BENCANA

Putu Setia
Belum sempurna pantat ini
menyentuh kursi, Romo Imam
sudah mengajukan pertanyaan:
"Bagaimana bunyi sila pertama
Pancasila yang menjadi dasar
negara?"
Saya tercengang. Jawaban itu
tentu saja mudah. Yang sulit
adalah mencari tahu ada apa di
balik pertanyaan itu. "Kenapa
Romo menanyakan hal itu?" saya
balik bertanya.
"Pertanyaan ini jauh lebih
bermutu dari tes calon pegawai
negeri Kementerian
Perdagangan. Apa kaitannya
pegawai yang ngurusi harga
bawang merah ini dengan lagu
ciptaan Presiden SBY? Kenapa
tidak sekalian ditanyakan, apa
parfum yang biasa dipakai Ibu
Ani Yudhoyono. Pertanyaan
konyol. Tapi pertanyaan saya
serius, jawab."
Sorot mata Romo membuat saya
kecut dan akhirnya saya
menjawab: "Ketuhanan Yang
Maha Esa." Romo tertawa
senang, lalu berdiri: "Benar, dan
bukan Keuangan Yang Maha
Kuasa. Sekarang yang berkuasa
itu uang. Kalau punya uang,
berbuat apa saja bisa.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
bukan Keuangan Yang Maha
Kuasa. Tapi kenapa jarang sekali
ini dijadikan 'dasar', padahal ini
sila pertama?"
Saya tak paham, untung Romo
melanjutkan: "Kalau benar
orang Indonesia menjadikan
Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai dasar falsafah hidup
yang pertama, kenapa setiap ada
masalah tak pernah merujuk
pada kekuasaan Tuhan? Jika ada
masalah yang menimbulkan
korban, alam dijadikan kambing
hitam, istilahnya pun disebut
bencana alam. Padahal alam
yang diciptakan Tuhan tak
mungkin memberi bencana.
Alam diciptakan untuk dinikmati
sepenuhnya oleh isi alam."
Saya masih tak paham dan
membiarkan Romo bicara terus.
"Alam itu diciptakan dalam
konsep keseimbangan. Begitu
keseimbangan dirusak, alam
mencari keseimbangan baru.
Kalau hutan dibabat, tanah yang
tak dilindungi pohon itu akan
mencari keseimbangan baru
untuk menguatkan posisinya.
Hutan yang rusak juga membuat
air tanah di sana 'tak nyaman',
lalu air di tanah itu mencari
keseimbangan baru. Dalam
proses pencarian itu, terjadi
tanah longsor dan banjir
bandang. Kenapa itu disebut
bencana oleh manusia?"
Wah, saya tak mudah mencerna
filsafat alam seperti ini. Saya
masih diam. "Saya memuji orang
Bali yang selalu menjaga
keseimbangan alam dengan
ritual yang memuja alam.
Misalnya pohon diberi sesajen,
danau diberi sesajen, dan
sebagainya," kata Romo.
Yang ini saya paham, makanya
saya nimbrung: "Romo benar,
orang Bali menjaga alam dengan
banyak ritual. Pohon diberi
sesajen, sesungguhnya agar
pohon itu tak mudah ditebang
orang yang haus kayu. Tapi
orang Bali menjadi sibuk
menjelaskan konsep
keseimbangan alam ini karena
belum apa-apa sudah dituduh
klenik, mistik, memuja berhala.
Padahal yang dipuja adalah
Tuhan dengan ciptaan-Nya."
Romo menyela: "Inti yang
hendak saya katakan adalah
mari sesekali kita menoleh
kepada kekuasaan Tuhan,
karena bukankah ini sila pertama
dasar negara kita? Siapa tahu
kita banyak berbuat salah. Kita
membabat hutan, banjir datang.
Kita menguras air tanah, ambles
datang. Jika kita menyadari ada
yang salah, mari kita bertobat.
Kita lakukan ruwatan nasional."
Saya memotong: "Betul Romo,
kita lakukan introspeksi mengacu
pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kereta api tabrakan terus,
jangan-jangan pejabat yang
mengurusi perhubungan
moralnya cela di mata Tuhan.
Bus wakil rakyat tabrakan,
jangan-jangan para wakil rakyat
banyak yang berdusta. "
Romo terpingkal-pingkal. "Kalau
itu diperpanjang, jadi banyak.
Bisa tak nyambung, bisa pula
nyambung. Tapi ada baiknya kita
sesekali berpikir: apa perlu
melakukan pertobatan nasional
dan meminta ampun kepada
Tuhan, sembari memperbaiki
moral kita bersama-sama?"

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri