Purnamaku Terlukis Di Langit

Sastra Daerah
Seni Pertunjukan
Rampai-Rampai
Resensi Buku
Buku Tamu
Redaksi
Hubungi Kami
Majalah Horison
Arsip
Agustus, 2010
Juli, 2010
Juni, 2010
Mei, 2010
April, 2010
Maret, 2010
Februari, 2010
Artikel Paling Sering Dibaca
Kuketuk Diammu
Sajak Sepanjang Malam
Di Bawah Gerimis yang Tak
Mau Reda
Romantika Dian Nita
Sabar
Mimpi Kembali
Artikel Terbaru
Editorial
Sebuah Ruang Kosong
Di Jarwal, Kutunggu
Kematianku
Cerita dari Tapal Batas
Kuda Pacu dan Bagal
Pernaskahan Melayu dan
Masa Depan Bangsa Indonesia
PurnamakuTerlukis di Langit
Kamis, 22 Juli 2010 00:35 |
Ditulis oleh Chairani |
Suara panser yang menggilas
pasir-pasir putih kudengar bagai
gulungan ombak di pantai Lok
Nga. Suara itu bergemuruh
menjemput maut dan
mengabarkan perang yang tidak
berkesudahan.
Aku bangkit dari tidur, hari
sudah menjelang fajar. Ayam
pekantan kesayangan Zakir,
siswa nomor wahid di kelasku,
tidak lagi bernyanyi merdu,
seakan pita suaranya terputus
mendengar gemuruh panser itu.
Jangkrik pun menghentikan
musik dan lari ke
persembunyiannya.
Darahku berdegup keras ketika
ibu kos mengetuk pintu kamar
menginformasikan bahwa panser
itu bergerak dari arah timur,
tepatnya dari desa Bantayan.
“Desa Bantayan berjarak tiga
puluh kilometer dari rumah kos
ini. Pantas saja tidak kudengar
suara letusan senapan dan
bombardir yang siap melumat
jantungku,” pikirku dalam hati.
Aku keluar kamar menuju
jendela berjalan tergontai.
Kusibak tirai jendela setengah
usang, samar-samar terbaca
olehku tanda-tanda seragam
dan alat perang yang mereka
gunakan. Ya…, malam ini
pasukan perang asal Maluku
kembali menyisir penduduk tepi
pantai Bantayan.
Nanar mata tentara berjaga-jaga
di atas panser sambil
mengarahkan senjata yang telah
dikokang. Lima senjata yang
berputar di atas alat perang siap
dimuntahkan jika musuh
menghadang. “Enam orang
penduduk yang tewas, Bu. Dua
tentara sekarat,” jelas ibu kos
padaku. Aku tidak bergeming
mendengar penjelasan ibu kos
yang penuh kasih menjaga
bayiku dua tahun yang lalu.
Setiap kali ada kontak senjata,
dua, empat atau sepuluh yang
tewas itu biasa terdengar di
telingaku. Orangtua, anak-anak
yang tidak berdosa, perempuan
yang tidak berdaya, bahkan bayi
dalam buaian tidak luput dari
peluru. Termasuklah bayiku yang
berusia delapan bulan, Bonar
namanya, menjadi korban
kekejaman perang.
Waktu itu kami diundang
memanen udang di kolam
Tengku Anwar. Secepat kilat,
suara bom bergemuruh dan
peluru berhamburan. Terjadi
kontak senjata antara dua
pasukan. Namun, tak satu pun
pasukan perang yang tampak
oleh kami, hanya peluru yang
terlihat mondar-mandir di depan
mata. Kami terkepung di tengah.
Saat itulah peluru nyasar
merenggut nyawa anakku, Bonar
yang lucu.
Peristiwa ini terjadi dua tahun
lalu, namun masih segar dalam
ingatanku bagaimana peluru
bersarang di kepalanya dan isi
otaknya berhamburan ke luar.
Darah bersimbah di sekujur
tubuhku ketika memeluknya.
Pekikanku saat itu terdengar ke
langit ketujuh. Bonar yang setia
menemani perjalananku dan
mengisi hari-hariku yang sepi di
desa ini telah hijrah ke surga.
Mataku masih tertuju pada
barisan panser itu. Aku berpikir,
siapa lagi dari siswaku yang yatim
pagi ini, siapa lagi akan kudekap
dalam tangisan, siapa lagi yang
akan tersenyum bagai purnama
walau peluru berhamburan
seperti hujan badai? Abdul
Manaf kah, si energik yang
bercita-cita jadi tentara dan siap
mendamaikan Aceh, atau M.
Nuh, yang katanya akan
melanjutkan kuliah ke Malaysia
setelah tamat SMA? mungkinkah
Nurhabibah, si bola mata indah,
bersinar, tapi teduh, sebab dua
abangnya dibantai ketika
memupuk sawit milik Geucik di
Lampulo?
Suara beker di kamar
menyentakkan lamunanku.
Pukul lima shubuh, aku melepas
tatapan dari barisan panser yang
menjauh dari mataku. Kumasuki
kembali kamarku setelah
pamitan pada ibu kos. Sebelum
bergegas ke sumur kutatap
wajah ketiga temanku. Ibu Sari,
guru Sejarah, Ibu Henny, guru
Geografi dan Ibu Dwi, guru
Kimia, masih pulas tertidur.
Mungkin bagi mereka gemuruh
panser tadi hanya hadir dalam
mimpi. Ketiga wajah ini begitu
indah. Di dada mereka tersimpan
cita-cita yang luhur
“mencerdaskan bangsa” walau
perang melanda.
Kuambil handuk menuju sumur.
Gemetar tubuhku saat air
gayungan pertama menyentuh
kulitku. Air ini lebih dingin dari
kemarin, mungkin suhu tubuhku
turun. Aku mandi kilat pagi ini.
Mukena dan sarung cap gajah
membantu menghangatkan
tubuhku.
“Khusuk hamba menghadap-
Mu, ya Allah.” Pelan airmataku
turun membelah pipiku yang
tirus. “Tabahkan keluarga
korban yang gugur malam ini,
akhirilah konflik ini, ya Allah.
Biarkan kami di desa ini
tersenyum indah bagai
purnama.” Tangisanku terhenti
setelah sujud terakhir.
Satu persatu teman
seperjuanganku bangun. “Sudah
mandi, Kak,” tanya Henny.
”Sudah,” jawabku hampir tidak
bersuara.
“Kakak sudah mandi?” kembali
Ibu Henny bertanya dengan
suara lembut, selembut hatinya.
“Sudah, Bu Henny,” jawabku
dengan suara lebih keras. Si
bawel, Ibu Dwi, tanpa bicara
langsung menyambar handuk
menuju sumur. Dengan malas
pula Ibu Sari bergumam, “Sudah
azan, Bu Rani? Kenapa belum
kedengaran ya?” Guru Sejarah
yang senang tidur di lantai tanpa
alas tikar seakan lupa, bahwa
sudah sekian lama azan shubuh
tidak berkumandang
mengagungkan Tuhan.
Telah lama meunasah di ujung
desa sepi dari orang-orang
bersujud. Tidak ada lagi suara
zikir menggema. Keindahan azan
yang dikumandangkan Tengku
Asnawi berganti dengan letusan
senjata dan dentuman bom
molotov. Penduduk desa lebih
memilih shalat shubuh di rumah
daripada berjema’ah ke
meunasah. Tidak ada yang
berani mengambil risiko
menjemput kematiannya sendiri.
“Azan shubuh tak lagi terdengar,
apa Bu Sari lupa?” jawabku
ketus. “O iya, lupa Sari, maklum
saja keenakan tidur,” katanya
sambil tertawa.
Peristiwa yang kusaksikan tadi
kusimpan dalam hati, aku tidak
ingin mereka menyesali
nikmatnya tidur malam ini.
Pukul 07.40 WIB kami ke SMA 1
Madat tercinta. Pelan dan pasti
kami melangkah, degup
jantungku seperti genderang
mau perang, lebih keras dari
derap sepatu aparat yang
bertugas di desa.
Beberapa siswa melomba jalan
kami. Langkah mereka lebih
cepat dan dayungan sepeda
melaju kencang seakan ingin
memberitakan atau memburu
berita aktual pagi ini. Mereka
bagai kuli tinta pengumpul
berita.
Tiba di pintu sekolah 07.50 WIB.
Masih sepuluh menit lagi
lonceng masuk. Sekolah kami
seperti sekolah lain yang mulai
belajar pukul 07.30 WIB. Kepala
sekolah cukup toleran memberi
waktu, ini disebabkan remaja di
desa setiap malam belajar Al-
Qur’an sampai pukul 23.00 WIB.
Karena situasi mereka tidak
berani pulang ke rumah dan
tidur di meunasah sampai pagi.
Zakir, siswa si nomor wahid yang
setia memberi berita buruk,
menghampiriku. Siswa kelas XII
IPA-1 ini sering mencemaskan
keselamatanku. “Selamat pagi,
Bu,” sapanya.
“Selamat pagi, Zakir,” jawabku
sambil menuju kursi.
Setengah berbisik Zakir berkata,
“Bu …, malam tadi kontak
senjata di Bantayan, ada yang
meninggal, Bu.”
Kutatap wajah itu dan berkata,
“Benar katamu, Ibu sudah tahu
sejak shubuh. Sekarang kamu
boleh masuk kelas, dua menit
lagi lonceng berbunyi.”
Zakir menuju kelas dan puas
telah menyapaku pagi ini.
Begitulah siswa ini selalu.
Lonceng masuk berbunyi. Aku
berjalan menuju kelas bersama
sahabatku, Ibu Henny. “Kontak
rupanya malam tadi ya, Eny
keenakan tidur, tidak mendengar
apa-apa. Ibu sudah tahu?” Aku
tidak berkomentar dan hanya
tersenyum mendengarnya. Kami
berpisah di kelas XII IPA-1.
Aku mengajar seperti biasa. Jam
pertama sampai jam ketiga
masuk di kelas XII IPA-2.
Delapan orang siswa di kelasku
absen. Memang selalu begini,
setiap kali kontak senjata 25%
siswa tidak hadir dari seluruh
jumlah yang ada. Satu jam
menjelaskan pokok bahasan
“Paragraf Induksi dan Paragraf
Deduksi”, pintu kelas diketuk.
Junaidi, yang kami sebut si
sulung, selaku ketua OSIS
mengumumkan berita duka
penuh haru. Tidak ada rasa ingin
tahu siapa yang jadi korban
malam tadi, sebab mereka lebih
cepat memburu berita dari kami
gurunya. “Innallillahi,” kalimat
inilah yang selalu mengiringi si
sulung Junaidi bila memasuki
kelas. Empat siswa di kelas X
yatim lagi.
Aku keluar kelas menahan
airmata. Kutatap langit. Tampak
olehku sesayat kepedihan tertulis
di sana. Padi yang kuning
keemasan di halaman sekolah
merunduk, seakan hening cipta
atas berpulangnya para syuhada.
Setelah Junaidi mengumpulkan
uang recehan untuk
disumbangkan sebagai uang
duka, aku kembali ke kelas.
Kutatap siswa yang wajah-
wajahnya indah bagai purnama.
Mereka menyambut tatapanku
dengan ramah. Purnama itu
tetap tersenyum walau luka di
dadanya.
Jam istirahat, lonceng panjang
berbunyi. Siswa dipulangkan
lebih awal. Dua mobil pick up
disewa dari Tengku Anwar.
Beberapa siswa dan guru menuju
rumah duka. Hampir satu jam
kami menempuh perjalanan
yang menyakitkan ini.
Enam mayat terbujur kaku di
Meunasah Istiqomah. Sedih,
sakit, dendam dan pasrah
terlukis di wajah pelayat. Empat
orang siswaku merunduk
menyambut kehadiran kami.
Airmata mereka bagai cahaya
purnama jatuh menyentuh pasir-
pasir kwarsa. Airmata seorang
anak yang tidak mengerti
mengapa pelipis ayahnya tembus
peluru, mengapa di dada
ayahnya bersarang bazoka,
mengapa ada mayat
bergelimpangan tanpa kepala?
Mengapa harga seekor lembu
lebih mahal dari sebuah nyawa?
Tidak ada yang menjawab.
Ilalang bisu. Rumput kering.
Tidak peduli dengan teriakan
purnama di pelukanku. Daun
kering yang jatuh ke bumi
bersekongkol dengan musuh,
tidak pernah membisikkan
bahwa perang akan tiba. Ketika
bencana datang semua hanya
bisa terperangah.
Kepala sekolah memakai batik
berwarna gelap, bertubuh tegap,
berjalan lunglai menuju tempat
untuk memberi sambutan.
Humaira, Tiraimah, Ismail dan
Zainabon mendengar penuh
hikmat. Giliran si sulung Junaidi
memberi sambutan terakhir. Si
Sulung ini mahir berpidato dan
begitu dewasa. Dia dewasa
karena ditempa keadaan, lagi
pula usianya sudah 25 tahun tapi
masih SMA. Junaidi lebih tua
enam bulan dari guru Geografi,
Ibu Henny. Kedengarannya
aneh, tapi bagi kami tidak ada
yang aneh di desa ini. Usai
memberi sambutan jenazah
diberangkatkan.
Iring-iringan jenazah menuju
pemakaman diikuti ratusan
pelayat. Bumi basah karena
gerimis dan airmata. Gumpalan
awan hitam bergulung berkejar-
kejaran. Suasana mencekam.
Tidurmu adalah mimpi panjang
Darah yang tercecer saksi
ketidakadilan
Gemuruh di angkasa menyambar
perbuatan dosa
Selamat jalan syuhada
Malaikat Malik menunggumu di
syurga.
Tanah pemakaman menganga
menyambut kedatangan hamba-
Nya. Tak ada satu pun yang
bersuara. Hanya doa dan isak
tangis yang terdengar.
Upacara pemakaman usai sudah.
Satu persatu pelayat
meninggalkan tempat. Berat
kaki-kaki ini melangkah, terlebih-
lebih keluarga yang ditinggalkan.
Aku menaiki pick up dan duduk
di bak belakang, diikuti siswa
lainnya. Jalan-jalan sepi. Ya, sepi
yang makin menambah luka di
hati. Tak ada kegiatan apa pun
di desa ini. Semua berkabung
dan waswas. Siswa-siswi yang
duduk dan jongkok bersamaku
di bak belakang tampak layu
dan bermuka sembab. Tak satu
pun yang berbicara sebab tak
seorang pun yang ingin
mendengar kata-kata.
Tiba di kos kurebahkan tubuh di
lantai beralas tikar pandan. Lelah
hati ini, lelah tubuh ini. Kami
istirahat. Sayur campur, sambal
telur, makanan wajib di kost ini
tidak ada yang menyentuh. Tak
ada yang lapar walau sudah jam
dua siang. Perut kami selalu
kenyang di sisi penderitaan.
Dari balik pintu Pak Ali berkata,
“Enam orang yang korban,
alamat tak tidur malam ini. Mana
Bu Rani, lemas ya, Bu ?”
Aku tidak menjawab dan
menutup telingaku dengan
bantal.
Dwi menimpali omongan Pak Ali,
“Begadang lagi … begadang lagi.
Kita harus waspada malam ini,
siapa tahu ada serangan balasan.
Atau, pulang kita yuuuk …, tak
usah ngajar kita besok.” Kami
hanya tersenyum mendengar
ocehan si bawel.
Meninggalkan murid tidak akan
pernah kami lakukan. Mereka
adalah purnama yang indah.
Mereka tetap bersinar cemerlang
dan berotak gemilang dengan
prestasi segudang walau perang
menghajar tanah rencong ini.
Semangat mereka tidak pernah
surut menimba ilmu.
Beberapa saat terdiam, Ibu Sari
menyela, “Maunya tak usah ada
malam ya…, maunya siang
terus.”
Lagi-lagi Bu Sari lupa, bahwa
dalam Al-Qur’an surat empat
belas dikatakan bahwa Allah
menundukkan matahari dan
bulan beredar dalam orbitnya
sehingga ada siang dan malam
yang tidak dapat saling
mendahului.
Tapi begitulah di desa ini, bila
pagi terbentang hati pun lega.
Berharap ayah, abang atau adik
yang diculik kembali ke tengah-
tengah keluarga dalam keadaan
hidup maupun tidak bernyawa.
Jika malam menjelang semua
gelisah, ketakutan. Menunggu
pagi bagai seabad lamanya.
Karena gelisahnya malam-malam
yang kami lewati, tidur pun
sering berhias mimpi. Mimpi
bersambung lagi. Per episode.
Indah, bukan? Begitulah
penanggungan yang dialami
penduduk, selain menderita fisik
juga menderita psikologis.
Azan Magrib terdengar. Parau
suara Tengku Ismail memuji
asma Allah. Siang tadi di
pekuburan, Tengku Ismail salah
satu pelayat yang paling banyak
menitikkan airmata. Tiga dari
enam korban yang terbujur
kaku, ada pertalian darah
dengannya. Gemetar lengan
Tengku Ismail menengadahkan
tangan, berdoa pada Allah.
Malam menjelang dengan ribuan
misteri yang tersimpan di
dalamnya. Seperti biasa kami
bergumul dengan kesibukan
masing-masing. Pak Ali di kamar
depan menyiapkan laporan
tahunan; Ibu Dwi dan Ibu Sari
menyiapkan soal-soal ulangan
bulanan; Ibu Henny sibuk
memperhatikan peta NAD. Dua
minggu yang lalu Bu Henny ke
Banda mengikuti penataran.
Beberapa kondisi sungai dan
tanah berubah bentuk akibat
tsunami, dan aku mendalami
pokok bahasan untuk besok.
HP Bu Sari berdering. Suami Bu
Sari dari jarak 60 km menelepon.
Yang kudengar: “Iya, Bang. Sari
sudah makan pakai sayur
campur dan dadar telur. Ada
juga plik uk dan timpan yang
diantar Hasanah sore tadi. Kami
baik-baik saja, tak ada apa-apa,
Bang. Semua di rumah, Bang.”
Lupa lagi Bu Sari. “Siapa pula
yang pernah keluar malam hari,”
pikirku dalam hati. Lalu
kudengar lagi: “Aman-aman saja
di sini, tak ada apa-apa, Bang.”
Bu Sari menutup kegelisahannya
malam ini. Begitu juga dengan
kami. Banjir darah, hujan peluru,
mayat bergelimpangan di depan
mata, hanya terekam di dada.
Keluarga tidak perlu tahu
rentetan peristiwa dramatis ini.
Kami tidak ingin ada keluarga
yang mencemaskan kepergian
kami. Kami ingin dilepas dengan
senyuman, tidak dengan
tangisan!
Ibu Dwi berkali-kali menepuk
tubuhnya mengusir nyamuk. Jam
20.00 WIB baru aku tahu bahwa
lingkaran cap roda tiga habis.
Jam 20.00 WIB tidak ada lagi
warung buka dan diupah pun
tidak akan ada yang berani ke
luar rumah. Terkadang Bu Dwi
juga memukul dadanya mengusir
ketakutan. Ibu Henny dan Ibu
Sari sebentar-sebentar berkipas
mengeringkan badan yang
berkeringat dan mengipas
kegerahan malam yang
menakutkan. Udara panas,
mencapai 48°C, begitu menurut
keterangan badan meteorologi.
Jam beker dan suara jangkrik
bersahut-sahutan, membentuk
bisikan gaib dari malaikat
pencabut nyawa. Desir angin
mengayun dedaunan terdengar
bagai sayatan sangkur mengiris
dada. Telingaku terpasang tajam
mencari langkah kaki di semak
belukar dan suara letusan.
Malam terlalu panjang dan
menyiksa
Gelisah dan ketakutan adalah
gambaran jiwa
Tikar-bantal yang basah
melukiskan kepedihan
Berlalulah kau malam jahanam!
Ayam pekantan Zakir berkokok
dengan gagah. Suara beker pun
berbunyi. Serentak kami
terbangun, seperti
dikomandokan oleh panglima
perang. “Alhamdulillah …, tidak
ada kontak senjata malam ini,”
ucap kami bergantian. Tubuh
kami masih bergelimpangan di
tikar, seperti ikan hiu yang
terdampar di laut Atlantik Utara.
Begitu perumpamaan yang
diberikan Bu Cut, guru BP saat
masih kos di rumah ini.
Hari ini aku berangkat ke
sekolah lebih awal. Zakir
menjemput dengan sepeda
jandanya. Di boncengannya kami
bercerita tentang apa saja.
Biasanya tentang HAM,
kedamaian, perang prestasi, cita-
cita dsb. Tapi tentang hidupku di
rumah tangga tak pernah aku
bercerita.
“Besok pulang, Bu?” tanya Zakir.
“Iya …, semua kami pulang, hari
Senin bertugas lagi. Doakan
guru-gurumu selamat di jalan ya,
Zakir, ” jawabku bersemangat.
“Pasti, Bu. Purnama Ibu tetap
berdo’a agar Ibu dan guru
lainnya kembali mengajar kami,”
jawab Zakir sambil membelokkan
sepeda ke gerbang sekolah.
Dengan Zakir aku sarapan di
kantin sekolah. Ada Tiasyiah,
Mawaddah dan Baihaqi. Pagi ini
tak kalah cepatnya mereka hadir
dariku. “Selamat pagi, Bu,” sapa
mereka menabur senyuman.
“Selamat pagi, Purnamaku,”
jawabku dengan senyum simetris.
Teh manis dan pisang goreng
menemani obrolan kami pagi ini.
Anak-anak di desa ini begitu
akrab dengan gurunya.
Kebiasaan anak laki-laki duduk
di warung dengan orangtuanya
dan orangtua lainnya, sambil
minum kopi atau mengunyah
sirih, membuat mereka mudah
beradaptasi.
Proses belajar-mengajar berjalan
lancar. Keseriusan, canda,
marah, nasihat merupakan
rutinitas seorang guru di kelas.
Tidak terdengar suara letusan
senjata. Tidak ada suara panser
bergemuruh menjemput maut
seperti di pantai Lok Nga. Tidak
kulihat wajah gegana merah
padam. Tidak perlu kami tiarap
di kelas karena takut peluru
nyasar. Tidak kulihat garis
kesedihan di wajah siswaku di
sekolah. Purnamaku penuh
cahaya merentangkan tangan
menyambut pagi ceria.
Pulang mengajar giliranku
berbelanja. Zakir menemaniku
dengan sepeda jandanya.
Belanjaanku hanya sekeranjang
kecil. Di depan pintu rumah, Dwi
sudah menunggu. Lalu
disianginya ikan. Bu Sari
menggiling lombok merah;
Henny menyiangi sayuran dan
aku mengolahnya. Tidak banyak
yang dimasak, tapi semua
mengambil bagian kerja. Tidak
pernah ada pertengkaran di
antara kami.
Pak Ali di warung mengganjal
perut sebelum makan siang yang
biasanya pukul 15.00-16.00 WIB.
Pak Ali mengidap penyakit maag
yang dialaminya selama bertugas
di Madat ini.
Sore hari aku dan Pak Ali
ngobrol di teras. Zakir yang
lewat di depan rumah kos
membelokkan sepeda jandanya
ke arah kami. Purnamaku yang
berusia 21 tahun ini kembali
menyampaikan kabar buruk. “Di
Lok Nibong ada mayat yang tak
dikenal, Pak. Mayat laki-laki
berusia sekitar tiga puluhan.
Mayat itu dibuang dari motor
hantu, keduanya tanpa kepala.
Hati-hati pulang besok ya, Pak.
Ibu juga. Situasi memanas, Bu,”
jelas Zakir dengan rasa cemas.
“Yakh… apa yang terjadi …
terjadilah, pasrah saja kita ya, Bu
Rani. Entah apa yang mereka
cari. Yakh …, mudah-
mudahanlah semuanya cepat
berakhir. Kasihan orang-orang
yang tidak berdosa,” sela Pak Ali
sambil menghela nafas panjang.
“Doakan saya, Bu … Pak, saya
bercita-cita menjadi panglima
perang. Saya akan menghentikan
pertumpahan darah, tidak akan
ada nyawa yang hilang sia-sia.
Perang akibat luka lama akan
saya hentikan. Guru kami pasti
damai bertugas di desa ini!” Zakir
bicara begitu semangat sambil
mengepalkan tangan. Amin …
amin…, jawab kami serentak
sambil tertawa. Betapa
menyenangkan siswaku ini.
Zakir menyambung pembicaraan,
“ Kapan ya, Bu, ayah Zakir
dipulangkan. Di mana ayah
disembunyikan penculik
bertopeng. Zakir merindukan
ayah, Pak.”
Pak Ali mencoba menenangkan,
“Zakir, tugasmu hanya
mendoakan ayahmu, jika Allah
menghendaki pasti ayahmu
kembali.”
Raut wajah Zakir suram.
Kerinduan pada seorang ayah
memenuhi relung hatinya. Tak
ada bantahan ketika ayah Zakir
dibawa paksa oleh orang tak
dikenal. Membantah artinya
berpesta dengan nyawa.
Hari Kamis telah tiba. Hari
kemerdekaan yang kami tunggu-
tunggu setiap minggu. Pulang
mengajar siang nanti aku dan
teman-teman akan kembali ke
rumah masing-masing. Kami
mengemas pakaian kotor untuk
dibawa pulang.
Kubayangkan perjalanan lima
jam menuju rumah cukup
melelahkan. Makanan dan
minuman telah tersedia.
Jumlahnya dilebihkan, siapa tahu
ada kontak senjata, perjalanan
bisa menelan waktu lebih lama.
Terbayang di mataku, betapa
hangat memeluk kedua buah
hatiku. Canda dan gelak tawa
buah hatiku terlukis di mata.
Keduanya akan menjerit
memanggilku Mama. Mereka
akan berebut coklat
kesukaannya. Alangkah lelap
tidur di kasur empuk malam
nanti, tidak akan ada mimpi
buruk menghiasi.
“Sudah siap berkemas, Bu. Cepat
… sudah jam 07.40 WIB
sekarang,” teriak Pak Ali
mengingatkan. Aku tersentak,
bayanganku seketika lenyap dari
depan mata.
Seperti orang mau kemping kami
berjalan berlima menuju sekolah.
Jalan lengang dan sepi.
“Astaga…, beberapa orang
berseragam loreng lalu-lalang di
jalan, bazoka dengan mulut
peluru seperti jantung, terarah
ke langit. Apalagi yang akan
terjadi?” jeritku dalam hati.
Kegembiraan kami lenyap
seketika. Kami tak dapat mundur
karena sudah terlihat oleh
mereka. “Mudah-mudahan tidak
terjadi kontak ya, Pak, seperti
dua minggu yang lalu mereka
hanya lalu-lalang, beberapa
lama kemudian mereka bubar,”
harap Henny dengan sangat.
Gemetar tubuhku melewati
rombongan itu, kepala
merunduk, tak sanggup beradu
mata. Bumi seakan berguncang,
berputar menerbangkan nafas.
Lebih kurang sepuluh menit
berjalan sampailah kami di
sekolah. Kepala sekolah dan
beberapa guru telah sampai
terlebih dahulu. Tampak olehku
wajah kepala sekolah putih
seperti kapas, lebih pucat
dibanding Diana dan Dek La.
Tidak terdengar ucapan “selamat
pagi” atau “assalamualaikum”.
Tas berisi pakaian kuletakkan
sembarangan. Lalu ikut
menyaksikan pemandangan di
luar.
Siswa yang telah hadir lebih dari
setengah ini tak satu pun ke luar
kelas. Melihat kondisi yang tidak
menguntungkan lebih baik kami
berjaga di ruangan untuk
menenangkan siswa.
Banyak yang absen di kelasku.
Mereka pandai membaca situasi.
Tubuhku lemas bersandar di
kursi. Telapak tanganku
berkeringat, sesekali kuhela
nafas. “Kita berjaga-jaga ya ...,
keadaan belum kondusif,
berdoalah pada Allah,” bergetar
tubuhku mengucapkan kata-kata
itu.
Dari sela jendela kulihat Pak Ali
keliling kelas mengabarkan
perkembangan keadaan,
sekaligus menenangkan siswa
walau Pak Ali juga tampak pucat.
Aku keluar kelas melihat dari
kejauhan. “Ya Allah, jumlah
mereka bertambah,” gumamku
dalam hati.
Aku kembali ke kelas. Tiba di
pintu kelas terdengar letusan
bazoka yang memekakkan
telinga. Bumi bergetar. Burung
bangau yang hinggap di
punggung kerbau melayang
mencari kedamaian. Teriakan
dan suara gaduh terdengar
keras. “Ayo …anak-anak, tiarap
semua!” teriakku dengan suara
bergetar. Semua berhamburan
ke lantai. Beberapa siswa
merayap mencari posisi aman.
Letusan terdengar lagi dari
senjata lain. Ini pertanda
pasukan lawan telah mendekat.
Letusan demi letusan bersahut-
sahutan dan semakin keras.
Suara itu kurasakan bagai tiupan
sangkakala dari malaikat Izrafil
yang mengabarkan kiamat telah
tiba. “Ya, Allah selamatkan
kami,” desahku dalam doa.
Peluru mulai nyasar di halaman
sekolah. Kali ini dinding kelasku
ditembus peluru bazoka. Siswa
berteriak, “Allahu Akbar… Allahu
Akbar.” Tubuhku tak bergerak
lagi. Lantai ini seperti bermaknit.
Pipiku menyentuh lantai,
kudengar pasir berbisik, “Sabar
dan tabahlah selalu.”
Setengah jam kontak senjata
berakhir. Pelan kami berdiri,
seperti mayat bangkit dari kubur.
Purnamaku saling berpelukan
menangis tak berkesudahan.
Senyuman tak pernah abadi di
desa ini. Kakiku lemas seperti
dijangkiti polio. Dibantu dua
siswa aku didudukkan di bangku.
Baru menghela nafas pertama,
sudah terdengar teriakan dari
kelas di seberang sawah, dari
kelas XII. Ada siswa jadi korban
di XII IPA-1.
Semua siswa ingin berlari menuju
teriakan itu, namun kucegah.
“Cukup ketua kelas yang
keluar!” pintaku. Abdul Rahman,
kelas XII, dengan beberapa
ketua kelas lainnya. Suara
tangisan dari kelas tersebut
makin pilu.
Siapa yang korban pagi ini?
Orangtua mana yang akan
kehilangan permatanya?
Purnama mana yang akan redup
dari sinarnya? Tanyaku berulang-
ulang dalam hati.
Ketakutanku belum pudar.
Permata-permataku masih pucat
pasi. Kami tak biasa akrab
dengan tragedi seperti ini walau
sering kami alami. Abdul
Rahman kembali ke kelas.
Nafasnya turun naik karena
berlari. “Bu…, Bu…, Zakir
keunong aneuk beude bak dada,
Zakir … Zakir mate,” ucap
Rahman yang kurang paham
berbahasa Indonesia dengan
terbata-bata. “Dada Zakir… dada
Zakir… dia tewas, ayo ke sana,
Bu,” ucap Rahman sekali lagi.
Aku terhentak, bagai halilintar di
siang bolong penuh api
membakar dadaku. Jantungku
berdebar kencang. Nafasku
tersengal. “Ti … dak, ti…ti ... dak,
Rahman, jangan sebut itu pada
Ibu!” kataku berharap. Fadli dari
luar kelas meyakinkan, “Benar,
Bu. Benar… Zakir….”
“Stop…, tak ada yang tewas!”
bentakku setengah berteriak.
Bagai ada tarikan gravitasi
tubuhku berdiri tegap. Entah
kekuatan gaib dari mana yang
kuterima tiba-tiba aku berubah
kuat. Aku berlari menuju kelas
Zakir. Tangisan pilu terdengar
menyayat kalbu.
Zakir mengerang memegang
dada menahan sakit. Darah
hitam berhamburan dari
dadanya. Kupeluk purnamaku
dengan erat. Kucoba
menenangkannya di sela isak
tangisanku. ”Bertahanlah,
Zakir…. Bertahanlah, Purnamaku.
Lihat Ibu… guru-gurumu yang
selalu ingin bersamamu!” Mata
itu menatap sendu. Darah terus
mengalir menganak sungai.
“Ibu…, Purnamamu tak sanggup
bersinar sepanjang hari, saya titip
purnama-purnama lain pada
semua guru…. Maafkan saya…,
Ibu,” ucap Zakir dengan suara
hampir lenyap. “Tidak…, Zakir,
tidak…, bertahanlah…,” bisikku di
telinganya. Bola mata itu
menatap teduh, butir airmata
berkerlap-kerlip melewati pipinya
bagai kunang-kunang. Di sela
raunganku Zakir berucap lagi,
“Ibu…, biarkan Purnamamu
terlukis di langit.”
Mata itu terkatup. Tubuh itu
terkulai. Aku menjerit, suaraku
terdengar membelah langit.
Hatiku mengharu-biru melepas
jenazah Zakir dari pelukanku.
Zakir pergi untuk selamanya. Tak
ada lagi senyum dan canda
Zakir, purnamaku yang bersinar.
Tak ada lagi harapan dan cita-
citanya. Hanya ayam pekantan
Zakir yang setia membangunkan
tidurku di pagi hari.
Awan bergerak perlahan-lahan
lalu berkumpul dan bertumpuk-
tumpuk. Hitam. Kelam.
Kemudian gerimis dari celah-
celahnya.
Bumi menangis mengantar
purnamaku ke pemakaman. Ibu
Zakir menabur bunga
terakhir.***
Keterangan
1. “Bu…, Bu…, Zakir keunong
aneuk beude bak dada,
Zakir… Zakir mate.”
Artinya, ”Bu…, Bu…, Zakir
dadanya tertembak
senjata, Zakir… Zakir
tewas.”
Dra. Chairani. Lahir di Belawan,

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri