BAIK

Sebelum Socrates dihukum mati
dengan meminum racun, ia
sudah dibayangkan hampir
tewas. Dalam sebuah lakon yang
dipentaskan di tahun 423
Sebelum Masehi, Aristophanes
mengkhayalkan Socrates sebagai
pendidik yang dibenci orang:
sekolahnya, yang disebut ”Toko
Pikiran”, dibakar ramai-ramai.
Socrates melarikan diri.
Aristophanes punya alasan untuk
menulis komedi itu: ia memusuhi
guru filsafat yang dikagumi para
pemuda itu. Aristophanes
seorang konservatif. Ia tak
percaya kepada sikap skeptis
yang diajarkan pada filosof. Ia
anggap diakuinya hak-hak politik
individu akan memperlemah
Negara. Ia curigai sosialisme
sebagai penghasut para budak.
Dan ia menganggap agama
sangat penting bagi kehidupan
bersama.
Dengan pandangan hidup yang
seperti itu, baginya Socrates
sebuah sumber kekacauan.
Socrates telah menyesatkan
anak-anak muda, hingga mereka
doyan bertanya terus-menerus
tentang apa saja, juga tentang
dewa-dewa.
Dalam lakon yang ditulisnya itu,
Mendung, Aristophanes
membuat sebuah satire yang
tajam.
Syahdan, Pak Strepsiades datang
ke Socrates di sekolah ”Toko
Pikiran”. Dilihatnya tuan guru
sedang berada dalam sebuah
keranjang yang tergantung-
gantung dari loteng. Di
bawahnya beberapa murid
menungging dengan pantat
mencuat ke langit dan hidung
menyentuh tanah. Ada yang
menduga, dalam adegan itu
Aristophanes hendak menyindir
Socrates, seorang homoseksual,
yang gemar memburu anak-
anak muda. Tapi sang dramawan
tak cuma menyinggung hal itu.
Di pentas, tokoh Socrates
digambarkan berkata dengan
angkuh. Kutipan dialognya:
Socrates: ”Kamu bersumpah
demi dewa yang mana? Sebab di
sini dewa-dewa tak laku.
(Menunjuk ke Mendung): itu dia
dewa-dewa yang nyata.
Strepsiades: ”Tapi mosok nggak
ada Zeus?”
Socrates: ”Tak ada Zeus.”
Strepsiades: ”Lalu siapa yang
bikin hujan, dong?”
Socrates: ”Mendung itu. Kan
kamu tak pernah melihat hujan
tanpa mendung ?”
Aristophanes menganggap
Socrates tak punya Tuhan. Dan
itu berbahaya.
Dalam bagian berikutnya, satire
itu mengisahkan putra
Strepsiades yang bernama
Pheidippides bersua dengan
sepasang makhluk yang
bernama Argumen Adil dan
Argumen Tak-adil. Si Adil
menganjurkannya untuk meniru
kebajikan orang-orang dari
Marathon. Si Tak-adil sebaliknya
mengajarkan moralitas baru: apa
untungnya mencapai kebajikan?
Tiap satu orang jujur yang sukses
akan ditandingi dengan 10 orang
tanpa kejujuran yang juga
sukses. Coba lihat para dewa
sendiri, kata si Tak-adil. Mereka
bohong, mencuri, membunuh —
dan tetap disembah oleh seluruh
orang Yunani.
Pheidippides jadi murid yang
patuh. Pada suatu hari, ia pukul
ayahnya sendiri. Alasan: ia cukup
kuat dan merasa nikmat
melakukan itu. Lagi pula,
katanya kepada sang ayah,
Strepsiades: ”Bukankah engkau
memukuliku ketika aku masih
anak-anak ?”
Strepsiades mengaduh dan minta
belas kasih Zeus. Tapi anak
muda yang memukulnya itu
memberi tahu: Zeus tidak ada.
Yang ada, seperti kata Socrates,
hanya Pusaran. Pusaran itu yang
menyebabkan air jadi hujan dan
kembali jadi air.
Mendengar itu, Strepsiades
berteriak marah. Ia berseru
kepada seluruh warga kota yang
baik agar menghancurkan filosofi
baru itu. ”Toko Pikiran” dibakar.
Socrates nyaris tertangkap.…
Pendirian Aristophanes: moralitas
akan berantakan jika tak ada
agama yang mengusung dewa-
dewa. Socrates, yang
mempertanyakan segalanya
pada dasarnya meragukan
segalanya. Pada akhirnya ia tak
beriman kepada apa pun.
” Tentang dewa-dewa, aku tak
tahu apa-apa,” kata guru itu.
Pandangan agnostiknya adalah
teladan yang mengandung tuba.
Memang, Socrates tak
menggunakan dewa-dewa
sebagai sumber apa yang baik.
Sebagaimana dikutip dalam
Euthyphro, yang baik itu baik
bukan karena dewa-dewa
membenarkannya, melainkan
para dewa membenarkannya
karena hal itu baik. Dengan kata
lain: manusia otonom,
sebenarnya. Ia bisa menentukan
sendiri.
Dalam pengalaman manusia
sepanjang sejarah, memang yang
ada di ”atas” sana tak bisa
diketahui. Manusia membaca
Tuhan (atau para dewa)
sebagaimana ia menebak orakel:
ia menafsirkan. Ia tak bisa lain. Ia
hanya berpegang pada
interpretasi. Dan interpretasi itu
tentu dipengaruhi oleh
wataknya, pengalamannya,
acuannya. Jika si manusia itu
bersifat penuh kasih sayang,
maka dewa atau Tuhan yang
dibacanya akan tampil sebagai
Tuhan yang penuh kasih sayang.
Jika si manusia itu jahat,
cemburu, dan pendendam,
maka dewa atau Tuhan yang
sampai kepada imannya adalah
Tuhan yang cemburu dan
pendendam. Walhasil, bukan
agama yang membentuk
manusia, melainkan sebaliknya.
Maka memang benar ketika
orang mengatakan, bukan
agamanya yang jahat, melainkan
manusianya. Tersirat di sini
pengakuan tentang terbatasnya
pengaruh agama bagi perilaku
manusia umumnya. Yang tak
pernah kita dengar ialah ketika
pernyataan itu dibalik: bukan
agamanya yang mulia, tetapi
manusianya. …
Dan Socrates pun dihukum mati.
Ia harus minum racun. Banyak
cerita dan ada beberapa tafsir
kenapa ia dianggap bersalah
kepada negeri yang ia pernah
bela. Tapi konon Socrates
menyebut bahwa pelbagai
dakwaan kepadanya semata-
mata berdasarkan citra tentang
dirinya yang disebarkan
Aristophanes.
Yang patut dicatat ialah bahwa
tak ada nada dendam dalam
kata-kata akhirnya.
Goenawan Mohamad

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri