun penjajahan. Dari
Banda kita jadi tahu: sejarah
Nusantara adalah 500 tahun
perlawanan. Dan Des Alwi, yang
lahir 7 November 1927 di Neira
dan sejak kecil mengenal Cipto,
Hatta, dan Syahrir—orang-orang
hukuman yang mengubah hidup
Des —mungkin saksi terakhir dari
rangkaian perjuangan panjang
itu. Saya menyadari itu ketika
sore itu saya dan beberapa
teman duduk di dekatnya,
mendengarkan ceritanya, di
petak atap Benteng Belgica yang
berumur 400 tahun. Seakan-
akan di sore itu, sejumlah abad
bertemu.
Benteng yang menjulang hitam
di bukit ini dibangun Belanda
pada 1611. Letaknya dipilih pada
posisi yang bisa mengawasi
seantero selat dan laut. Sejak
didirikan, empat menara
pengintainya menyaksikan
armada-armada Eropa datang,
meriam-meriam ditembakkan,
destruksi dan pembunuhan
berkecamuk: 200 orang Belanda
dihabisi pasukan Inggris di Pulau
Ai pada 1615, ratusan orang
Inggris dibantai Belanda sebagai
pembalasan. Dari sini pula
tampak kapal-kapal Inggris
meninggalkan Pulau Run setelah
pulau itu ditukar-guling dengan
Pulau Manhattan milik Belanda
di New York pada 1667. Tapi
seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris
merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi
dicurahkan, dan uang
diperebutkan dengan gigih dan
ganas hingga dunia berubah.
Kekuasaan pun tegak dan
runtuh, kemerdekaan ditindas
atau dilahirkan….
Hari mulai gelap ketika Des
berkisah tentang kemerdekaan
yang dicoba digagalkan tapi
dilahirkan kembali: Indonesia
yang tak mudah. Des bukan
sejarawan, bukan pula pelaku
utama, tapi—dan ini lebih
menarik—ia saksi yang terlibat.
Jika kita baca bukunya yang
baru, Friends and Exiles, yang
diterbitkan Cornell University,
kita dapatkan bukan saja kisah
kelahiran Indonesia, tapi juga
kisah seorang yang "menjadi
Indonesia", sejak dari darah dan
dagingnya, sampai dengan ketika
ia terlibat, sengaja atau tidak,
dalam peristiwa-peristiwa besar
yang mengguncang dan
membentuk tanah airnya.
Des Alwi Baadila—yang orang
tuanya berdarah Cina dan
"Mur" (nama "Baadila"
ditemukan di Maroko dan
Spanyol), yang masa kecilnya
dibentuk Hatta dan Syahrir, yang
masa mudanya ikut bertempur
dan terluka di Surabaya 10
November 1945 —adalah contoh
bahwa Indonesia "men-jadi"
dengan riwayat seperti pantai
pulau-pulau Banda: kekerasan
bisa meletup, tapi inilah negeri
yang tak merasa perlu memberi
batas mutlak tentang "luar" dan
"asing". Kecuali ketika yang
"luar" dan "asing" itu
menegaskan diri dengan senjata
dan pemaksaan. Dan kita
melawan.
Goenawan Mohamad
Tulisan ini pernah dimuat pada
majalah Tempo, 19 Oktober
2009. Diterbitkan ulang untuk
mengenang Des Alwi.
sejarah Indonesia dalam miniatur
yang padat. Juga berwarna-
warni. Jika kita lihat lelaki ini
duduk di bawah pohon
ketapang berumur 100 tahun
yang menaungi halaman
hotelnya di Bandaneira, jika kita
ingat sosok yang tambun tinggi
itu sudah ada di tempat itu pada
1936 dan, sebagai anak kecil,
melihat Hatta dan Syahrir jadi
orang buangan yang turun dari
kapal dengan paras pucat, kita
bisa iri kepadanya: begitu banyak
yang telah dilihatnya, begitu
beragam pengalamannya, begitu
pas ia di pulau Maluku itu.
Begitu "Indonesia".
Des Alwi seperti Bandaneira:
elemen yang sering tak diingat,
tapi saksi penting dari riwayat
Indonesia —dalam hal ini
Indonesia sebagai sebuah
perjalanan kemerdekaan. "Di
sini," kata Rizal Mallarangeng,
yang telah dua kali ke
Bandaneira dengan rasa kagum
kepada para perintis
kemerdekaan yang dibuang ke
pulau itu, "bermula apa yang
kemudian menjadikan
Indonesia." Dia benar: di sini
berawal kolonialisme dan
antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah
pada 1529 usaha kolonisasi
Eropa dipatahkan; di sini
kontingen orang Portugis terus-
menerus diserang hingga mereka
batal membangun sebuah
benteng. Hampir seabad
kemudian, pada 1609, ketika
sepasukan Belanda mencoba
memperkuat Benteng Nassau,
para pemimpin Banda, disebut
"orang kaya", membunuh
laksamana asing itu dengan
segenap stafnya.
Banda mencatat konflik seperti
itu sampai ke dalam abad ke-20:
para penentang VOC (kemudian
Hindia Belanda) diasingkan ke
sini silih berganti. Kita tahu
sebabnya: pada mulanya adalah
rempah-rempah, terutama pala,
yang di dunia hanya ditemukan
di Banda, yang menggerakkan
perdagangan internasional paling
awal, seperti minyak bumi di
zaman ini. Dan bersama
perdagangan, datang
peradaban. Juga kebiadaban.
Sebelum orang Portugis masuk
ke Maluku di abad ke-16, letak
Banda yang kaya rempah itu
dirahasiakan para saudagar Arab
(atau "Mur") yang membawa
barang berharga itu ke Eropa.
Kemudian penakluk dari
Semenanjung Iberia masuk,
kemudian Belanda dan Inggris.
Perjalanan jauh dan berbahaya,
tapi mereka selalu datang. Untuk
laba yang 300 kali lipat dari jual-
beli pala, bahkan yang bengis
siap dihadapi dan diberlakukan.
Di Bandaneira ada sebuah
monumen kecil. Di Parigi Rante
itu ada sebuah sumur di sepetak
halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621,
seregu samurai Jepang
didatangkan Jan Pieterszoon
Coen (Gubernur Jenderal VOC
yang terkenal itu) ke Neira.
Mereka disewa untuk
menyembelih 40 orang pemuka
masyarakat Banda yang menolak
klaim Belanda dalam monopoli
niaga pala. Tubuh ke-40 orang
itu dicincang, kepala mereka
dipancangkan di deretan tiang.
Di dinding di belakang perigi itu
juga tertulis sederet nama orang
dari pelbagai penjuru Nusantara
yang dibuang ke pulau itu sejak
abad ke-19: dari Pontianak,
Yogya, Kutaraja, Cirebon,
Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada
nama yang kini lebih dikenal:
Cipto Mangunkusumo, Iwa
Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.
Tak akan mengherankan bila
dari kepulauan ini sejarah
tampak berbeda: kita tak akan
mengatakan bahwa yang
berlangsung selama lebih dari
350 tahun di Nusantara adalah
350 tahun penjajahan. Dari
Banda kita jadi tahu: sejarah
Nusantara adalah 500 tahun
perlawanan. Dan Des Alwi, yang
lahir 7 November 1927 di Neira
dan sejak kecil mengenal Cipto,
Hatta, dan Syahrir—orang-orang
hukuman yang mengubah hidup
Des —mungkin saksi terakhir dari
rangkaian perjuangan panjang
itu. Saya menyadari itu ketika
sore itu saya dan beberapa
teman duduk di dekatnya,
mendengarkan ceritanya, di
petak atap Benteng Belgica yang
berumur 400 tahun. Seakan-
akan di sore itu, sejumlah abad
bertemu.
Benteng yang menjulang hitam
di bukit ini dibangun Belanda
pada 1611. Letaknya dipilih pada
posisi yang bisa mengawasi
seantero selat dan laut. Sejak
didirikan, empat menara
pengintainya menyaksikan
armada-armada Eropa datang,
meriam-meriam ditembakkan,
destruksi dan pembunuhan
berkecamuk: 200 orang Belanda
dihabisi pasukan Inggris di Pulau
Ai pada 1615, ratusan orang
Inggris dibantai Belanda sebagai
pembalasan. Dari sini pula
tampak kapal-kapal Inggris
meninggalkan Pulau Run setelah
pulau itu ditukar-guling dengan
Pulau Manhattan milik Belanda
di New York pada 1667. Tapi
seratus tahun lebih kemudian,
pada 1810, marinir Inggris
merebut Benteng Belgica.
Abad demi abad, energi
dicurahkan, dan uang
diperebutkan dengan gigih dan
ganas hingga dunia berubah.
Kekuasaan pun tegak dan
runtuh, kemerdekaan ditindas
atau dilahirkan….
Hari mulai gelap ketika Des
berkisah tentang kemerdekaan
yang dicoba digagalkan tapi
dilahirkan kembali: Indonesia
yang tak mudah. Des bukan
sejarawan, bukan pula pelaku
utama, tapi—dan ini lebih
menarik—ia saksi yang terlibat.
Jika kita baca bukunya yang
baru, Friends and Exiles, yang
diterbitkan Cornell University,
kita dapatkan bukan saja kisah
kelahiran Indonesia, tapi juga
kisah seorang yang "menjadi
Indonesia", sejak dari darah dan
dagingnya, sampai dengan ketika
ia terlibat, sengaja atau tidak,
dalam peristiwa-peristiwa besar
yang mengguncang dan
membentuk tanah airnya.
Des Alwi Baadila—yang orang
tuanya berdarah Cina dan
"Mur" (nama "Baadila"
ditemukan di Maroko dan
Spanyol), yang masa kecilnya
dibentuk Hatta dan Syahrir, yang
masa mudanya ikut bertempur
dan terluka di Surabaya 10
November 1945 —adalah contoh
bahwa Indonesia "men-jadi"
dengan riwayat seperti pantai
pulau-pulau Banda: kekerasan
bisa meletup, tapi inilah negeri
yang tak merasa perlu memberi
batas mutlak tentang "luar" dan
"asing". Kecuali ketika yang
"luar" dan "asing" itu
menegaskan diri dengan senjata
dan pemaksaan. Dan kita
melawan.
Goenawan Mohamad
Tulisan ini pernah dimuat pada
majalah Tempo, 19 Oktober
2009. Diterbitkan ulang untuk
mengenang Des Alwi.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !