lagi-lagi tatapan sinis tentang bank plecit

DI DEPAN rumah kecil yang juga
berfungsi sebagai kantor, di
Surakarta, beberapa hari ini
terpampang: ''Hari Koperasi
ke-60. Harinya Rakyat Kecil''.
Jelas, tulisan itu dibuat untuk
menyambut peringatan Hari
Koperasi Ke-60, yang jatuh pada
Kamis, 12 Juli 2007.
Di antara kesibukan menyambut
peringatan itu, sejumlah bakul di
pasar-pasar tradisional di Kota
Bengawan berceloteh : ''Ojo
amek utangan nyang koperasi
kuwi. Bungane nekak gulu
(Jangan ambil pinjaman ke
koperasi itu. Bunganya mencekik
leher)."
Yang menyambut ulang tahun
mengingatkan, koperasi adalah
milik wong cilik , sahabat rakyat
kecil dalam berekonomi sehari-
hari. Karena itu wajib untuk
diperingati. Adapun celotehan
para bakul memperingatkan
agar kita sebisa mungkin
menjauhi koperasi, karena
membuat rakyat kecil makin
melarat.
Dua maksud yang bertolak
belakang. Entah sampai kapan.
Mengapa ada yang alergi
terhadap koperasi ? Bukankah
institusi itu dibentuk untuk
menyejahterakan anggota,
menyejahterakan rakyat ?
Bacalah Bab II Pasal 3 UU
25/1992. Dalam pasal itu tertulis:
''Koperasi bertujuan memajukan
kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada
umumnya, serta ikut
membangun tatanan
perekonomian nasional dalam
rangka mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, dan makmur
berlandaskan Pancasila dan UUD
1945''.
Jelas kan ? Bunyi pasal itu,
koperasi diharapkan dapat
menyejahterakan para
anggotanya. Para anggota itu
adalah masyarakat. Semakin
banyak anggota koperasi yang
sejahtera, berarti semakin luas
dampak kesejahteraan itu pada
masyarakat. Dengan kata lain,
anggota koperasi sejahtera,
masyarakat pun demikian pula.
Tak Sekadar Celoteh
Namun celotehan para bakul itu
bukan sekadar celoteh. Bukan
omong kosong alias sekadar
njeplak. Peringatan kepada
sesama teman itu benar-benar
beralasan. Di Surakarta atau
Jateng sekarang ini, memang
merebak penawaran pinjaman
uang dengan bunga tinggi oleh
lembaga pembiayaan yang
menamakan dirinya koperasi.
Entah koperasi beneran atau
numpang nama atau koperasi
jadi-jadian, orang tak ambil
pusing. Mereka membutuhkan
uang, saat yang sama ada yang
menawari pinjaman. Gayung
bersambut. Dalam hitungan
menit, urusan beres, uang di
tangan. Soal bunga tinggi,
urusan belakang.
Dengan mencantumkan nama
sebuah koperasi, petugas
lapangan yang berkeliling ke
pasar-pasar, ke kampung-
kampung, menawarkan pinjaman
uang, berbunga 20% sebulan. Itu
berarti 240% per tahun.
Bandingkan dengan bunga bank
yang hanya sekitar 20% per
tahun atau kurang dari 2%
sebulan.
Bahasa Rakyat
Apakah itu tidak mencekik
leher ? Apakah celotehan para
bakul itu tidak beralasan ?
Apakah mereka omong kosong ?
Petugas lapangan itu sepertinya
terlatih benar sebagai seorang
marketer. Cara menawarkanya
menggunakan bahasa rakyat.
Mereka tidak berdasi dan
bersepatu. Naik sepeda motor
dan bersandal, mereka keluar
masuk lorong atau pematang
sawah. Mereka menikmati
jajanan para bakul sambil minum
kopi. Di sela pembicaraan ke
sana ke mari, masuklah pesan
penawaran pinjaman uang.
Hubungan yang semakin akrab,
membuat para bakul dan
petugas lapangan itu menjadi
seperti saudara sendiri. Kadang
mereka lupa, siang malam kerja
keras hasilnya hanya untuk
bayar utang. Namun banyak
yang sadar, telah menjadi
korban keganasan pelepas uang.
Kesadaran dalam keterpaksaan,
tak mengubah pendirian untuk
tetap berhubungan dengan
''koperasi''.
Celaka, lintah darat berkedok
koperasi. Benar-benar
mencoreng lembaga koperasi.
Uniknya, banyak di antara
''koperasi-koperasi'' itu secara
operasional bahkan tak
berhubungan dengan koperasi
yang namanya tertera dalam
buku kecil untuk mencatat
keluar masuknya jumlah
pinjaman.
Bayar Komisi
Menurut keterangan, ''koperasi-
koperasi'' itu sekadar membayar
fee (komisi) setiap tahunnya
kepada koperasi beneran.
Mereka pinjam nama untuk
''kendaraan'' dalam beroperasi
memutar uang. Pada masa uang
ketat seperti sekarang, pasar
''koperasi'' bak bank plecit itu
semakin luas.
Makin sulit mengakses
pembiayaan perbankan, makin
besar omzet ''koperasi'' yang
dipasarkan kepada para
pengrajin kecil. Usaha skala
mikro yang sebetulnya harus
dibantu, justru dibantai.
Menyedihkan......!
Yang juga menjengkelkan adalah
koperasi bermodal kuat, yang
beroperasi layaknya perbankan.
Meskipun namanya koperasi,
tetapi menerima simpanan pihak
ketiga. Yang disebut pihak ketiga
itu bukan anggota. Mereka jelas
orang luar. Tapi pengurus lihai,
tak kehabisan akal. Siapa bilang
mereka bukan anggota ? Mereka
memang bisa menjadi anggota
koperasi dadakan. Hari ini
menjadi anggota, hari ini pula
memperoleh pinjaman. Apakah
mereka bayar iuran wajib dan
uang lain-lain ? Ya,
pembayarannya langsung
dipotong dari sejumlah pinjaman
yang hari itu diserahkan.
Koperasi model itu memberikan
pinjaman dalam jumlah besar.
Karena itu perlu agunan. Saat
agunan diserahkan, langsung
tanda tangan jual-beli.
Ketika kredit benar-benar macet,
barang yang diagunkan
wassalam. Dalam menghimpun
dana pihak ketiga, mereka
terang-terangan menyebut
deposito. Dalam menghimpun
deposito, mereka pasang bunga
lebih tinggi dari bank. Karena
kulaknya mahal, mereka
melepas kredit juga dengan
bunga sangat mahal.
Tak ayal, hal itu juga membuat
resahnya pemilik Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Pasar
mereka terancam. ''Itu
bagaimana, pemerintah kok tak
bisa berbuat apa-apa. Kalau hal
itu terus dibiarkan,
perekonomian kita mau jadi
apa ?''ujar bos sebuah BPR.
Tanyakan kepada pihak
Departemen Koperasi dan UKM
di pusat atau Dinas Koperasi dan
UKM yang ada di daerah,
apakah tidak bisa menindak
''koperasi-koperasi'' itu ? Atau
Bank Indonesia, apakah tak
berwenang menghapus praktik
koperasi yang beroperasi
layaknya bank itu?
Jawabannya pasti, tak
berwenang. Kalau semuanya tak
berwenang, lalu siapa yang
harus bertindak ? Di negeri ini
koperasi sudah berusia 60 tahun.
Seharusnya koperasi berperan
sebagaimana mestinya.
Kenyataannya, justru namanya
disalahgunakan.
Jika kondisi perekonomian
negara masih seperti itu,
mustahil bisa menghilangkan
praktik bank plecit atau lintah
darat. Tetapi jika memberantas
penyalahgunaan koperasi, pasti
tak sesulit memberantas lintah
darat. Selamat HUT Ke- 60
Koperasi Indonesia.(68)
-- Subakti A Sidik, wartawan
Suara Merdeka Biro Surakarta.

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri