menurut islam
Walau pemerintah mengklaim
Indonesia akan aman dari badai
krisis ekonomi yang melanda
dunia, namun rakyat hari ini
telah merasakan langsung
dampak krisis ekonomi jilid II
tersebut. Yang paling terasa
adalah tingginya harga pangan
lalu disusul dengan harga
kebutuhan pokok lainnya.
Pangkal krisis ekonomi dunia ini
adalah akibat ketidakberesan
sistem keuangan yang berbasis
riba, membungakan uang.
Kita tentu tahu, jika ada tetangga
memiliki profesi meminjamkan
uang mengambil keuntungan
bunga sekian persen, kita sebut
dia rentenir. Di pasar-pasar ada
praktik jasa keuangan dengan
pinjaman modal 100 ribu rupiah,
dicicil tiap hari sebesar 5000
rupiah selama sebulan. Total jadi
150 ribu. Para pedagang di
pasarpun semua menyebut
mereka ini dengan sebutan Bank
Plecit. Sebutan yang jelas
bernada negatif, sama maknanya
dengan rentenir.
Kita
mampu
melihat
bahwa
orang yeng
meminjamkan uang dengan
meminta imbalan bunga tadi
adalah rentenir! tapi kita sering
silau dan tidak sadar adanya
praktik riba jika berhadapan
dengan Bank. Merasa bangga
jika menginjakkan kaki di sana,
walau harus antri panjang
sekalipun.
Hormat terhadap pegawainya,
bahkan bercita-cita semoga
anaknya besok bisa diterima
kerja di Bank. Sebuah ironi
bukan, melihat tetangga yeng
membungakan uang kita sebut
rentenir, tapi pada saat yang
sama kita bergumul dan bangga
dengan Bank yang menerapkan
sistem riba.
Bukankah keduanya sama?
Bahkan jika dilihat dari dampak
yang ditimbulkan, jelas Bank
ribawi ini lebih dahsyat
akibatnya. Jika rentenir memakan
korban hingga si peminjam
sampai harus menjual rumahnya,
maka bank ribawi ini telah
memakan industri, pengusaha,
perekonomian negara dan
ujung-ujungnya menghisap
darah rakyat! Yang berhutang
menjadi korban, yang tidakpun
ikut merasakan dampak riba
dengan terjadinya krisis ekonomi
dan kenaikkan harga yang tidak
terkendali.
Sungguh ironi, Bank ribawi yang
diharapkan dan dijadikan tolok
ukur pertumbuhan ekonomi,
justru faktanya meruntuhkan
ekonomi rakyat dan negara! Hal
inilah sesungguhnya yang
dimaksudkan Al-Qur’an pada
surah Ar-Rum (39-41).”Apa aja
yang berikan dalam bentuk
bunga supaya bertambah harta
manusia (terjadi pertumbuhan
ekonomi), maka sesungguhnya
hal itu tidak bertambah menurut
Allah”.
Dan ditegaskan pada ayat
berikutnya tentang ulah rentenir
kampung maupun rentenir
berdasi (bank riba), di ayat 41,
”Telah
nyata
kerusakan
di darat
dan di laut
akibat ulah
tangan manusia, supaya kami
rasakan kepada mereka sebagian
dari akibat perbuatan mereka,
agar mereka kembali ke jalan
yang benar”.
Menurut ayat ini praktik bunga
merupakan fasad fil ardhi yang
menimbulkan krisis, volatilitas,
inflasi, penurunan investasi dan
produksi, kemiskinan,
ketidakadilan, kesenjangan
pendapatan serta berbagai
kekacauan ekonomi dan
bencana ekonomi lainnya. Jika
secara hukum telah jelas haram.
Azab bagi si pelanggar pun
sudah tampak di dunia, belum
lagi di akhirat kelak.
Kesengsaraan umat akibat riba
juga semakin parah, haruskah
tetap bergumul dengan riba?
Tinggal sisa keimanan kita yang
mampu menjawab.
Indonesia akan aman dari badai
krisis ekonomi yang melanda
dunia, namun rakyat hari ini
telah merasakan langsung
dampak krisis ekonomi jilid II
tersebut. Yang paling terasa
adalah tingginya harga pangan
lalu disusul dengan harga
kebutuhan pokok lainnya.
Pangkal krisis ekonomi dunia ini
adalah akibat ketidakberesan
sistem keuangan yang berbasis
riba, membungakan uang.
Kita tentu tahu, jika ada tetangga
memiliki profesi meminjamkan
uang mengambil keuntungan
bunga sekian persen, kita sebut
dia rentenir. Di pasar-pasar ada
praktik jasa keuangan dengan
pinjaman modal 100 ribu rupiah,
dicicil tiap hari sebesar 5000
rupiah selama sebulan. Total jadi
150 ribu. Para pedagang di
pasarpun semua menyebut
mereka ini dengan sebutan Bank
Plecit. Sebutan yang jelas
bernada negatif, sama maknanya
dengan rentenir.
Kita
mampu
melihat
bahwa
orang yeng
meminjamkan uang dengan
meminta imbalan bunga tadi
adalah rentenir! tapi kita sering
silau dan tidak sadar adanya
praktik riba jika berhadapan
dengan Bank. Merasa bangga
jika menginjakkan kaki di sana,
walau harus antri panjang
sekalipun.
Hormat terhadap pegawainya,
bahkan bercita-cita semoga
anaknya besok bisa diterima
kerja di Bank. Sebuah ironi
bukan, melihat tetangga yeng
membungakan uang kita sebut
rentenir, tapi pada saat yang
sama kita bergumul dan bangga
dengan Bank yang menerapkan
sistem riba.
Bukankah keduanya sama?
Bahkan jika dilihat dari dampak
yang ditimbulkan, jelas Bank
ribawi ini lebih dahsyat
akibatnya. Jika rentenir memakan
korban hingga si peminjam
sampai harus menjual rumahnya,
maka bank ribawi ini telah
memakan industri, pengusaha,
perekonomian negara dan
ujung-ujungnya menghisap
darah rakyat! Yang berhutang
menjadi korban, yang tidakpun
ikut merasakan dampak riba
dengan terjadinya krisis ekonomi
dan kenaikkan harga yang tidak
terkendali.
Sungguh ironi, Bank ribawi yang
diharapkan dan dijadikan tolok
ukur pertumbuhan ekonomi,
justru faktanya meruntuhkan
ekonomi rakyat dan negara! Hal
inilah sesungguhnya yang
dimaksudkan Al-Qur’an pada
surah Ar-Rum (39-41).”Apa aja
yang berikan dalam bentuk
bunga supaya bertambah harta
manusia (terjadi pertumbuhan
ekonomi), maka sesungguhnya
hal itu tidak bertambah menurut
Allah”.
Dan ditegaskan pada ayat
berikutnya tentang ulah rentenir
kampung maupun rentenir
berdasi (bank riba), di ayat 41,
”Telah
nyata
kerusakan
di darat
dan di laut
akibat ulah
tangan manusia, supaya kami
rasakan kepada mereka sebagian
dari akibat perbuatan mereka,
agar mereka kembali ke jalan
yang benar”.
Menurut ayat ini praktik bunga
merupakan fasad fil ardhi yang
menimbulkan krisis, volatilitas,
inflasi, penurunan investasi dan
produksi, kemiskinan,
ketidakadilan, kesenjangan
pendapatan serta berbagai
kekacauan ekonomi dan
bencana ekonomi lainnya. Jika
secara hukum telah jelas haram.
Azab bagi si pelanggar pun
sudah tampak di dunia, belum
lagi di akhirat kelak.
Kesengsaraan umat akibat riba
juga semakin parah, haruskah
tetap bergumul dengan riba?
Tinggal sisa keimanan kita yang
mampu menjawab.
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar kawan !