Atheis
Beberapa menit sebelum ia
roboh tertembak, Hasan masih
membandingkan dirinya dengan
” Hamlet Si Tukang Sangsi”.
Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama
Atheis —sebu ah novel yang tak
bisa dilupakan sejak terbit pada
1949. Penulisnya, Achdiat K.
Mihardja, meninggal pekan lalu
di Canberra, Australia.
Pengarang kelahiran Garut ini
mencapai usia 99. Tapi, seperti
nasib tiap sastrawan yang punya
karya yang berarti, usia
sepanjang itu masih akan kalah
lanjut ketimbang apa yang
ditulisnya.
Terutama karena Atheis, lebih
dari 60 tahun setelah pertama
kali beredar, pantas jadi sebuah
klasik. Prosa Achdiat masih
terasa segar, cara berceritanya
sama sekali tak aus, frase-
frasenya masih bisa
mengejutkan. Di samping itu,
Hasan ”Si Tukang Sangsi” tetap
tokoh yang tak ada duanya
dalam sastra Indonesia. Lebih
lagi: ia bisa melintasi zamannya
sendiri.
Mungkin karena apa yang ada
dalam zaman itu, masa akhir
1930-an, belum juga mati pada
hari ini: perubah an besar dalam
sejarah mo dern yang terkadang
tak tertanggungkan
guncangannya, baik bagi seorang
yang sederhana maupun pada
hal-hal yang luhur dan sakral.
Hasan seorang sederhana. Di
akhir cerita, ia ditembak pasukan
Jepang, tapi ia bukan se orang
pelawan. Pada jam malam di
Bandung itu ia lari dari hotel
tempatnya menginap karena ia
kalap, galau, marah dan
cemburu, ketika mengetahui
istrinya pernah menginap di
hotel itu bersama temannya,
Anwar.
Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya
jalan sepi. Orang sudah
diperintahkan menyingkir dan
lampu-lampu dipadamkan. Ia tak
peduli. Teriak hatinya bersilang
selisih dengan teriak peringatan
petugas keamanan.
Akhirnya tembakan dilepaskan.
Paha kirinya tembus. Ia terguling.
Ia ditangkap, karena disangka
mata-mata. Tubuhnya yang TBC
itu disiksa Kempetai. Di suatu
hari pada 1945 itu ia mati di
tangan pasukan pendudukan
yang sudah kalah perang. Bukan
sebagai pelawan.
Hasan terlampau rapuh untuk
jadi pelawan. Ia seorang yang
tergerus oleh, tapi juga terasing
dari, proses yang membentuk
dirinya. Apa mau dikata: proses
itu selalu diduduki pihak lain.
Pada waktu ia muda, orang tua,
Tuhan, dan horor meng huni
seluruh dirinya. Putra ménak
bergelar raden dari sebuah
kampung di Garut itu pada usia
remaja memutuskan untuk
mengikuti jejak ayahnya:
” menganut ilmu mistik”.
Mungkin karena ia terpengaruh
ayahnya yang alim. Tapi
terutama karena ia takut.
”Sebagai anak kecil aku sudah
dihinggapi perasaan ta kut
kepada neraka, ” tuturnya. Dari
para pembantu ru mah tangga
keluarga itu ia dapatkan cerita-
cerita siksa Tuhan yang tak alang
kepalang. Maka, katanya pula,
” Aku sangat taat menjalankan
perintah Ayah dan Ibu ten tang
agama. ”
Ia pernah berpuasa tujuh hari
tujuh malam, mandi di Ka li
Cikapundung 40 kali dalam
semalam, mengunci di ri di
kamar selama tiga hari tanpa
makan, tidur, dan bica ra. Tapi
semua bukan tumbuh dari
kerinduan kepada Yang Maha
Mempesona, tapi dari kengerian
kepada Yang Maha Ngeri.
Kengerian itu merundungnya
sampai saat-saat akhir. Ia
tenggelam dalam tata simbolik
yang diwakili ”Ayah” (dan
”Tuhan”) yang membentuk
fiilnya dengan deretan kata
” tidak boleh”. Iman dan Islam-
nya adalah rasa waswas. Agama
jadi garis demarkasi. Ia
memproteksi diri, dan sebagai
akibatnya ia terjepit dalam liang
perlindung annya sendiri. Apa
yang tinggal dari dirinya bukan
lagi sebuah subyek yang bebas,
melainkan obyek yang tersisih,
terasing, dari hidup.
Itu sebabnya ia tak mudah tegak.
Ia rentan ketika berhubungan
dengan dunia di luar garis itu.
Bekerja di jawatan air minum
kota praja Bandung, pa da suatu
hari ia bertemu dengan Rusli,
sahabatnya di masa kecil. Dari
Rusli ia berkenalan dengan
Kartini, pe rempuan 20 tahun
yang mengubah hidupnya. Atau
lebih tepat, karena ia jatuh cinta
kepada gadis itu, ia masuk ke
sebuah kancah yang
mengguncangkan hidupnya.
Rusli. Kemudian Anwar, seorang
seniman anarkis. Kemudian
Parta, seorang aktivis politik
sayap kiri. Merekalah orang yang
merasa me wakili sebuah masa
depan: modernitas yang yakin,
seperti diucapkan Parta, bahwa
” tek nik lah Tuhan kita”. Bagi
mereka, tentu saja mengutip
Marx, agama adalah ”madat”
yang dibutuhkan orang banyak
karena kondisi kehidupan yang
nes tapa.
Hasan tak mampu menghadapi
atau me nangkis argumen seperti
itu —karena ia memang tak
pernah bergulat dengan
pertanyaan dan keraguan
tentang iman dan agamanya.
Karena ia merasa tak kuasa.
Karena ia sudah jadi obyek,
bukan subyek, agama.
Tak terbiasa jadi diri yang
merdeka dalam hati dan pikiran,
ia akhirnya mengikut saja
pandangan Rusli yang
menyatakan diri ”atheis”. Tapi
pergeseran pandangannya lebih
didorong oleh rasa tertariknya
kepada Kartini ketimbang
keyakinan yang timbul —
keyakinan sebagai hasil
renungan yang digeluti dan
menggelutinya.
Maka, sampai akhir ceritanya, ia
terombang-ambing an tara
memilih untuk mengingkari
Tuhan dan kembali ke ajaran
tarekatnya. Ia sendiri tahu ia
bahkan lebih pe nge cut
ketimbang Hamlet dalam lakon
Shakespeare. Ia tetap kecut
disebut ”atheis” bukan karena ia
tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi
karena, sekali lagi, ia takut siksa
neraka.
Hasan sebagai tokoh novel unik,
tapi ia agaknya bukan satu
perkecualian. Saya kira Marx
keliru jika ia hanya menganggap
agama sebagai ”suara keluh (der
Seufzer) dari orang-orang yang
tertindas ”. Yang tak dialami ba
nyak orang seperti Hasan adalah
agama yang mengeks presikan
suara yang terpesona, gentar,
dan bersyukur —atau agama
sebagai pengakuan bahwa kita
ada, dalam kemerdekaan yang
bersahaja, bersama dengan yang
tak kekal namun tak terhingga.
Sumbangan novel Atheis kepada
zaman ini adalah mengisahkan
tragisnya sebuah iman yang
sebenarnya sebuah ketakutan.
Goenawan Mohamad
roboh tertembak, Hasan masih
membandingkan dirinya dengan
” Hamlet Si Tukang Sangsi”.
Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama
Atheis —sebu ah novel yang tak
bisa dilupakan sejak terbit pada
1949. Penulisnya, Achdiat K.
Mihardja, meninggal pekan lalu
di Canberra, Australia.
Pengarang kelahiran Garut ini
mencapai usia 99. Tapi, seperti
nasib tiap sastrawan yang punya
karya yang berarti, usia
sepanjang itu masih akan kalah
lanjut ketimbang apa yang
ditulisnya.
Terutama karena Atheis, lebih
dari 60 tahun setelah pertama
kali beredar, pantas jadi sebuah
klasik. Prosa Achdiat masih
terasa segar, cara berceritanya
sama sekali tak aus, frase-
frasenya masih bisa
mengejutkan. Di samping itu,
Hasan ”Si Tukang Sangsi” tetap
tokoh yang tak ada duanya
dalam sastra Indonesia. Lebih
lagi: ia bisa melintasi zamannya
sendiri.
Mungkin karena apa yang ada
dalam zaman itu, masa akhir
1930-an, belum juga mati pada
hari ini: perubah an besar dalam
sejarah mo dern yang terkadang
tak tertanggungkan
guncangannya, baik bagi seorang
yang sederhana maupun pada
hal-hal yang luhur dan sakral.
Hasan seorang sederhana. Di
akhir cerita, ia ditembak pasukan
Jepang, tapi ia bukan se orang
pelawan. Pada jam malam di
Bandung itu ia lari dari hotel
tempatnya menginap karena ia
kalap, galau, marah dan
cemburu, ketika mengetahui
istrinya pernah menginap di
hotel itu bersama temannya,
Anwar.
Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya
jalan sepi. Orang sudah
diperintahkan menyingkir dan
lampu-lampu dipadamkan. Ia tak
peduli. Teriak hatinya bersilang
selisih dengan teriak peringatan
petugas keamanan.
Akhirnya tembakan dilepaskan.
Paha kirinya tembus. Ia terguling.
Ia ditangkap, karena disangka
mata-mata. Tubuhnya yang TBC
itu disiksa Kempetai. Di suatu
hari pada 1945 itu ia mati di
tangan pasukan pendudukan
yang sudah kalah perang. Bukan
sebagai pelawan.
Hasan terlampau rapuh untuk
jadi pelawan. Ia seorang yang
tergerus oleh, tapi juga terasing
dari, proses yang membentuk
dirinya. Apa mau dikata: proses
itu selalu diduduki pihak lain.
Pada waktu ia muda, orang tua,
Tuhan, dan horor meng huni
seluruh dirinya. Putra ménak
bergelar raden dari sebuah
kampung di Garut itu pada usia
remaja memutuskan untuk
mengikuti jejak ayahnya:
” menganut ilmu mistik”.
Mungkin karena ia terpengaruh
ayahnya yang alim. Tapi
terutama karena ia takut.
”Sebagai anak kecil aku sudah
dihinggapi perasaan ta kut
kepada neraka, ” tuturnya. Dari
para pembantu ru mah tangga
keluarga itu ia dapatkan cerita-
cerita siksa Tuhan yang tak alang
kepalang. Maka, katanya pula,
” Aku sangat taat menjalankan
perintah Ayah dan Ibu ten tang
agama. ”
Ia pernah berpuasa tujuh hari
tujuh malam, mandi di Ka li
Cikapundung 40 kali dalam
semalam, mengunci di ri di
kamar selama tiga hari tanpa
makan, tidur, dan bica ra. Tapi
semua bukan tumbuh dari
kerinduan kepada Yang Maha
Mempesona, tapi dari kengerian
kepada Yang Maha Ngeri.
Kengerian itu merundungnya
sampai saat-saat akhir. Ia
tenggelam dalam tata simbolik
yang diwakili ”Ayah” (dan
”Tuhan”) yang membentuk
fiilnya dengan deretan kata
” tidak boleh”. Iman dan Islam-
nya adalah rasa waswas. Agama
jadi garis demarkasi. Ia
memproteksi diri, dan sebagai
akibatnya ia terjepit dalam liang
perlindung annya sendiri. Apa
yang tinggal dari dirinya bukan
lagi sebuah subyek yang bebas,
melainkan obyek yang tersisih,
terasing, dari hidup.
Itu sebabnya ia tak mudah tegak.
Ia rentan ketika berhubungan
dengan dunia di luar garis itu.
Bekerja di jawatan air minum
kota praja Bandung, pa da suatu
hari ia bertemu dengan Rusli,
sahabatnya di masa kecil. Dari
Rusli ia berkenalan dengan
Kartini, pe rempuan 20 tahun
yang mengubah hidupnya. Atau
lebih tepat, karena ia jatuh cinta
kepada gadis itu, ia masuk ke
sebuah kancah yang
mengguncangkan hidupnya.
Rusli. Kemudian Anwar, seorang
seniman anarkis. Kemudian
Parta, seorang aktivis politik
sayap kiri. Merekalah orang yang
merasa me wakili sebuah masa
depan: modernitas yang yakin,
seperti diucapkan Parta, bahwa
” tek nik lah Tuhan kita”. Bagi
mereka, tentu saja mengutip
Marx, agama adalah ”madat”
yang dibutuhkan orang banyak
karena kondisi kehidupan yang
nes tapa.
Hasan tak mampu menghadapi
atau me nangkis argumen seperti
itu —karena ia memang tak
pernah bergulat dengan
pertanyaan dan keraguan
tentang iman dan agamanya.
Karena ia merasa tak kuasa.
Karena ia sudah jadi obyek,
bukan subyek, agama.
Tak terbiasa jadi diri yang
merdeka dalam hati dan pikiran,
ia akhirnya mengikut saja
pandangan Rusli yang
menyatakan diri ”atheis”. Tapi
pergeseran pandangannya lebih
didorong oleh rasa tertariknya
kepada Kartini ketimbang
keyakinan yang timbul —
keyakinan sebagai hasil
renungan yang digeluti dan
menggelutinya.
Maka, sampai akhir ceritanya, ia
terombang-ambing an tara
memilih untuk mengingkari
Tuhan dan kembali ke ajaran
tarekatnya. Ia sendiri tahu ia
bahkan lebih pe nge cut
ketimbang Hamlet dalam lakon
Shakespeare. Ia tetap kecut
disebut ”atheis” bukan karena ia
tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi
karena, sekali lagi, ia takut siksa
neraka.
Hasan sebagai tokoh novel unik,
tapi ia agaknya bukan satu
perkecualian. Saya kira Marx
keliru jika ia hanya menganggap
agama sebagai ”suara keluh (der
Seufzer) dari orang-orang yang
tertindas ”. Yang tak dialami ba
nyak orang seperti Hasan adalah
agama yang mengeks presikan
suara yang terpesona, gentar,
dan bersyukur —atau agama
sebagai pengakuan bahwa kita
ada, dalam kemerdekaan yang
bersahaja, bersama dengan yang
tak kekal namun tak terhingga.
Sumbangan novel Atheis kepada
zaman ini adalah mengisahkan
tragisnya sebuah iman yang
sebenarnya sebuah ketakutan.
Goenawan Mohamad
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !