Indonesia Tidak Dijajah Belanda Selama 350 Tahun

Tanggal 8 Maret, 66 Tahun Lalu
Oleh Nina Herlina L.
"Wij sluiten nu.Vaarwel, tot
betere tijden. Leve de
Koningin !" (Kami akhiri sekarang.
Selamat berpisah sampai waktu
yang lebih baik. Hidup Sang
Ratu!). Demikian NIROM
(Nederlandsch Indische Radio
Omroep Maatschappij/Maskapai
Radio Siaran Hindia Belanda)
mengakhiri siarannya pada
tanggal 8 Maret 1942.
Enam puluh enam tahun yang
lalu, tepatnya 8 Maret 1942,
penjajahan Belanda di Indonesia
berakhir sudah. Rupanya "waktu
yang lebih baik" dalam siaran
terakhir NIROM itu tidak pernah
ada karena sejak 8 Maret 1942
Indonesia diduduki Pemerintahan
Militer Jepang hingga tahun
1945. Indonesia menjadi negara
merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945.
Masyarakat awam selalu
mengatakan bahwa kita dijajah
Belanda selama 350 tahun.
Benarkah demikian? Untuk ke
sekian kalinya, harus ditegaskan
bahwa "Tidak benar kita dijajah
Belanda selama 350 tahun".
Masyarakat memang tidak bisa
disalahkan karena anggapan itu
sudah tertulis dalam buku-buku
pelajaran sejarah sejak Indonesia
merdeka! Tidak bisa disalahkan
juga ketika Bung Karno
mengatakan, "Indonesia dijajah
selama 350 tahun!" Sebab,
ucapan ini hanya untuk
membangkitkan semangat
patriotisme dan nasionalisme
rakyat Indonesia saat perang
kemerdekaan (1946-1949)
menghadapi Belanda yang ingin
kembali menjajah Indonesia.
Bung Karno menyatakan hal ini
agaknya juga untuk meng-
counter ucapan para penguasa
Hindia Belanda. De Jong,
misalnya, dengan arogan
berkata, "Belanda sudah
berkuasa 300 tahun dan masih
akan berkuasa 300 tahun lagi !"
Lalu Colijn yang dengan pongah
berkoar, "Belanda tak akan
tergoyahkan karena Belanda ini
sekuat (Gunung) Mount Blanc di
Alpen. "
Tulisan ini akan menjelaskan
bahwa anggapan yang sudah
menjadi mitos itu, tidak benar.
Mari kita lihat sejak kapan kita
(Indonesia) dijajah dan kapan
pula penjajahan itu berakhir.
Kedatangan penjajah
Pada 1511, Portugis berhasil
menguasai Malaka, sebuah
emporium yang menghubungkan
perdagangan dari India dan
Cina. Dengan menguasai Malaka,
Portugis berhasil mengendalikan
perdagangan rempah-rempah
seperti lada, cengkeh, pala, dan
fuli dari Sumatra dan Maluku.
Pada 1512, D`Albuquerque
mengirim sebuah armada ke
tempat asal rempah-rempah di
Maluku. Dalam perjalanan itu
mereka singgah di Banten,
Sundakalapa, dan Cirebon.
Dengan menggunakan nakhoda-
nakhoda Jawa, armada itu tiba di
Kepulauan Banda, terus menuju
Maluku Utara, akhirnya tiba juga
di Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat
izin untuk membangun sebuah
benteng. Portugis memantapkan
kedudukannya di Maluku dan
sempat meluaskan
pendudukannya ke Timor.
Dengan semboyan "gospel,
glory, and gold" mereka juga
sempat menyebarkan agama
Katolik, terutama di Maluku.
Waktu itu, Nusantara hanyalah
merupakan salah satu mata
rantai saja dalam dunia
perdagangan milik Portugis yang
menguasai separuh dunia ini
(separuh lagi milik Spanyol) sejak
dunia ini dibagi dua dalam
Perjanjian Tordesillas tahun 1493.
Portugis menguasai wilayah yang
bukan Kristen dari 100 mil di
sebelah barat Semenanjung
Verde, terus ke timur melalui
Goa di India, hingga kepulauan
rempah-rempah Maluku. Sisanya
(kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad
ke-16, para pelaut Belanda
berhasil menemukan jalan
dagang ke Asia yang
dirahasiakan Portugis sejak awal
abad ke-16. Pada 1595, sebuah
perusahaan dagang Belanda
yang bernama Compagnie van
Verre membiayai sebuah
ekspedisi dagang ke Nusantara.
Ekpedisi yang dipimpin oleh
Cornelis de Houtman ini
membawa empat buah kapal.
Setelah menempuh perjalanan
selama empat belas bulan, pada
22 Juni 1596, mereka berhasil
mendarat di Pelabuhan Banten.
Inilah titik awal kedatangan
Belanda di Nusantara.
Kunjungan pertama tidak
berhasil karena sikap arogan
Cornelis de Houtman. Pada 1
Mei 1598, Perseroan Amsterdam
mengirim kembali rombongan
perdagangannya ke Nusantara di
bawah pimpinan Jacob van Neck,
van Heemskerck, dan van
Waerwijck. Dengan belajar dari
kesalahan Cornelis de Houtman,
mereka berhasil mengambil
simpati penguasa Banten
sehingga para pedagang Belanda
ini diperbolehkan berdagang di
Pelabuhan Banten. Ketiga kapal
kembali ke negerinya dengan
muatan penuh. Sementara itu,
kapal lainnya meneruskan
perjalanannya sampai ke Maluku
untuk mencari cengkih dan pala.
Dengan semakin ramainya
perdagangan di perairan
Nusantara, persaingan dan
konflik pun meningkat. Baik di
antara sesama pedagang
Belanda maupun dengan
pedagang asing lainnya seperti
Portugis dan Inggris. Untuk
mengatasi persaingan yang tidak
sehat ini, pada 1602 di
Amsterdam dibentuklah suatu
wadah yang merupakan
perserikatan dari berbagai
perusahaan dagang yang
tersebar di enam kota di
Belanda. Wadah itu diberi nama
Verenigde Oost-Indische
Compagnie (Serikat Perusahaan
Hindia Timur) disingkat VOC.
Pemerintah Kerajaan Belanda
(dalam hal ini Staaten General),
memberi "izin dagang" (octrooi)
pada VOC. VOC boleh
menjalankan perang dan
diplomasi di Asia, bahkan
merebut wilayah-wilayah yang
dianggap strategis bagi
perdagangannya. VOC juga
boleh memiliki angkatan perang
sendiri dan mata uang sendiri.
Dikatakan juga bahwa octrooi itu
selalu bisa diperpanjang setiap
21 tahun. Sejak itu hanya
armada-armada dagang VOC
yang boleh berdagang di Asia
(monopoli perdagangan).
Dengan kekuasaan yang besar
ini, VOC akhirnya menjadi
" negara dalam negara" dan
dengan itu pula mulai dari masa
Jan Pieterszoon Coen
(1619-1623, 1627-1629) sampai
masa Cornelis Speelman
(1681-1684) menjadi Gubernur
Jenderal VOC, kota-kota dagang
di Nusantara yang menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah
berhasil dikuasai VOC. Batavia
(sekarang Jakarta) menjadi pusat
kedudukan VOC sejak 1619,
Ambon dikuasai tahun 1630.
Beberapa kota pelabuhan di
Pulau Jawa baru diserahkan
Mataram kepada VOC antara
tahun 1677-1705. Sementara di
daerah pedalaman, raja-raja dan
para bupati masih tetap
berkuasa penuh. Peranan
mereka hanya sebatas menjadi
" tusschen personen" (perantara)
penguasa VOC dan rakyat.
"Power tends to Corrupt."
Demikian kata Lord Acton,
sejarawan Inggris terkemuka.
VOC memiliki kekuasaan yang
besar dan lama, VOC pun
mengalami apa yang dikatakan
Lord Acton. Pada 1799, secara
resmi VOC dibubarkan akibat
korupsi yang parah mulai dari
" cacing cau" hingga Gubernur
Jenderalnya. Pemerintah Belanda
lalu menyita semua aset VOC
untuk membayar utang-
utangnya, termasuk wilayah-
wilayah yang dikuasainya di
Indonesia, seperti kota-kota
pelabuhan penting dan pantai
utara Pulau Jawa.
Selama satu abad kemudian,
Hindia Belanda berusaha
melakukan konsolidasi
kekuasaannya mulai dari
Sabang-Merauke. Namun, tentu
saja tidak mudah. Berbagai
perang melawan kolonialisme
muncul seperti Perang Padri
(1821-1837), Perang Diponegoro
(1825-1830), Perang Aceh
(1873-1907), Perang di Jambi
(1833-1907), Perang di Lampung
(1834-1856), Perang di Lombok
(1843-1894), Perang Puputan di
Bali (1846-1908), Perang di
Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah (1852-1908),
Perlawanan di Sumatra Utara
(1872-1904), Perang di Tanah
Batak (1878-1907), dan Perang
Aceh (1873-1912).
Peperangan di seluruh
Nusantara itu baru berakhir
dengan berakhirnya Perang
Aceh. Jadi baru setelah tahun
1912, Belanda benar-benar
menjajah seluruh wilayah yang
kemudian menjadi wilayah
Republik Indonesia (kecuali
Timor Timur). Jangan lupa pula
bahwa antara 1811-1816,
Pemerintah Hindia Belanda
sempat diselingi oleh
pemerintahan interregnum
(pengantara) Inggris di bawah
Letnan Gubernur Thomas
Stamford Raffles.
Saat-saat akhir
Pada 7 Desember 1941,
Angkatan Udara Jepang di
bawah pimpinan Laksamana
Nagano melancarkan serangan
mendadak ke pangkalan
angkatan laut AS di Pearl
Harbour, Hawaii. Akibat
serangan itu kekuatan angkatan
laut AS di Timur Jauh lumpuh.
AS pun menyatakan perang
terhadap Jepang. Demikian pula
Belanda sebagai salah satu
sekutu AS menyatakan perang
terhadap Jepang.
Pada 18 Desember 1941, pukul
06.30, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer
melalui radio menyatakan
perang terhadap Jepang.
Pernyataan perang tersebut
kemudian direspons oleh Jepang
dengan menyatakan perang juga
terhadap Pemerintah Hindia
Belanda pada 1 Januari 1942.
Setelah armada Sekutu dapat
dihancurkan dalam pertempuran
di Laut Jawa maka dengan
mudah pasukan Jepang
mendarat di beberapa tempat di
pantai utara Pulau Jawa.
Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda memusatkan
pertahanannya di sekitar
pegunungan Bandung. Pada
waktu itu kekuatan militer Hindia
Belanda di Jawa berjumlah
empat Divisi atau sekitar 40.000
prajurit termasuk pasukan
Inggris, AS, dan Australia.
Pasukan itu di bawah komando
pasukan sekutu yang markas
besarnya di Lembang dan
Panglimanya ialah Letjen H. Ter
Poorten dari Tentara Hindia
Belanda (KNIL). Selanjutnya
kedudukan Pemerintah Kolonial
Belanda dipindahkan dari Batavia
(Jakarta) ke Kota Bandung.
Pasukan Jepang yang mendarat
di Eretan Wetan adalah
Detasemen Syoji. Pada saat itu
satu detasemen pimpinannya
berkekuatan 5.000 prajurit yang
khusus ditugasi untuk merebut
Kota Bandung. Satu batalion
bergerak ke arah selatan melalui
Anjatan, satu batalion ke arah
barat melalui Pamanukan, dan
sebagian pasukan melalui Sungai
Cipunagara. Batalion Wakamatsu
dapat merebut lapangan terbang
Kalijati tanpa perlawanan berarti
dari Angkatan Udara Inggris
yang menjaga lapangan terbang
itu.
Pada 5 Maret 1942, seluruh
detasemen tentara Jepang yang
ada di Kalijati disiapkan untuk
menggempur pertahanan
Belanda di Ciater dan
selanjutnya menyerbu Bandung.
Akibat serbuan itu tentara
Belanda dari Ciater mundur ke
Lembang yang dijadikan benteng
terakhir pertahanan Belanda.
Pada 6 Maret 1942, Panglima
Angkatan Darat Belanda Letnan
Jenderal Ter Poorten
memerintahkan Komandan
Pertahanan Bandung Mayor
Jenderal J. J. Pesman agar tidak
mengadakan pertempuran di
Bandung dan menyarankan
mengadakan perundingan
mengenai penyerahan pasukan
yang berada di garis Utara-
Selatan yang melalui Purwakarta
dan Sumedang. Menurut
Jenderal Ter Poorten, Bandung
pada saat itu padat oleh
penduduk sipil, wanita, dan
anak-anak, dan apabila terjadi
pertempuran maka banyak dari
mereka yang akan jadi korban.
Pada 7 Maret 1942 sore hari,
Lembang jatuh ke tangan tentara
Jepang. Mayjen J. J. Pesman
mengirim utusan ke Lembang
untuk merundingkan masalah
itu. Kolonel Syoji menjawab
bahwa untuk perundingan itu
harus dilakukan di Gedung Isola
(sekarang gedung Rektorat UPI
Bandung). Sementara itu,
Jenderal Imamura yang telah
dihubungi Kolonel Syoji segera
memerintahkan kepada
bawahannya agar mengadakan
kontak dengan Gubernur
Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer untuk
mengadakan perundingan di
Subang pada 8 Maret 1942 pagi.
Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter
Poorten meminta Gubernur
Jenderal agar usul itu ditolak.
Jenderal Imamura mengeluarkan
peringatan bahwa "Bila pada 8
Maret 1942 pukul 10.00 pagi
para pembesar Belanda belum
juga berangkat ke Kalijati maka
Bandung akan dibom sampai
hancur. " Sebagai bukti bahwa
ancaman itu bukan sekadar
gertakan, di atas Kota Bandung
tampak pesawat-pesawat
pembom Jepang dalam jumlah
besar siap untuk melaksanakan
tugasnya.
Melihat kenyataan itu, Letnan
Jenderal Ter Poorten dan
Gubernur Jenderal Tjarda
beserta para pembesar tentara
Belanda lainnya berangkat ke
Kalijati sesuai dengan tanggal
dan waktu yang telah
ditentukan. Pada mulanya
Jenderal Ter Poorten hanya
bersedia menyampaikan
kapitulasi Bandung. Namun,
karena Jenderal Imamura
menolak usulan itu dan akan
melaksanakan ultimatumnya.
Akhirnya, Letnan Jenderal Ter
Poorten dan Gubernur Jenderal
Tjarda menyerahkan seluruh
wilayah Hindia Belanda kepada
Jepang tanpa syarat. Keesokan
harinya, 9 Maret 1942 pukul
08.00 dalam siaran radio
Bandung, terdengar perintah
Jenderal Ter Poorten kepada
seluruh pasukannya untuk
menghentikan segala
peperangan dan melakukan
kapitulasi tanpa syarat.
Itulah akhir kisah penjajahan
Belanda. Setelah itu Jepang pun
menduduki Indonesia hingga
akhirnya merdeka 17 Agustus
1945. Jepang hanya berkuasa
tiga tahun lima bulan delapan
hari.
Analisis
Berdasarkan uraian di atas, kita
bisa menghitung berapa lama
sesungguhnya Indonesia dijajah
Belanda. Kalau dihitung dari
1596 sampai 1942, jumlahnya
346 tahun. Namun, tahun 1596
itu Belanda baru datang sebagai
pedagang. Itu pun gagal
mendapat izin dagang. Tahun
1613-1645, Sultan Agung dari
Mataram, adalah raja besar yang
menguasai seluruh Jawa, kecuali
Banten, Batavia, dan
Blambangan. Jadi, tidak bisa
dikatakan Belanda sudah
menjajah Pulau Jawa (yang
menjadi bagian Indonesia
kemudian).
Selama seratus tahun dari mulai
terbentuknya Hindia Belanda
pascakeruntuhan VOC (dengan
dipotong masa penjajahan
Inggris selama 5 tahun), Belanda
harus berusaha keras
menaklukkan berbagai wilayah di
Nusantara hingga terciptanya Pax
Neerlandica. Namun, demikian
hingga akhir abad ke-19,
beberapa kerajaan di Bali, dan
awal abad ke-20, beberapa
kerajaan di Nusa Tenggara
Timur, masih mengadakan
perjanjian sebagai negara bebas
(secara hukum internasional)
dengan Belanda. Jangan pula
dilupakan hingga sekarang Aceh
menolak disamakan dengan Jawa
karena hingga 1912 Aceh adalah
kerajaan yang masih berdaulat.
Orang Aceh hanya mau
mengakui mereka dijajah 33
tahun saja.
Kesimpulannya, tidak benar kita
dijajah Belanda selama 350
tahun. Yang benar adalah,
Belanda memerlukan waktu 300
tahun untuk menguasai seluruh
Nusantara. ***
Kesimpulannya, tidak benar kita
dijajah Belanda selama 350
tahun. Yang benar adalah,
Belanda memerlukan waktu 300
tahun untuk menguasai seluruh
Nusantara.
Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah
Unpad/Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat/Ketua Pusat
Kebudayaan Sunda Fakultas
Sastra Unpad.

Comments

Post a Comment

silahkan berkomentar kawan !

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri