Misi Menghancurkan Indonesia

"Kemenangan kita diperoleh
dengan lebih mudah
berdasarkan kenyataan bahwa
dalam hubungan dengan
mereka yang kita inginkan, kita
selalu bekerja pada simpul-
simpul yang paling peka pada
pikiran manusia, pada rekening
tunai, pada nafsu manusia, pada
ketidak-puasan manusia akan
kebutuhan materiel; pada setiap
kelemahan manusiawi ini, ia
sudah cukup untuk
melumpuhkan prakarsa, karena
ia menyerahkan kemauan
manusia kepada disposisi dia
yang telah membeli kegiatan
kegiatannya ".
('Protokol yang Pertama')
IMF dan Bank Dunia
IMF (the lnternational Monetery
Fund) dan Bank Dunia adalah
lembaga dana moneter
intemasional yang dalam
missinya disebutkan untuk
memberikan bantuan kepada
negara-negara yang tengah
mengalami kesulitan likuiditas
keuangan atau menghadapi
masalah moneter. Dalam
kenyataannya IMF, dan Bank
Dunia, yang saham mayoritasnya
sebesar 51 % dikuasai oleh
departemen keuangan Amerika
Serikat.
John Reed, CEO Citigroup dan
Sandy Weil, CEO Traveler 's
Group., mengucapkan selamat
datang kepada Robert Rubin,
mantan menteri keuangan di
era presiden BillClinton. Rubin
bergabung dengan Citigroup
pada bulan Oktober 1999
Yang telah kita ketahui ialah
bagian terbesar dari saham the
Fed dikuasai oleh para bankir
raksasa Yahudi. Dengan uang-
kertas dolar yang ongkos
cetaknya, tidak peduli berapa
pun nilai denominasinya di
lembaran itu, hanyalah 3 sen
dolar per lembar, praktis the
Fed memiliki kekuasaan atas
keuangan dunia hampir-hampir
tanpa biaya. Meski ada
beberapa kekeliruan pandangan
tentang IMF dan Bank Dunia,
tetapi tidak dapat disangkal
bahwa keduanya, baik IMF
maupun Bank Dunia,
merupakan dua instrumen
kekuasaan yang digunakan oleh
Barat (baca : kelompok Zionis)
untuk menghancurkan negara-
negara yang berdaulat agar
menjadi tidak lebih daripada
sekedar teritori (ekonomi-
keuangan) mereka, yang pada
gilirannya akan kehilangan
kedaulatan politik mereka.
Tatkala suatu missi IMF
memasuki suatu negara, mereka
sebenarnya tidak lain
menjalankan rancangan untuk
penghancuran lembaga-
lembaga sosial-ekonomi di balik
dalih persyaratan untuk
meminjamkan uang. Menurut
Joseph Stiglitz, mantan Kepala
Tim Ekonom Bank Dunia, IMF
biasanya mengembangkan
program empat langkah.
Langkah pertama adalah
program ' Privatisasi' , yang
menurut Stiglitz lebih tepat
disebut dengan nama program
' Penyuapan'. Pada program ini
perusahaan-perusahaan milik
negara penerima bantuan IMF
harus dijual kepada swasta
dengan alasan untuk
mendapatkan dana tunai segar.
Pada tahapan ini menurut
Stiglitz, "Kita bisa melihat
bagaimana mata para pejabat
keuangan di negara penerima
bantuan itu terbelalak, tatkala
mengetahui prospek
' pemberian' 10% komisi
beberapa milyar dolar yang
akan dibayarkan langsung ke
rekening pribadi yang
bersangkutan di suatu bank
Swiss, yang diambilkan dari
harga penjualan aset nasional
mereka tadi".
Sebagai contoh, dimana
pemerintah Amerika Serikat
(harap dicatat departemen luar
negeri, departemen pertahanan,
dan departemen keuangan,
sepenuhnya dikuasai oleh
orang-orang Yahudi), terlibat
dalam kasus "penyuapan"
terbesar yang pernah ada, pada
program "privatisasi" di Rusia
pada tahun 1995, ketika
pemerintah Amerika Serikat
(Yahudi) menghendaki Yeltsin
terpilih lagi. "Kami tidak peduli
kalau pemilihan itu adalah
pemilihan yang korup. Kami
ingin uang itu sampai ke tangan
Yeltsin melalui 'bawah-meja'
untuk keperluan kampanyenya".
Yang paling menyakitkan hati
bagi Stiglitz bahwa oligarchie
Rusia yang didukung oleh
Amerika Serikat itu menyapu
habis aset industri BUMN Rusia
dengan akibat, korupsi tersebul
memotong pendapatan nasional
Rusia tinggal hampir separuhnya
saja yang menyebabkan depresi
ekonomi dan kelaparan.
Sesudah program "penyuapan"
itu langkah kedua IMF/Bank
Dunia adalah rencana "satu-
ukuran-(yang) pas – untuk
menyelamatkan ekonomi
anda " ('all size – economic
solution '), yaitu "Liberalisasi
Pasar Modal". Dalam teorinya
deregulasi pasar modal
memungkinkan modal investasi
mengalir keluar-masuk. Namun,
dengan ditingkatkannya
pemasukan modal investasi dari
luar, pada gilirannya akan
menyebabkan pengurasan
cadangan devisa negara yang
bersangkutan untuk
mendatangkan aset melalui
impor dari negara-negara yang
ditunjuk oleh IMP. Malangnya
lagi, dalam kasus Indonesia dan
Brazil, lagi-lagi menurut Stiglitz,
modal itu hanya keluar dan
keluar, tidak pernah balik.
Stiglitz menyebut program
" privatisasi" ini sebagai daur
"uang panas". Dana tunai dari
luar masuk untuk spekulasi di
bidang real-estate dan valuta,
kemudian hengkang bila ada
tanda-tanda akan ada
kerusuhan. Akibat dari yang
pertama di atas dan kedua ini,
cadangan devisa negara bisa
habis menguap dalam ukuran
hari, bahkan jam. Dan bilamana
hal itu sampai terjadi, maka
untuk merayu kaum spekulan
untuk mau mengembalikan
dana modal nasional, IMF
menuntut negara-negara
debetor ini menaikkan suku-
bunga banknya menjadi 30%,
50%, hahkan 80%. Ketetapan itu
diikuti dengan persyaratan
kebijakan deregulasi peraturan
perbankan, diberlakukannya
kebijakan uang ketat ('austerity
policies'), dihentikannya subsidi
pada bidang-bidang yang
berkaitan dengan kebutuhan
sosial-ekonomi masyarakat.
Pada negara-negara yang
sedang berkembang, dimana
program pcmbangunan bagian
terbesar masih menjadi
tanggung-jawab negara,
pemberlakuan politik uang ketat
berdampak buruk terhadap
kehidupan sektor riel.
Penghentian subsidi terhadap
sektor strategis seperti pangan,
bahan bakar, transportasi,
pendidikan, dan sebagainya
selalu berakhir dengan krisis
politik di negara-negara yang
bersangkutan.
"Hasilnya bisa diprediksi", kata
Stiglitz mengomentari tentang
gelombang pasang uang panas
di Asia dan Amerika Latin. "Suku
bunga yang tinggi
menghancurkan nilai properti,
memangsa produksi industri,
dan mengeringkan dana
nasional ".
Pemasukan modal investasi dari
luar, meskipun tampaknya
membantu untuk memperluas
kesempatan kerja, dalam
kenyataannya persyaratan itu
telah membunuh usaha
bumiputera setempat, yang
pada gilirannya jatuh
bergelimpangan, karena belum
mampu bersaing khususnya
untuk pemasaran. Acapkali
kebijakan seperti itu berakibat
dengan penutupan pabrik-
pabrik, karena pemerintah tuan-
rumah dan sektor swasta
domestik tidak cukup memiliki
modal. Contoh paling mutakhir
adalah bangkrutnya ekonomi
Argentina pada bulan Januari
2002 yang menimbulkan situasi
kekacauan politik dan sosial.
Pada tahapan ini IMF menarik
negara debetor yang tengah
megap-megap itu ke langkah
ketiga, yaitu "Pricing –
Penentuan Harga Sesuai Pasar",
sebuah istilah yang muluk untuk
program menaikkan harga
komoditas strategis seperti
pangan, air bersih, dan BBM.
Tahapan ini sudah dapat
diprediksi akan menuju ke
langkah tiga-setengah, yaitu apa
yang dinamakan oleh Stiglitz,
" Kerusuhan IMF".
"Kerusuhan hasil ciptaan IMF"
itu sudah bisa diprediksikan dan
sangat menyakitkan hati. Tatkala
suatu negara sudah jatuh
pingsan (IMF) akan mengambil
keuntungan dan memeras
sampai tetes darah terakhir yang
masih ada pada negara debetor.
Suhu akan terus meningkat, dan
pada saatnya ketel itu meledak ",
seperti halnya ketika IMF,
menurut Stiglitz, mengharuskan
menghapus subsidi untuk beras
dan BBM bagi kaum miskin di
Indonesia pada tahun 1998.
Indonesia meledak dengan
kerusuhan. Dan masih ada
contoh kasus lain – kerusuhan
di Bolivia, sehubungan dengan
kenaikan tarif air bersih pada
tahun 2001, dan pada bulan
Februari 2002 kerusuhan di
Ekuador karena kenaikan harga
gas dapur yang diperintahkan
oleh Bank Dunia. Kesan yang
ada ialah kerusuhan itu
memang direncanakan.
Dan memang begitu. Apa yang
tidak diketahui Stiglitz, bahwa
BBC dan koran the Observer,
London, berhasil memperoleh
beberapa dokumen dari
kalangan dalam Bank Dunia,
yang diberi cap 'Confidential',
'Restricted', dan 'Not to be
Disclosed'. Salah satu di antara
dokumen-dokumen itu adalah
apa yang disebut 'Interim
Country Assistance
Strategy ' ('Strategi Bantuan
Sementara') untuk Ekuador. Di
dalam dokumen itu Bank Dunia
beberapa kali menjelaskan –
dengan ketepatan yang
mendirikan bulu roma – bahwa
mereka mengharapkan rencana
mereka akan menyalakan
" kerusuhan sosial", begitu istilah
birokrasi terhadap negara yang
terbakar.
Hal itu tidak perlu membuat
kaget. Laporan rahasia itu
mencatat, rencana itu
dimaksudkan agar nilai mata-
uang Ekuador dengan dolar
Amerika akan mendorong 51 %
dari penduduk Ekuador agar
berada di bawah garis
kemiskinan. Rencana "Bantuan"
Bank Dunia di dalam laporan itu
semata-mata menyeru untuk
" meredakan tuntutan dan
penderitaan rakyat" dengan
"penyelesaian politik" -tanpa
menyinggung aspek ekonomi
dan harga-harga yang kian
melambung
"Kerusuhan IMF" (yang
dimaksudkan dengan
' kerusuhan' disini ialah
demonstrasi damai yang
dibubarkan dengan gas air-
mata, peluru, dan tank),
menyebabkan panik baru yang
berakibat dengan pelarian
modal ('capital flight') dan
kebangkrutan pemerintah
setempat. Kebakaran ekonomi
ini mempunyai sisi terangnya –
untuk perusahaan perusahaan
asing, yang yang mendapatkan
kesempatan menyabet sisa aset
negara yang sedang kacau-
balau itu, seperti konsesi
pertambangan, perbankan,
perkebunan, dan lain
sebagainya dengan harga obral-
besar-besaran. Contoh ini
terlihat pada kepanikan
pemerintah Indonesia yang
melakukan "divestasi" degan
harga obral-obralan pada BCA
(' Bank Central Asia'), bank
paling berhasil di Indonesia,
pabrik semen, perkebunan
kelapa sawlt, bisnis
telekomunikasi, dan sebagainya,
yang kesemuanya sebenamya
merupakan "tambang
emas" ('money-machines') bagi
Indonesia.
Stiglitz mencatat bahwa IMF dan
Bank Dunia bukanlah penganut
yang tidak punya perasaan
terhadap ekonomi pasar. Pada
waktu yang sama IMF
menghentikan Indonesia untuk
memberi subsidi pangan.
Menurut IMF, "ketika bank-
bank membutuhkan bail-out,
intervensi (terhadap pasar)
dapat diterima ". IMF
menumpahkan berpuluh milyar
dolar untuk menyelamatkan
para finansier Indonesia dengan
tambahan pinjaman dana dari
bank-bank Amenka dan Eropa.
Suatu pola muncul. Dalam
sistem ini banyak yang rugi,
tetapi ada satu pemenang :
yaitu, bank-bank Barat dan
departemen keuangan Amerika
Serikat, yang menghasilkan
keuntungan besar dari celengan
modal internasional ini. Stiglitz
menceriterakan pengalaman
pertemuan pertamanya, ketika
baru menjabat di Bank Dunia,
dengan presiden baru Etiopia
dalam rangka pemilihan umum
demokratis yang pertama di
negeri itu.
Bank Dunia dan IMF
menginstruksikan Etiopia untuk
mengalihkan uang bantuan ke
rekening cadangannya di
departemen keuangan Amerika
Serikat, yang akan memberikan
bunga 4%, sementara Etiopia
meminjam kepada Amerika
Serikat dengan bunga 12%
untuk memberi makan
rakyatnya. Presiden Etiopia yang
baru memohon kepada Stiglitz
agar uang bantuan itu dapat
digunakan sendiri untuk
membangun negerinya. Tetapi
tidak, uang hasil rampokan itu
langsung masuk ke kas
departemen keuangan Amerika
Serikat di Washington.
Kini kita sampai ke tahap
keempat yang oleh IMF dan
Bank Dunia diberi nama
" Strategi Pengentasan
Kemiskinan": yaitu, Pasar Bebas.
Yang dimaksud ialah 'pasar
bebas' berdasarkan aturan dari
WTO ('World Trade
Organization' – Organisasi
Perdagangan Dunia') dan Bank
Dunia. Stiglitz, orang dalam
Bank Dunia itu menyamakan
' pasar bebas' dengan 'perang
candu'. "Konsep itu bertujuan
membuka pasar", katanya.
"Persis seperti halnya pada abad
ke-19, negara-negara Barat dan
Amerika Serikat menghancurkan
rintangan yang ada bagi
perdagangan di Cina. Sekarang
hal yang sama dilakukan untuk
membuka pasar agar mereka
dapat berdagang di Asia,
Amerika Latin dan Afrika,
sementara negara-negara Barat
itu memasang tembok yang
tinggi terhadap impor hasil
pertanian dan produk
manufaktur dari Dunia Ketiga".
Sebagai akibat program' pasar-
bebas'. Para pengusaha kapitalis
lokal terpaksa meminjam pada
suku-bunga sampai 60 % dari
bank lokal dan mereka harus
bersaing dengan barang-barang
impor dari Amerika Serikat atau
Eropa, dimana suku-bunga
berkisar tidak lebih dari antara 6
– 7 %. Program semacam ini
berakibat mematikan kaum
kapitalis lokal
Dalam 'Perang Candu', negara-
negara Barat mengerahkan
blokade militer untuk memaksa
Cina membuka pasamya bagi
perdagangan mereka yang tidak
seimbang. Sekarang Bank Dunia
dapat memerintahkan blokade
keuangan, yang sama efektifnya
seperti pada 'Perang Candu' –
dan sarna mematikannya.
Stiglitz khususnya sangat
emosional ketika membahas
tentang pcrjanjian hak-hak
intelektual (dalam bahasa
Inggeris disingkat dcngan TRIPS).
Menurut mantan Ketua Tim
Ekonom Bank Dunia itu, 'Tata
Dunia Baru' ('Novus Ordo
Seclorum') itu pada telah
"menjatuhkan vonis hukuman
mati kepada rakyat sedunia",
dengan cara memberlakukan
tarif dan "upeti" yang tidak
masuk akal yang harus
dibayarkan kepada perusahaan
obat-obatan yang punya merk.
" Mereka tidak peduli", kata
profesor yang bekerja-sama dl
bidang urusan kredit bank
dengan perusahaan-perusahaan
obat-obatan itu, "apakah orang
akan hidup atau mati".
Sebagian besar publik, terutama
pemerintahan negara-negara di
Dunia Ketiga masih memandang
IMF dan Bank Dunia sebagai
lembaga dengan wajah yang
manusiawi, seperti yang
dinyatakan dalam charter-nya,
" turut-serta dalam upaya
menghapuskan kemiskinan".
Dalam kenyataannya, IMF lebih
sukses berperan dalam
menciptakan kemiskinan
negara-negara yang sedang
berkembang, ketimbang
mengatasi kemiskinan yang
mereka derita. Kalau ada yang
menyangka ada konflik antara
keduanya, antara IMF dan Bank
Dunia, maka perkiraan itu keliru
sekali.
Harap disini jangan sampai
dibuat bingung ketika terjadi
campur-aduk dalam
pembicaraan mengnai IMF,
Bank Dunia, dan WTO.
Lembaga-Iembaga itu
sebenamya tidak lain hanyalah
topeng yang dapat
dipertukarkan yang berasal dari
suatu sistem kekuasaan yang
tunggal, kaum Zionis, sesuai
keperluannya. Mereka
terhubung satu dengan lainnya
melalui suatu sistem yang
mereka sebut "pemicu".
Ketika suatu negara memohon
kredit kepada Bank Dunia untuk
keperluan pendidikan, misalnya,
maka permohonan tadi akan
" memicu" suatu kebutuhan
untuk menerima 'persyaratan'
apa pun – yang mereka
tetapkan rata-rata sebanyak 111
poin untuk setiap negara – yang
ditetapkan secara sepihak oleh
Bank Dunia dan IMF. Menurut
Stiglitz, "IMF mengharuskan
negara debitur menerima
kebijakan perdagangan yang
lebih bersifat punitif ketimbang
aturan-aturan dari WTO ".1
IMF dan Bank Dunia memang
mempunyai misi yang sarna di
Dunia Ketiga. Kenyataannya
sederhana: Wall Street berdiri di
belakang kedua lembaga ini.
Mereka dijalankan oleh para
bankir, umumnya bankir Yahudi.
Harus diingat, mereka adalah
pebisnis uang dan profiteur,
bukan sosiolog anthropolog,
apalagi kaum philanthropis.
Selain itu yang tidak banyak
disadari orang ialah 'pasar
bebas' pada hakekatnya adalah
saudara kandung dari perang.
Yang lebih penting lagi,
masyarakat Dunia Ketiga pada
umumnya gagal melihat
hubungan erat antara gagasan
pasar-bebas dengan
kepentingan negara-neganl
Barat. Misalnya, sedikit sekali
organisasi yang mengkritik
lembaga-lembaga produk
Bretton Woods itu,
dibandingkan dengan suara
yang menentang serangan
Amerika Serikat terhadap
Afghanistan, misalnya mereka
tidak menyuarakannya di Seattle
(ketika konperensi APEC), dan
juga tidak melakukannya di
Washington, DC.
Mereka berkampanye
menentang 'pasar bebas',
menentang IMF, dan memihak
kepada kampanye Jubilee untuk
menghapus hutang Dunia
Ketiga, tetapi tidak terhadap
peperangan. 'Pasar bebas' dan
perang berjalan bergandengan
tangan. Sarna seperti halnya
negara-negara Barat, seperti
dikatakan Stiglitz di atas tadi,
pada abad ke-19 memaksa Cina
melakukan "perdagangan bebas
opium", dan hal itu masih
berlaku sekarang. Kalau dalam
abad ke-19 negara-negara Barat
mengeluarkan dalih
" memberantas perompakan di
laut" untuk menutup-nutupi
agenda kolonialisme dan
imperialisme mereka, dewasa ini
Amerika Serikat berdalih
" memerangi terorisme
internasional" untuk
mendapatkan konsesi
pemasangan pipa minyaknya
melalui wilayah Afghanistan.
Koordinasi antara negara-
negara Barat dengan 'pasar-
bebas' sangat jelas. Bisa dilihat
contoh di Kosovo. IMF dan
Bank Dunia telah merancang
rencana ekonomi pasca-perang,
termasuk 'pasar-bebas', bahkan
jauh hari sebelum jatuhnya born
pertama. Keduanya
bergandengan tangan. Jika
suatu negara menolak intervensi
IMF, maka negara-negara Barat,
dengan intervensi politik atau
mengerahkan berbagai badan-
badan rahasia dan kegiatan
subversif, akan masuk. Tugas
mereka menciptakan iklim yang
kondusif bagi program-program
IMF dan negara-negara Barat
(baca: Zionis) untuk akhirnya
dapat dilaksanakan di negara-
negara tersebut. Negara seperti
lndonesia menjadi contoh
betapa program pinjaman
hutang IMF makin menambah
krisis yang memang sudah
parah.
Negara-negara yang menerima
apa yang disebut dengan nama
" bantuan pinjaman" IMF, seperti
Bulgaria dan Romania, termasuk
Indonesia, mungkin tidak
mendapatkan 'carpet bombing',
tetapi mereka dihancurkan
hanya dengan satu goresan
pena. Bahasa badan tidak dapat
menutup-nutupi pikiran yang
ada di benak seseorang.
Tentang hal itu, menarik
memperhatikan keangkuhan
gaya Camdessus, direktur
eksekutif IMF untuk Asia-Pasifik,
ketika ia menyaksikan presiden
Republik Indonesia, Soeharto,
terpaksa menanda-tangani
Memorandum of Understanding
dalam rangka memohon
bantuan pinjaman IMF untuk
Indonesia pada tahun 1998.
Memorandum itu ternyata
merupakan awal dari agenda
penghancuran ekonomi
Indonesia yang memang sudah
terpuruk. Di Bulgaria IMF
melakukan reformasi yang
sangat drastis. IMF
menghancurkan kondisi sosial :
pensiun dipotong, pabrik-pabrik
terpaksa ditutup, ada barang-
barang produk pabrik yang di-
dumping, penghapusan subsidi
perawatan kesehatan dan
subsidi transportasi secara
cuma-cuma bagi rakyat, dan
sebagainya.
Keprihatinan Stiglitz tentang
rencana-rencana dari IMF dan
Bank Dunia yang dirumuskan
secara rahasia dan didorong
oleh suatu ideologi dari kaum
absolutis, dan yang tidak
membuka peluang untuk diskusi
atau penolakan. Meski negara-
negara Barat mendorong
pemilihan umum di seluruh
negara-negara yang sedang
berkembang, apa yang mereka
sebut "Program Pengentasan
Kemiskinan" sebenamya
"merongrong demokrasi".
Dan program itu temyata tidak
jalan. Produktivitas negara-
negara Afrika Hitam di bawah
bimbingan tangan "bantuan"
struktural, IMF gagal total dan
programnya hancur berantakan.
Apakah ada negara-negara
debitur yang mampu
menghindari malapetaka ini ?
" Ada", kata Stiglitz seraya
menunjuk Botswana. Apa yang
mereka lakukan? "Mereka
menghardik IMF untuk
berkemas-kemas meninggalkan
negeri itu ".
Lalu bagaimana cara membantu
negara-negara yang sedang
berkembang itu. Stiglitz
mengusulkan adanya rencana
land-reform yang radikal,
serangan langsung ke jantung
"pertuan-tanahan", pada harga
sewa yang keterlaluan, yang
dikenakan oleh oligarki pemilik
tanah di seluruh dunia, lazimnya
tidak kurang dari 50% dari hasil
panen dari si penyewa tanah
(sistem "paron").
Sebagai salah seorang mantan
pejabat tinggi di Bank Dunia,
apakah gagasan ini pemah
diusulkan oleh Stiglitz? Kalau
anda menantang (kepemilikan
tanah), hal itu niscaya akan
menimbulkan perubahan pada
elit yang berkuasa. Karenanya,
soal itu tidak masuk prioritas
utama mereka ". Setiap kali
solusi dengan konsep 'pasar
bebas' menemui kegagalan,
menurut Stiglitz, IMF tidak lain
hanya menuntut kebijakan
" pasar yang lebih bebas".
"Halnya sama dengan di masa
Abad Pertengahan", kata Stiglitz.
"Tatkala sang pasien meninggal,
mereka berkata, 'Ia terlalu
banyak kehilangan darah,
sebenarnya darahnya masih ada
sedikit di tubuhnya '
Bantuan Ekonomi dan
Kolonialisasi Gaya-Baru
Di Asia Tengah, Balkan, dan
Kaukasus, reformasi dan
program privatisasi dari IMF dan
Bank Dunia berjalan
bergandengan tang an bukan
hanya dengan agenda negara-
negara Barat, tetapi juga dengan
operasi intelijen CIA, yang
dilakukan seeara tertutup.
Pengelolaan lembaga perang
dan ekonomi dilakukan dengan
interface satu dengan yang lain
pada peringkat global.
Jadi pada saat ini berbagai
negara dilemahkan dengan
konflik-konflik regional dan
domestik yang dibiayai oleh
dana keuangan Barat, baik
secara terbuka maupun seeara
tertutup. Kosovo Liberation
Army, Aliansi Utara di
Afghanistan, (GAM di Aceh ?),
hanyalah sekian contoh dari
beberapa kasus, bagaimana
gerakan insurgensi di suatu
negara dibiayai oleh Barat.
Konflik-konflik yang
dimanipulasi di Kosovo,
Afghanistan, Aceh, dan lain-lain,
terjadi karena terdapat sumber
daya alam dalam jumlah yang
strategis, minyak dan gas bumi,
ladang ganja dan obat bius,
yang oleh CIA dikelola secara
tertutup.
Pada gilirannya kepentingan
ekonomi ini bermuara ke politik
luar negeri resmi Ameriksa
Serikat. Akhimya ujung-ujungnya
ke IMF, Bank Dunia, dan bank-
bank regional dan investor
swasta. Perang Afghanistan
adalah contoh nyata adanya
mata-rantai yang kuat antara
agenda untuk untuk menguasai
minyak yang ada di perut bumi
Cekung Kaspia (Caspian Basin)
dengan rancangan membangun
hegemoni politik di Asia Tengah
dalam rangka mengamankan
kepentingan minyak dan gas
bumi bumi tersebut.
Peristiwa serangan 11
September 2001 terhadap
gedung-kembar WTC New York
yang menewaskan lebih-kurang
6.000 jiwa adalah suatu rekayasa
politik yang luar biasa kejamnya
yang dilakukan oleh kelompok
' rajawali' Yahudi di bawah
pimpinan Paul Wolfowitz di
departemen pertahanan
Amerika Serikat, yang bekerja-
sama erat dengan dinas rahasia
Israel Mossad, untuk
mendapatkan dalih
"menghukum" Afghanistan
sebagai "kambing hitam"-nya.
Semuanya berkaitan sebagai
suatu mata rantai. Kecurigaan
bahwa serangan terhadap
gedung-kembar itu merupakan
sebuah rekayasa sangat rahasia
oleh pihak Amerika Serikat
sendiri yang dibantu oleh badan
intelijen Israel Mossad, bukan
hanya dikeluarkan oleh
Alexander Gordon, seorang
analis keamanan Amerika
Serikat, tetapi juga dari ulasan
koran the Guardian dan BBC
London, kantor berita teve
Amerika 'Fox News', Vision TV
Kanada, koran the Washington
Post, bahkan datang dari
pemerintah Jerman, sekutu
Amerika Serikat sendiri.
Mari dicermati institusi global ini:
ada sistem PBB dengan missi
konon untuk "memelihara
perdamaian" yang
pembentukannya diprakarsai
oleh tokoh-tokoh Zionis; mereka
memainkan perannya melalui
negara-negara Barat, khususnya
Amerika Serikat. Dari situ ada
IMF, Bank Dunia, dan bank-
bank pembangunan regional
seperti ADB, Asian Development
Bank, dan sebagainya. Di Eropa
ada the European Bank for
Reconstruction and
Development, serta WTO.
Lembaga-lembaga ini
merupakan kekuatan utama
mereka.
Kadangkala perang diperlukan
untuk menciptakan suatu
kondisi yang kondusif, dan
kemudian lembaga-lembaga
ekonomi produk kaum Zionis itu
akan masuk untuk memberesi
keadaan yang berantakan.
Sebagai misal, sesudah
pemerintahan Taliban di
Afghanistan jatuh, kelompok
bankir Yahudi ini mengusulkan
dibentuknya semaeam 'Marshall
Plan' untuk "membangun
kembali" infra-struktur negeri
itu yang sudah hancur
berantakan.
Atau.sebaliknya, IMF sendiri
yang melakukan destabilisasi
ekonomi seperti yang mereka
lakukan di Indonesia. Mereka
bersikeras menghapus subsidi
pada berbagai kebutuhan publik
di negara itu. Kini kebijakan itu
berhasil melumpuhkan sebuah
negara sebesar Indonesia yang
terdiri lebih dari 17.000 pulau,
dan berakhir dengan
keterpurukan ekonomi yang
kacau-balau. Keadaan
geografinya dan persebaran
sumber daya-alamnya yang
tidak merata membuat ekonomi
nasionalnya bukan menjadi
sumber kesejahteraan, tetapi
berubah menjadi suatu
malapetaka. IMF meninggalkan
kondisi ekonomi-keuangan
negara kepulauan ini dalam
keadaan berantakan dengan
cara yang belum pernah
dihadapi oleh orang Indonesia.
Apa yang telah diperbuat oleh
IMF di Indonesia? Mereka
bersikeras memotong uang yang
seharusnya ditujukan untuk
mensubsidi pemerintahan di
daerah, misalnya di bidang
pendidikan, dan sebagainya.
Kebetulan mereka melakukan
hal yang serupa di Brazil.
Mereka mendestabilisasikan
suatu negara, karena untuk
menguasai suatu negara harus
ada kesamaan fiskal, suatu
sistem untuk transfer fiskal. Jadi
di suatu tempat seperti di
Indonesia, mereka mendorong
sctiap daerah rrielalui kebijakan
otonomi daerah yang infra-
strukturnya tidak disiapkan lebih
dahulu, masing-masing akhirnya
berperilaku menjadi semacam
negara bagian.
Dan tentu saja gagasan untuk
masing-masing berdiri-sendiri
menjadi sangat menarik bagi
berbagai kelompok etnik di
daerah yang berbeda-beda.
Tentu saja mereka (yakni
perancangnya di IMF) sadar
sekali tentang hal ini – mereka
melakukannya berulang-kali.
Mereka hanya mendorong saja
gagasan yang sudah ada. Hal itu
terjadi di Yugoslavia, terjadi di
Brazil; hal itu bahkan terjadi di
bekas Uni Sovyet, dimana
daerah-daerah dilepaskan
begitu saja, karena Moskow
tidak mampu memberi mereka
uang. Kalau hal itu terjadi
dimana rakyat dimelaratkan,
mereka mulai saling membunuh.
Terjadi pada setiap kelompok,
pada kelompok-kelompok etnik,
agama, dan kedaerahan, seperti
di Indonesia.
Namun hal yang sarna bisa saja
terjadi, seperti di Somalia,
dimana tidak ada kelompok-
kelompok etnik, tetapi skema
IMF tetap berjalan. Tidaklah
diperlukan adanya masyarakat
multi-etnik untuk agenda
memecah belah suatu bangsa,
untuk melakukan Balkanisasi.
Skema ini didasarkan pada
agenda 'rekolonialisasi'.
Negara dan 'Teritori'
Negara-negara diubah menjadi
teritori-teritori, persisnya koloni
gaya baru. Apa beda negara
dengan teritori ? Negara
memiliki suatu pemerintahan,
memiliki lembaga-lembaganya,
ada anggaran, negara memiliki
perbatasan ekonomi, dan
memiliki lembaga seperti
beacukai
Sebuah teritori, hanya memiliki
pemerintahan secara nominal
yang dikendalikan oleh IMF
Tidak ada lembaga-lembaga
yang otonom dan berdaulat,
baik dari pemerintahan maupun
swasta, karena telah
diperintahkan tutup oleh IMF
dan Bank Dunia. Tidak ada
perbatasan, karena WTO telah
memerintahkan pasar-bebas.
Tidak ada industri atau
pertanian, karena sektor-sektor
ini telah didestabilisasikan
sebagai akibat meningkatnya
suku-bunga sampai 60 % per
annum, dan hal itu akibat dari
program IMF juga. Angka 60%
itu bukan mengada-ada; di
Brazil angka itu lebih tinggi.
Pada tahun 1998 Indonesia
mengalami hal serupa,
Botswana menghadapi hal yang
sama. Sukubunga seperti itu
luar biasa tingginya.
Untuk mencapai hal itu IMF
memasang batas ceiling kredit.
Sehingga orang tidak mungkin
mendapatkari pinjaman bank;
bank-bank tidak mampu
menjalankan peran intermediasi
mereka keadaan suku-bunga
meningkat, dan tentu saja hal
itu secara pasti membunuh
ekonomi setempat. Di Indonesia,
IMF menuntut pelaksanaan
kebijakan uang-ketat ('austerity
program') dengan menaikkan
suku-bunga obligasi bank
sentral menjadi 17%, sehingga
mendorong bank-bank
komersial menaikkan suku-
bunga kredit mereka. Untuk
menambah keadaan menjadi
lebih parah bank sentral
Indonesia menuntut tiap bank
yang ingin tetap hidup harus
memiliki CAR (capital adequacy
ratio) minimal 8%. Akibatnya
bank-bank Indonesia berlomba-
lomba mencari dana
masyarakat, ketimbang
menjalankan peran intermediasi
mereka untuk mendorong
kembali hidupnya ekonomi di
sektor riel.
Untuk melawannya tidak
mungkin dengan suatu gerakan
topik tunggal. Tidaklah mungkin
memfokuskan semata-mata
pada lembaga-lembaga Bretton
Woods, atau WTO, atau
terhadap isu lingkungan, atau
perekayasaan genetik.
Perjuangan melawan
" kolonialisme gayabaru" itu
harus dalam hubungan totalitas.
Tatkala menggunakan totalitas
orang akan mampu melihat
hubungan penggunaan
kekuatan.
Di bawah sistem ekonomi seperti
yang ada sekarang ini
terhampar sendi-sendi orde
kapitalis yang tertutup:
industrial-military complex
(catat; embargo Amerika Serikat
terhadap peralatan militer
Indonesia), kegiatan apparatus
intelijen, dan kerja-sama dengan
dan pengerahan kejahatan
terorganisasikan (organized
crimes), termasuk perdagangan
narkotika untuk mendanai
konflik-konflik internal di suatu
negara dalam rangka
membukakan pintu negara-
negara Dunia Ketiga tersebut ke
bawah kontrol komplotan
Barat-Zionis.
Kini zamannya telah beralih dari
gunboat diplomacy ke missile
diplomacy. Sebenarnya istilah
missile diplomacy tidaklah tepat.
Yang ada adalah pemboman
secara kasar dan primitif, seperti
halnya ancaman dari utusan
presiden Bush kepada
pemerintahan Emirat Islam
Afghanistan pada tahun 1999,
tatkala Bush menghendaki
tampilnya kembali bekas raja
Mohammad Zahir Shah di
Afghanistan sebagai tokoh
pimpinan pemerintahan boneka,
dan konsesi eksploitasi atas
minyak dan gas bumi
Afghanistan, serta pemasangan
lintas pipa-minyak dari
Turkmenistan ke Pakistan
melalui wilayah Afghanistan
dengan ancaman kasar, "Kalau
anda setuju kami akan
hamparkan 'carpet of gold',
tetapi bilamana tidak, kami akan
berikan anda 'carpet-bombing'
". Taliban menolak, dan mereka
mendapatkan ganjaran, 'carpet-
bombing' yang dijanjikan itu.
Money-Politics dan
Penguasaan Elit Politik
Sebagian dari birokrasi sipil dan
aparat intelijen militer di Dunia
Ketiga terdiri dari para gangster
dan kriminal2. Namun keadaan
yang sebenarnya bila didalami
jauh lebih rumit. Karena pada
dasarnya para gangster itu tidak
lebih dari instrumen dalam
jaringan-kerja dari para
pemodal besar internasional
(baca: Yahudi). Mereka tidak
menghalang-halangi sistem yang
ada. Para gangster itu adalah
orang yang dengan mudah
dapat dipergunakan, karena
mereka tidak bertanggung-
jawab kepada konstituensi
mereka, atau kepada siapa pun.
Karena itu penggunaan mereka
sangat bermanfaat.
Ambil misalnya ketika negara-
negara Barat mendudukkan
Hacim Thaci (pernimpin 'Tentara
Pembebasan Kosovo') dalam
pemerintahan di Kosovo, atau
Abdul Hamid Karzai di
Afghanistan. Jauh lebih mudah
menempatkan gangster
semacam mereka untuk
memerintah negeri Kosovo atau
Afghanistan, daripada
mendudukkan seorang perdana
menteri terpilih dengan
integritas pribadi yang tinggi,
yang bertanggung-jawab kepada
konstituensinya. Yang terbaik
adalah menempatkan seorang
gangster-terpilih, seperti Boris
Yeltsin (bagaimana dengan di
Indonesia?), karena cara itu
yang terbaik. Cari dan temp
atkan seorang gangster-terpilih.
Di pemerintahan Amerika
Serikat sudah beberapa kali
menempatkan gangster terpilih.
Mengapa? Karena gangster-
terpilih lebih mudah
dikendalikan daripada seorang
bukan-gangster yang diangkat.
Tetapi harus dimaklumi, para
gangster ini merupakan kaki-
tangan yang sangat menyolok –
hal itu disebut sebagai
kriminalisasi suatu negara.
Sudah dapat dipastikan akan
ada inter-penetrasi perdagangan
yang legal maupun illegal. Dan
perdagangan ilegal selalu
berada dalam bisnis dan
keuangan berskala besar.
Pemimpin yang mendapatkan
dukungan luas dari rakyat oleh
negara-negara Barat tidak
dikehendaki. Sebagai contoh
bekerjanya anasir Zionis melalui
jaringan klandestin, baik melalui
partai-partai politik yang korup,
badan-badan LSM kiri,
kelompok 'theologi
pembebasan' Katolik Jesuit yang
kekiri-kirian, serta kaum anarkis,
telah berhasil menyingkirkan
tokoh yang memiliki integritas
dan kompetensi. Pemimpin yang
memiliki integritas dari segi
kepentingan Zionisme secara
politik tidak-dikehendaki. Itulah
yang terjadi dengan nasib
presiden B.J.Habibie dari
Indonesia, yang ditendang
keluar, bahkan oleh partainya
sendiri.
Aspek penting dari kegiatan
klandestin IMF adalah
menciptakan kondisi untuk
membiakkan perdagangan ilegal
dan untuk mencuci uang di
seluruh dunia. Hal itu sangat
jelas, karena ketika ekonomi
legal jatuh terpuruk akibat
reformasi IMF, lalu apa yang
tersisa. Yang tersisa adalah
ekonorni-kelabu, ekonomi
kriminal. Hal itu mendorong
perkembangan kekuatan
ekonomi ilegal yang akan
digunakan untuk menggantikan
kekuatan ekonomi legal yang
secara potensial lebih
bertanggung-jawab.
Keruntuhan sistem ekonomi
yang legal di suatu negara
menciptakan juga kondisi untuk
perkembangan insurjensi,
destabilisasi pemerintah terpilih,
penutupan lembaga-lembaga,
dan perubahan negara menjadi
sekedar sebuah teritori, yang
kemudian dikendalikan layaknya
sebuah koloni. Indonesia dilihat
dari berbagai indikasi obyektif,
layak untuk dimasukkan ke
dalam kartegori 'koloni gaya-
baru' dari negara-negara Barat.
Kasus – "Suatu Model
Membuka Kosovo untuk
Modal Asing "
Di daerah pendudukan Kosovo
yang berada di bawah mandat
pasukan penjaga-keamanan
PBB, "terorisme oleh negara"
dan kaum pembela "pasar-
bebas", berjalan bergandengan
tangan. Kriminalisasi oleh
lembaga-lembaga negara yang
terus berlangsung bukannya
tidak sesuai dengan sasaran-
sasaran ekonomi dan strategi
Barat di Balkan.
Tanpa memperhitungkan
kejahatan pembantaian rakyat
sipil, pemerintahan KLA yang
memproklamasikan diri-sendiri
telah memberikan komitmennya
untuk membentuk suatu
"pemerintahan yang aman dan
stabil" bagi para investor asing
dan lembaga-lembaga
keuangan internasional Yahudi,
yang didukung oleh negara-
negara Barat, dan lembaga-
lembaga keuangan yang
berbasis di New York dan
London. Mereka telah
melakukan analisis tentang
konsekwensi bila suatu
intervensi militer terjadi dengan
akibat perlunya pendudukan
Kosovo, hampir setahun
sebelum terjadinya perang.
Konsep ini diulang kembali di
Afghanistan pada tahun 2001.
IMF dan Bank Dunia telah
melakukan suatu 'simulasi' yang
'mengantisipasi kemungkinan
skenario darurat berlaku
sebagai akibat ketegangan-
ketegangan yang ada di
Kosovo '.
Tatkala pemboman masih
berlangsung, Bank Dunia dan
Komisi Eropa memperoleh
sebuah mandat khusus guna
' mengkoordinasikan para donor'
untuk bantuan ekonomi di
Balkan. Muatan 'terms of
reference' tidak mengeluarkan
Yugoslavia dari daftar penerima
bantuan donor tersebut. Hal itu
dengan jelas menegaskan
bahwa Belgrado berhak untuk
mendapatkan pinjaman
pembangunan "begitu keadaan
politik disana berubah".
Sehubungan dengan Kosovo,
alih-alih memberikan pinjaman
untuk membangun kembali
infra-struktur propinsi Kosovo,
IMF dan Bank Dunia malah
lebih memusatkan intervensinya
dengan pemberian 'bantuan
dalam merancang rekonstruksi
dan program recovery ' serta
apa yang dinamakan 'nasehat
kebijakan dalam manajemen
ekonomi ' dan 'pembangunan
kelembagaan' khususnya
'pemerintahan'. Dengan kata
lain, sepasukan ahli hukum dan
konsultan dikirimkan untuk
menjamin transisi Kosovo
' membangun suatu ekonomi
pasar yang hidup, terbuka, dan
transparan '. Bantuan yang
diberikan kepada pemerintahan
sementara Kosovo akan
diarahkan menuju 'terbentuknya
lembaga-lembaga yang
transparan, efektif, dan
berkelanjutan '. 'Pemberdayaan
lingkungan' bagi investasi modal
asing akan dibentuk sejajar
dengan pembentukan 'jaringan
keselamatan sosial' dan
'program pengentasan
kemiskinan'.
Sementara itu bank-bank milik
negara Yugoslavia yang
beroperasi di Pristina ditutup.
Mata-uang Deutschmark
ditetapkan sebagai alat tukar
yang sah, dan sistem perbankan
dialihkan kepada Commerzbank
AG Jerman, yang menjadi
pemegang saham tunggal
swasta di dalam Micro
Enterprise Bank (MEB milik
Kosovo) yang dibentuk pada
awal tahun 2000 dengan
pemrakarsa International
Finance Corporation (milik Bank
Dunia), the European Bank for
Reconstruction and
Development (EBRD), bersama
dengan Nederlandse
FinancieringsMaatschappij voor
Ontwikkelingslanden (FMO).
Internationale Micro
Investitionen (IMI milik Jerman),
dan Kredit Anstalt fuer
Wiederaufbau (KW juga milik
Jerman). Jadi pihak Jerman
(Commerzbank AG, milik
Yahudi) akan menjalankan
kontrol atas fungsi-fungsi
perbankan untuk propinsi
Kosovo termasuk transfer
keuangan dan transaksi luar
negeri.
Dalam karakter yang sarna para
komprador IMF di Indonesia
tengah gencar-gencarnya
menjual aset-aset publik yang
selama ini berperan sebagai
money-machine bagi Indonesia
dengan harga obral-obralan,
seperti BCA, Telkom, Semen
Gresik, perkebunan kelapa sawit
eksmilik Salim Grup, dan lain-
lain kepada pihak asing. Para
bidder domestik dalam proses
tender itu tidak digubris. Tidak
salah bila Prof.Chossudovsky
memasukkan Indonesia ke
dalam kategori "teritori" dari
kekuatan keuangan Zionisme.3
Daftar Pustaka:
1. Greg Palast, 'The Globalizer
Who Came In From the Cold',
the Observer, London, October
10,2001.
2. Lloyd, 'Modern Indinesia in
Transition', Australian National
University, 2002.
3. Prof. Michel Chossudovsky,
' The IMF and World Bank: Two
Instruments of National
Destruction " University of
Ottawa, 2000.
Ditulis oleh yossyrahadian

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri