Soeharto Pahlawan? Baca dulu Rekam Jejaknya !
Jend. Besar TNI Purn. Haji
Moehammad Soeharto, (ER,
EYD: Suharto) (lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni
1921 – wafat di Jakarta, 27
Januari 2008 dalam umur 86
tahun[1]) adalah Presiden
Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari
1967 sampai 1998.Sebelum
menjadi presiden, Soeharto
adalah pemimpin militer pada
masa pendudukan Jepang dan
Belanda, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal. Setelah
Gerakan 30 September, Soeharto
menyatakan bahwa PKI adalah
pihak yang bertanggung jawab
dan memimpin operasi untuk
menumpasnya. Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000
jiwa.
Soeharto kemudian mengambil
alih kekuasaan dari Soekarno,
dan resmi menjadi presiden pada
tahun 1968. Ia dipilih kembali
oleh MPR pada tahun 1973,
1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Pada tahun 1998, masa
jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal
21 Mei tahun tersebut, menyusul
terjadinya Kerusuhan Mei 1998
dan pendudukan gedung DPR/
MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia
terlama dalam jabatannya
sebagai presiden. Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie.
Naik ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965,
beberapa pasukan pengawal
Kepresidenan, Tjakrabirawa di
bawah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam
orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang
menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan
Kepala Staf Angkatan Bersenjata
berhasil lolos. Satu yang
terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan
kudeta adalah Mayor Jendral
Soeharto, meski menjadi sebuah
pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai
G-30-S itu. Beberapa sumber
mengatakan, Pasukan
Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka
mencoba menghentikan kudeta
militer yang didukung oleh CIA
yang direncanakan untuk
menyingkirkan Presiden
Soekarno dari kekuasaan pada
'Hari ABRI', 5 Oktober 1965 oleh
badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi
oleh Mayjen Soeharto untuk
segera mengamankan Jakarta,
menurut versi resmi sejarah pada
masa Orde Baru, terutama
setelah mendapatkan kabar
bahwa Letjen Ahmad Yani,
Menteri / Panglima Angkatan
Darat tidak diketahui
keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di
Angkatan Darat bahwa bila
Panglima Angkatan Darat
berhalangan hadir, maka
Panglima Kostrad yang
menjalankan tugasnya. Tindakan
ini diperkuat dengan turunnya
Surat Perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) dari Presiden
Soekarno yang memberikan
kewenangan dan mandat
kepada Soeharto untuk
mengambil segala tindakan
untuk memulihkan keamanan
dan ketertiban. Langkah yang
diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) sekalipun sempat
ditentang Presiden Soekarno,
penangkapan sejumlah menteri
yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September).
Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai
langkah menyingkirkan Angkatan
Bersenjata Indonesia yang pro-
Soekarno dan pro-Komunis yang
justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran
pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani
yang dinilai pro Soekarno dan
Komunis, dan akhirnya memaksa
Soekarno untuk menyerahkan
kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur
komunis (PKI) membawa
tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan
pembunuhan sistematis sekitar
500 ribu 'tersangka komunis',
kebanyakan warga sipil, dan
kekerasan terhadap minoritas
Tionghoa Indonesia. Soeharto
dikatakan menerima dukungan
CIA dalam penumpasan
komunis. Diplomat Amerika 25
tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka
telah menulis daftar 'operasi
komunis' Indonesia dan telah
menyerahkan sebanyak 5.000
nama kepada militer Indonesia.
Been Huang, bekas anggota
kedutaan politik AS di Jakarta
mengatakan di 1990 bahwa: 'Itu
merupakan suatu pertolongan
besar bagi Angkatan Bersenjata.
Mereka mungkin membunuh
banyak orang, dan saya
kemungkinan memiliki banyak
darah di tangan saya, tetapi tidak
seburuk itu. Ada saatnya di
mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat.'
Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's
Bureau of Intelligence and
Research di 1965: 'Tidak ada
yang peduli, selama mereka
adalah komunis, bahwa mereka
dibantai. Tidak ada yang bekerja
tentangnya.'1 Dia mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia
dalam rangka membebaskan
sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya
menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia setelah
pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak
MPRS pada tahun 1967,
kemudian mendirikan apa yang
disebut Orde Baru.Beberapa
pengamat politik baik dalam
negeri maupun luar negeri
mengatakan bahwa Soeharto
membersihkan parlemen dari
komunis, menyingkirkan serikat
buruh dan meningkatkan sensor.
Dia juga memutuskan hubungan
diplomatik dengan Republik
Rakyat Cina dan menjalin
hubungan dengan negara barat
dan PBB. Dia menjadi penentu
dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan
meningkatkan dana militer dan
mendirikan dua badan intelijen -
Komando Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib) dan
Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta
orang dieksekusi dalam
pembersihan massal dan lebih
dari 200.000 ditangkap hanya
karena dicurigai terlibat dalam
kudeta. Banyak komunis,
tersangka komunis dan yang
disebut 'musuh negara' dihukum
mati (meskipun beberapa
hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka
komunis diberikan ke tangan
Soeharto oleh CIA. Sebagai
tambahan, CIA melacak nama
dalam daftar ini ketika rezim
Soeharto mulai mencari mereka.
Dukungan yang tidak
dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim
Soeharto tetap diam sampai
invasi Timor Timur, dan terus
berlangsung sampai akhir 1990-
an. Karena kekayaan sumber
daya alamnya dan populasi
konsumen yang besar, Indonesia
dihargai sebagai rekan dagang
Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim
Soeharto. Ketika Soeharto
mengumjungi Washington pada
1995 pejabat administratif
Clinton dikutip di New York
Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah 'orang seperti
kita' atau 'orang golongan kita'.
Pada 12 Maret 1967 Soeharto
diangkat sebagai Pejabat
Presiden Indonesia oleh MPR
Sementara. Setahun kemudian,
pada 27 Maret 1968 dia resmi
diangkat sebagai Presiden untuk
masa jabatan lima tahun yang
pertama. Dia secara langsung
menunjuk 20% anggota MPR.
Partai Golkar menjadi partai
favorit dan satu-satunya yang
diterima oleh pejabat
pemerintah. Indonesia juga
menjadi salah satu pendiri
ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar
amburadul di pertengahan 1960-
an. Soeharto pun kemudian
meminta nasehat dari tim
ekonom hasil didikan Barat yang
banyak dikenal sebagai 'mafia
Berkeley'. Tujuan jangka pendek
pemerintahan baru ini adalah
mengendalikan inflasi,
menstabilkan nilai rupiah,
memperoleh hutang luar negeri,
serta mendorong masuknya
investasi asing. Dan untuk satu
hal ini, kesuksesan mereka tidak
bisa dipungkiri. Peran Sudjono
Humardani sebagai asisten
finansial besar artinya dalam
pencapaian ini.Di bidang sosial
politik, Soeharto
menyerahkannya kepada Ali
Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik.
Menghilangkan oposisi dengan
melemahkan kekuatan partai
politik dilakukan melalui fusi
dalam sistem kepartaian.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya,
Presiden Soeharto menetapkan
pertumbuhan ekonomi sebagai
pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat
banyak teknokrat dan ahli
ekonomi yang sebelumnya
bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung
bersifat sosialis. Teknokrat-
teknokrat yang umumnya
berpendidikan barat dan liberal
(Amerika Serikat) diangkat
adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam
klik ekonomi sebagai Mafia
Berkeley di kalangan Ekonomi,
Industri dan Keuangan
Indonesia. Pada masanya,
Indonesia mendapatkan bantuan
ekonomi dan keuangan dari
negara-negara donor (negara-
negara maju) yang tergabung
dalan IGGI yang diseponsori oleh
pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI
dihentikan oleh pemerintah
Indonesia karena dianggap turut
campur dalam urusan dalam
negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca
Insiden Dili. Peran IGGI ini
digantikan oleh lembaga donor
CGI yang disponsori Perancis.
Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang
berada dibawah PBB seperti
UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan
manajemen ekonomi yang
bertumpu dalam sistem trickle
down effect (menetes ke bawah)
yang mementingkan
pertumbuhan dan pengelolaan
ekonomi pada segelintir
kalangan serta buruknya
manajemen ekonomi
perdagangan industri dan
keuangan (EKUIN) pemerintah,
membuat Indonesia akhirnya
bergantung pada donor
Internasional terutama paska
Krisis 1997. Dalam bidang
ekonomi juga, tercatat Indonesia
mengalami swasembada beras
pada tahun 1984. Namun
prestasi itu ternyata tidak dapat
dipertahankan pada tahun-
tahun berikutnya. Kemudian
kemajuan ekonomi Indonesia
saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia
sempat dimasukkan dalam
negara yang mendekati negara-
negara Industri Baru bersama
dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura,
Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden
Soeharto melakukan penyatuan
partai-partai politik sehingga
pada masa itu dikenal tiga partai
politik yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam
upayanya menyederhanakan
kehidupan berpolitik di Indonesia
sebagai akibat dari politik masa
presiden Soekarno yang
menggunakan sistem multipartai
yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya
pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan
Asas tunggal Pancasila yang
mewarnai kehidupan politik saat
itu. Namun dalam perjalanannya,
terjadi ketimpangan dalam
kehidupan politik di mana
muncullah istilah 'mayoritas
tunggal' di mana GOLKAR
dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya
dalam setiap penyelenggaraan
PEMILU. Berbagai ketidakpuasan
muncul, namun dapat diredam
oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf
pendidikan pada masa
pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi,
muncullah berbagai kritik dan
ketidakpuasan atas ketimpangan
ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan
ekonomi, sosial dan politik
memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa
pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di
masyarakat yang umumnya sarat
kepentingan politik, selain
memang karena ketidakpuasan
dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan
represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai
memulai penekanan terhadap
suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa
tertulis di berbagai material
tertulis, dan menutup organisasi
Tionghoa karena tuduhan
simpati mereka terhadap
komunis. Walaupun begitu,
Soeharto terlibat persahabatan
yang akrab dengan Lee Kuan
Yew yang pernah manjadi
Perdana Menteri Singapura yang
beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang
protes pelajar setelah
demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi
menemukan bahwa korupsi
sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan
kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian
menjadi sebuah endemik.Dia
memerintah melalui kontrol
militer dan penyensoran media.
Dia menguasai finansial dengan
memberikan transaksi mudah
dan monopoli kepada saudara-
saudaranya, termasuk enam
anaknya. Dia juga terus
memainkan faksi berlainan di
militer melawan satu sama lain,
dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan
kemudian mendukung unsur
Islam.
Pada 1973 dia memenangkan
jangka lima-tahun berikutnya
melalui pemilihan 'electoral
college'. dan juga terpilih
kembali pada 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998. Soeharto
mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai
yang boleh mengikuti pemilihan,
termasuk partainya sendiri,
Golkar. Oleh karena itu semua
partai Islam yang ada diharuskan
bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan,
sementara partai-partai non-
Islam (ka****k dan Protestan)
serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan
bahkan permintaan Amerika
Serikat dan Australia, ia
memerintahkan pasukan
Indonesia untuk memasuki bekas
koloni Portugal Timor Timur
setelah Portugal mundur dan
gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan
kekacauan di masyarakat Timor
Timur Sendiri, serta kekhawatiran
Amerika Serikat atas tidakan
Fretilin yang menurutnya
mengundang campur tangan Uni
Soviet. Kemudian pemerintahan
pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah
tersebut berintegrasi dengan
Indonesia. Pada 15 Juli 1976
Timor Timur menjadi provinsi
Timor Timur sampai wilayah
tersebut dialihkan ke administrasi
PBB pada 1999.Korupsi menjadi
beban berat pada 1980-an. Pada
5 Mei 1980 sebuah kelompok
yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Petisi 50 menuntut
kebebasan politik yang lebih
besar. Kelompok ini terdiri dari
anggota militer, politisi,
akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya
dan pemerintah mecekal
penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini
menuduh bahwa Soeharto
menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya
dipenjarakan.Catatan hak asasi
manusia Soeharto juga semakin
memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB
membuat resolusi yang
mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi
manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill
Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha
menyingkirkan Megawati
Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), salah satu dari
tiga partai resmi. Di bulan Juni,
pendukung Megawati
menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan
keamanan menahan mereka,
kerusuhan pecah di Jakarta pada
tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa
Sabtu Kelabu) yang dikenal
sebagai 'Peristiwa
Kudatuli' (Kerusuhan Dua Tujuh
Juli).
Soeharto turun takhta
Pada 1997, menurut Bank Dunia,
20 sampai 30% dari dana
pengembangan Indonesia telah
disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial
Asia di tahun yang sama tidak
membawa hal bagus bagi
pemerintahan Presiden Soeharto
ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti
pemeriksaan menyeluruh dan
mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan
untuk tidak dicalonkan kembali
sebagai Presiden pada periode
1998-2003, terutama pada acara
Golongan Karya, Soeharto tetap
memastikan ia terpilih kembali
oleh parlemen untuk ketujuh
kalinya di Maret 1998. Setelah
beberapa demonstrasi,
kerusuhan, tekanan politik dan
militer, serta berpuncak pada
pendudukan gedung DPR/MPR
RI, Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 untuk menghindari
perpecahan dan meletusnya
ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh
Wakil Presiden Republik
Indonesia, B.J. Habibie.Dalam
pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun
lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan
pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Soeharto memiliki dan
mengetuai tujuh buah yayasan,
yaitu Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi
Karya Bhakti (Dakab), Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila,
Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto
mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para
pengusaha untuk menyumbang
2 persen dari keuntungannya
untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh
yayasan Soeharto menghasilkan
berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil
pemeriksaan 134 saksi fakta dan
9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan
dua tim yang pernah dibentuk
Kejaksaan Agung, sejak tahun
1999.Menurut Transparency
International, Soeharto
menggelapkan uang dengan
jumlah terbanyak dibandingkan
pemimpin dunia lain dalam
sejarah dengan perkiraan 15–35
miliar dolar A.S. selama 32 tahun
masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan
dengan peringatan sewindu
Tragedi Trisakti, Jaksa Agung
Abdul Rahman Saleh
mengeluarkan pernyataan
bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP)
perkara mantan Presiden
Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan
dugaan korupsi mantan Presiden
Soeharto pada tujuh yayasan
yang dipimpinnya dengan alasan
kondisi fisik dan mental terdakwa
yang tidak layak diajukan ke
persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan pada 11 Mei
2006, namun SKPP ini lalu
dinyatakan tidak sah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada 12 Juni 2006.
Moehammad Soeharto, (ER,
EYD: Suharto) (lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni
1921 – wafat di Jakarta, 27
Januari 2008 dalam umur 86
tahun[1]) adalah Presiden
Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari
1967 sampai 1998.Sebelum
menjadi presiden, Soeharto
adalah pemimpin militer pada
masa pendudukan Jepang dan
Belanda, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal. Setelah
Gerakan 30 September, Soeharto
menyatakan bahwa PKI adalah
pihak yang bertanggung jawab
dan memimpin operasi untuk
menumpasnya. Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000
jiwa.
Soeharto kemudian mengambil
alih kekuasaan dari Soekarno,
dan resmi menjadi presiden pada
tahun 1968. Ia dipilih kembali
oleh MPR pada tahun 1973,
1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Pada tahun 1998, masa
jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal
21 Mei tahun tersebut, menyusul
terjadinya Kerusuhan Mei 1998
dan pendudukan gedung DPR/
MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia
terlama dalam jabatannya
sebagai presiden. Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie.
Naik ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965,
beberapa pasukan pengawal
Kepresidenan, Tjakrabirawa di
bawah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam
orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang
menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan
Kepala Staf Angkatan Bersenjata
berhasil lolos. Satu yang
terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan
kudeta adalah Mayor Jendral
Soeharto, meski menjadi sebuah
pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai
G-30-S itu. Beberapa sumber
mengatakan, Pasukan
Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka
mencoba menghentikan kudeta
militer yang didukung oleh CIA
yang direncanakan untuk
menyingkirkan Presiden
Soekarno dari kekuasaan pada
'Hari ABRI', 5 Oktober 1965 oleh
badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi
oleh Mayjen Soeharto untuk
segera mengamankan Jakarta,
menurut versi resmi sejarah pada
masa Orde Baru, terutama
setelah mendapatkan kabar
bahwa Letjen Ahmad Yani,
Menteri / Panglima Angkatan
Darat tidak diketahui
keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di
Angkatan Darat bahwa bila
Panglima Angkatan Darat
berhalangan hadir, maka
Panglima Kostrad yang
menjalankan tugasnya. Tindakan
ini diperkuat dengan turunnya
Surat Perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) dari Presiden
Soekarno yang memberikan
kewenangan dan mandat
kepada Soeharto untuk
mengambil segala tindakan
untuk memulihkan keamanan
dan ketertiban. Langkah yang
diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) sekalipun sempat
ditentang Presiden Soekarno,
penangkapan sejumlah menteri
yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September).
Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai
langkah menyingkirkan Angkatan
Bersenjata Indonesia yang pro-
Soekarno dan pro-Komunis yang
justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran
pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani
yang dinilai pro Soekarno dan
Komunis, dan akhirnya memaksa
Soekarno untuk menyerahkan
kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur
komunis (PKI) membawa
tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan
pembunuhan sistematis sekitar
500 ribu 'tersangka komunis',
kebanyakan warga sipil, dan
kekerasan terhadap minoritas
Tionghoa Indonesia. Soeharto
dikatakan menerima dukungan
CIA dalam penumpasan
komunis. Diplomat Amerika 25
tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka
telah menulis daftar 'operasi
komunis' Indonesia dan telah
menyerahkan sebanyak 5.000
nama kepada militer Indonesia.
Been Huang, bekas anggota
kedutaan politik AS di Jakarta
mengatakan di 1990 bahwa: 'Itu
merupakan suatu pertolongan
besar bagi Angkatan Bersenjata.
Mereka mungkin membunuh
banyak orang, dan saya
kemungkinan memiliki banyak
darah di tangan saya, tetapi tidak
seburuk itu. Ada saatnya di
mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat.'
Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's
Bureau of Intelligence and
Research di 1965: 'Tidak ada
yang peduli, selama mereka
adalah komunis, bahwa mereka
dibantai. Tidak ada yang bekerja
tentangnya.'1 Dia mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia
dalam rangka membebaskan
sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya
menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia setelah
pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak
MPRS pada tahun 1967,
kemudian mendirikan apa yang
disebut Orde Baru.Beberapa
pengamat politik baik dalam
negeri maupun luar negeri
mengatakan bahwa Soeharto
membersihkan parlemen dari
komunis, menyingkirkan serikat
buruh dan meningkatkan sensor.
Dia juga memutuskan hubungan
diplomatik dengan Republik
Rakyat Cina dan menjalin
hubungan dengan negara barat
dan PBB. Dia menjadi penentu
dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan
meningkatkan dana militer dan
mendirikan dua badan intelijen -
Komando Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib) dan
Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta
orang dieksekusi dalam
pembersihan massal dan lebih
dari 200.000 ditangkap hanya
karena dicurigai terlibat dalam
kudeta. Banyak komunis,
tersangka komunis dan yang
disebut 'musuh negara' dihukum
mati (meskipun beberapa
hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka
komunis diberikan ke tangan
Soeharto oleh CIA. Sebagai
tambahan, CIA melacak nama
dalam daftar ini ketika rezim
Soeharto mulai mencari mereka.
Dukungan yang tidak
dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim
Soeharto tetap diam sampai
invasi Timor Timur, dan terus
berlangsung sampai akhir 1990-
an. Karena kekayaan sumber
daya alamnya dan populasi
konsumen yang besar, Indonesia
dihargai sebagai rekan dagang
Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim
Soeharto. Ketika Soeharto
mengumjungi Washington pada
1995 pejabat administratif
Clinton dikutip di New York
Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah 'orang seperti
kita' atau 'orang golongan kita'.
Pada 12 Maret 1967 Soeharto
diangkat sebagai Pejabat
Presiden Indonesia oleh MPR
Sementara. Setahun kemudian,
pada 27 Maret 1968 dia resmi
diangkat sebagai Presiden untuk
masa jabatan lima tahun yang
pertama. Dia secara langsung
menunjuk 20% anggota MPR.
Partai Golkar menjadi partai
favorit dan satu-satunya yang
diterima oleh pejabat
pemerintah. Indonesia juga
menjadi salah satu pendiri
ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar
amburadul di pertengahan 1960-
an. Soeharto pun kemudian
meminta nasehat dari tim
ekonom hasil didikan Barat yang
banyak dikenal sebagai 'mafia
Berkeley'. Tujuan jangka pendek
pemerintahan baru ini adalah
mengendalikan inflasi,
menstabilkan nilai rupiah,
memperoleh hutang luar negeri,
serta mendorong masuknya
investasi asing. Dan untuk satu
hal ini, kesuksesan mereka tidak
bisa dipungkiri. Peran Sudjono
Humardani sebagai asisten
finansial besar artinya dalam
pencapaian ini.Di bidang sosial
politik, Soeharto
menyerahkannya kepada Ali
Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik.
Menghilangkan oposisi dengan
melemahkan kekuatan partai
politik dilakukan melalui fusi
dalam sistem kepartaian.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya,
Presiden Soeharto menetapkan
pertumbuhan ekonomi sebagai
pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat
banyak teknokrat dan ahli
ekonomi yang sebelumnya
bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung
bersifat sosialis. Teknokrat-
teknokrat yang umumnya
berpendidikan barat dan liberal
(Amerika Serikat) diangkat
adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam
klik ekonomi sebagai Mafia
Berkeley di kalangan Ekonomi,
Industri dan Keuangan
Indonesia. Pada masanya,
Indonesia mendapatkan bantuan
ekonomi dan keuangan dari
negara-negara donor (negara-
negara maju) yang tergabung
dalan IGGI yang diseponsori oleh
pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI
dihentikan oleh pemerintah
Indonesia karena dianggap turut
campur dalam urusan dalam
negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca
Insiden Dili. Peran IGGI ini
digantikan oleh lembaga donor
CGI yang disponsori Perancis.
Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang
berada dibawah PBB seperti
UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan
manajemen ekonomi yang
bertumpu dalam sistem trickle
down effect (menetes ke bawah)
yang mementingkan
pertumbuhan dan pengelolaan
ekonomi pada segelintir
kalangan serta buruknya
manajemen ekonomi
perdagangan industri dan
keuangan (EKUIN) pemerintah,
membuat Indonesia akhirnya
bergantung pada donor
Internasional terutama paska
Krisis 1997. Dalam bidang
ekonomi juga, tercatat Indonesia
mengalami swasembada beras
pada tahun 1984. Namun
prestasi itu ternyata tidak dapat
dipertahankan pada tahun-
tahun berikutnya. Kemudian
kemajuan ekonomi Indonesia
saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia
sempat dimasukkan dalam
negara yang mendekati negara-
negara Industri Baru bersama
dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura,
Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden
Soeharto melakukan penyatuan
partai-partai politik sehingga
pada masa itu dikenal tiga partai
politik yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam
upayanya menyederhanakan
kehidupan berpolitik di Indonesia
sebagai akibat dari politik masa
presiden Soekarno yang
menggunakan sistem multipartai
yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya
pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan
Asas tunggal Pancasila yang
mewarnai kehidupan politik saat
itu. Namun dalam perjalanannya,
terjadi ketimpangan dalam
kehidupan politik di mana
muncullah istilah 'mayoritas
tunggal' di mana GOLKAR
dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya
dalam setiap penyelenggaraan
PEMILU. Berbagai ketidakpuasan
muncul, namun dapat diredam
oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf
pendidikan pada masa
pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi,
muncullah berbagai kritik dan
ketidakpuasan atas ketimpangan
ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan
ekonomi, sosial dan politik
memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa
pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di
masyarakat yang umumnya sarat
kepentingan politik, selain
memang karena ketidakpuasan
dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan
represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai
memulai penekanan terhadap
suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa
tertulis di berbagai material
tertulis, dan menutup organisasi
Tionghoa karena tuduhan
simpati mereka terhadap
komunis. Walaupun begitu,
Soeharto terlibat persahabatan
yang akrab dengan Lee Kuan
Yew yang pernah manjadi
Perdana Menteri Singapura yang
beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang
protes pelajar setelah
demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi
menemukan bahwa korupsi
sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan
kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian
menjadi sebuah endemik.Dia
memerintah melalui kontrol
militer dan penyensoran media.
Dia menguasai finansial dengan
memberikan transaksi mudah
dan monopoli kepada saudara-
saudaranya, termasuk enam
anaknya. Dia juga terus
memainkan faksi berlainan di
militer melawan satu sama lain,
dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan
kemudian mendukung unsur
Islam.
Pada 1973 dia memenangkan
jangka lima-tahun berikutnya
melalui pemilihan 'electoral
college'. dan juga terpilih
kembali pada 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998. Soeharto
mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai
yang boleh mengikuti pemilihan,
termasuk partainya sendiri,
Golkar. Oleh karena itu semua
partai Islam yang ada diharuskan
bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan,
sementara partai-partai non-
Islam (ka****k dan Protestan)
serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan
bahkan permintaan Amerika
Serikat dan Australia, ia
memerintahkan pasukan
Indonesia untuk memasuki bekas
koloni Portugal Timor Timur
setelah Portugal mundur dan
gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan
kekacauan di masyarakat Timor
Timur Sendiri, serta kekhawatiran
Amerika Serikat atas tidakan
Fretilin yang menurutnya
mengundang campur tangan Uni
Soviet. Kemudian pemerintahan
pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah
tersebut berintegrasi dengan
Indonesia. Pada 15 Juli 1976
Timor Timur menjadi provinsi
Timor Timur sampai wilayah
tersebut dialihkan ke administrasi
PBB pada 1999.Korupsi menjadi
beban berat pada 1980-an. Pada
5 Mei 1980 sebuah kelompok
yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Petisi 50 menuntut
kebebasan politik yang lebih
besar. Kelompok ini terdiri dari
anggota militer, politisi,
akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya
dan pemerintah mecekal
penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini
menuduh bahwa Soeharto
menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya
dipenjarakan.Catatan hak asasi
manusia Soeharto juga semakin
memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB
membuat resolusi yang
mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi
manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill
Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha
menyingkirkan Megawati
Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), salah satu dari
tiga partai resmi. Di bulan Juni,
pendukung Megawati
menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan
keamanan menahan mereka,
kerusuhan pecah di Jakarta pada
tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa
Sabtu Kelabu) yang dikenal
sebagai 'Peristiwa
Kudatuli' (Kerusuhan Dua Tujuh
Juli).
Soeharto turun takhta
Pada 1997, menurut Bank Dunia,
20 sampai 30% dari dana
pengembangan Indonesia telah
disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial
Asia di tahun yang sama tidak
membawa hal bagus bagi
pemerintahan Presiden Soeharto
ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti
pemeriksaan menyeluruh dan
mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan
untuk tidak dicalonkan kembali
sebagai Presiden pada periode
1998-2003, terutama pada acara
Golongan Karya, Soeharto tetap
memastikan ia terpilih kembali
oleh parlemen untuk ketujuh
kalinya di Maret 1998. Setelah
beberapa demonstrasi,
kerusuhan, tekanan politik dan
militer, serta berpuncak pada
pendudukan gedung DPR/MPR
RI, Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 untuk menghindari
perpecahan dan meletusnya
ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh
Wakil Presiden Republik
Indonesia, B.J. Habibie.Dalam
pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun
lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan
pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Soeharto memiliki dan
mengetuai tujuh buah yayasan,
yaitu Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi
Karya Bhakti (Dakab), Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila,
Yayasan Dana Gotong Royong
Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto
mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para
pengusaha untuk menyumbang
2 persen dari keuntungannya
untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh
yayasan Soeharto menghasilkan
berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil
pemeriksaan 134 saksi fakta dan
9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan
dua tim yang pernah dibentuk
Kejaksaan Agung, sejak tahun
1999.Menurut Transparency
International, Soeharto
menggelapkan uang dengan
jumlah terbanyak dibandingkan
pemimpin dunia lain dalam
sejarah dengan perkiraan 15–35
miliar dolar A.S. selama 32 tahun
masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan
dengan peringatan sewindu
Tragedi Trisakti, Jaksa Agung
Abdul Rahman Saleh
mengeluarkan pernyataan
bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP)
perkara mantan Presiden
Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan
dugaan korupsi mantan Presiden
Soeharto pada tujuh yayasan
yang dipimpinnya dengan alasan
kondisi fisik dan mental terdakwa
yang tidak layak diajukan ke
persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan pada 11 Mei
2006, namun SKPP ini lalu
dinyatakan tidak sah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan pada 12 Juni 2006.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !