argumen kontra bank plecit

Bank Thithil/Bank Plecit,
merupakan fenomena ekonomi-
sosial yang sampai saat ini masih
terjadi di pasar-pasar tradisional.
Para pelaku Bank Thithil (pelepas
modal in-formal/illegal) ini
memiliki semangat yang tinggi
dalam melakukan usahanya
meminjamkan uang, dengan
cicilan yang ringan (per hari),
namun bila dihitung besaran
bunganya terlihat cukup tinggi,
melebihi bunga Bank yang legal.
Di sisi lain para nasabah Bank
Thithil yang nota-bene adalah
para pedagang kecil/pedagang
kaki lima, sudah menganggap
keberadaan Bank Thithil ini amat
dibutuhkan, demi kelangsungan
usaha mereka. Ketergantungan
mereka terhadap Bank Thithil
dikarenakan adanya kemudahan
prosedur, kecepatan realisasi
pinjaman, tanpa agunan dan
tidak ada sanksi, bila pinjaman
nunggak/tidak bisa mengangsur.
Kehadiran Bank Thithil
dipandang oleh para
nasabahnya sebagai mitra usaha.
Para nasabah (para pedagang
kecil) ini sebagian besar adalah
orang-orang Muslim, yang disatu
sisi mereka memahami bahwa
apa yang mereka lakukan tidak
sesuai dengan aturan Hukum
Islam (Fikih). Namun mereka
terpaksa harus melakukan demi
kelangsungan usaha/hidup
mereka. Melihat fenomena
seperti ini, menggugah Drs. M.
Zulfa, M. Ag. (Dosen STAIN
Salatiga) melakukan penelitian
terhadap keberadaan Bank
Thithil di pasar-pasar tradisional
di wilayah Salatiga.
Hasil penelitian M. Zulfa
dipaparkan dalam disertasinya
untuk pemperoleh gelar Doktor
Bidang Ilmu Agama Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, dengan mengangkat
judul “Pemanfaatan Bank
Thithil Dalam Komunitas
Muslim (Studi Sosio-Religius di
Kota Salatiga)”. Untuk
memahami fenomena ekonomi-
sosial Bank Thithil, putra
kelahiran Kendal ini
menyebarkan angket kepada
para pelaku dan mengguna
dengan mengambil sampel
sejumlah 338 orang, terdiri dari
313 orang Muslim, 25 orang
non-Muslim. Menurut M. Zulfa
dari hasil jawaban sebagian besar
sampel menunjukkan, meskipun
mereka tahu bahwa apa yang
mereka lakukan adalah Riba,
mereka telah mengabaikan
makna riba. Karena logika
mereka mengatakan bahwa apa
yang mereka lakukan adalah
bentuk kerjasama untuk
kelangsungan usaha produktif
(bisnis) mereka. Dalam bahasa
akademiknya, mereka telah
meredifinisikan riba dalam
konteks sosial/fenomena empirik
dalam realitas kehidupan pasar
tradisional di negeri ini. Dari studi
lapangan yang dilakukannya,
Promovendus juga diperoleh
temuan, Bank Thithil ini berasal
dari budaya Pacinan dan Arab
yang ada di Indonesia. Budaya ini
diteruskan oleh orang-orang
batak(Medan) dan sebagian kecil
masyarakat Jawa.
Dihadapan tim penguji yang
terdiri dari : Prof. Dr. H. Syamsul
Anwar, M.A., Dr. Pradjarta
Dirdjosanjoto, S.H., M.A., Prof.
Dr. H. Irwan Abdullah, Prof. Dr.
H. Abd. Salam Arief, dan Drs. H.
Munrochim Misanam, M.A., E.c.
Ph.D., di Ruang Promosi PPs
kampus UIN, Jumat (11/6)
promovendus memaparkan
redefinisi makna riba yang yang
diresapi oleh para pelaku dan
pengguna Bank Thithil ini
dikuatkan oleh argumen mereka,
antara lain : Para pelepas modal
dalam Bank Thithil merasa
memberi bantuan kepada
pedagang yang membutuhkan
dana cepat tanpa syarat. Para
pelepas modal Bank Thithil
merasa keuntungan yang
mereka dapatkan merupakan
kewajaran dan keseimbangan
atas jerih payah mereka, karena
setiap hari berjalan kaki melayani
transaksi dan menagih angsuran
sedapat-dapatnya dari para
pedagang kecil secara jemput
bola. Para pelepas modal Bank
Thithil merasa, bunga tinggi yang
mereka peroleh karena resiko
yang mereka hadapi lebih besar
dari bank konvensional, seperti
tidak adanya agunan sehingga
tidak ada sanksi bagi para
nasabah yang tidak mampu
membayar utangnya.
Dari sisi nasabah, mereka
melakukan redefinisi makna riba
dengan argumen, mereka
terpaksa berhutang dengan
bunga tinggi, karena hanya jalan
itu yang mudah didapatkan demi
kelangsungan usahanya. Mereka
merasionalisasi ajaran agama
tentang riba dengan pemikiran
rasional demi kelangsungan
kehidupan sosial-ekonomi
mereka. Melihat fenomena ini,
menurut M. Zulfa, Bank Thithil
tidak pas bila diidentikkan
dengan rentenir, yang
keberadaannya menjerat
penggunanya. Karena hubungan
mereka (antara pelepas modal
dengan para pedagang kecil)
sangat akrab. Terlihat dalam
bahasa Prokem yang sehari-
harinya mereka gunakan ketika
menagih cicilan, tetapi nasabah
belum bisa membayar, mereka
mengatakan “besok ya”, “ya”
demikian jawab pelepas modal.
Artinya para pelepas modal
illegal (in –formal) ini sangat
toleran terhadap tunggakan
cicilan.
Fakta empirik menunjukkan,
fenomena ekonomi-sosial
semacam Bank Thithil
(masyarakat Yogyakarta
menyebutnya Bank Plecit) masih
banyak terjadi di pasar-pasar
tradisional di seluruh wilayah
Indonesia. Melihat fenomena
semacam itu menurut
promovendus, hendaknya Fikih
Islam melakukan Ijtihad Sosial,
dengan membentuk lembaga
yang memberikan payung
hukum, melegitimasi aturan-
aturan yang jelas, tegas dan
terlembaga , yang dapat
memberikan ketenangan dan
tidak sembunyi-sembunyi, bagi
para pelakunya (pelepas modal
dan nasabah) dalam
melaksanakan aktifitas sosial-
ekonomi seperti ini. Perlu
dirumuskan aturan-aturan
agama yang akomodatif,
sehingga para pelaku ekonomi
produktif masyarakat kalangan
menengah ke bawah ini akan
tetap eksis secara syariah, tidak
ada yang dholim maupun
didholimi (tidak ada yang
mengeksploitasi maupun
dieksploitasi), tetapi merupakan
bentuk kerjasama ekonomi yang
saling membantu dan
menguntungkan. Perlu juga
dilakukan ijtihad sosial,
bagaimana menetapkan aturan-
aturan bunga yang pas bagi
usaha-usaha kecil produktif
dengan mengacu pada Surah Ali
Imron : 130, yang menyiratkan
makna bahwa : Riba atau bunga
yang walaupun kecil/sedikit tidak
dibenarkan atau hukumnya
haram, bila pinjaman berbunga
itu diperlakukan untuk
kepentingan konsumtif, terutama
untuk orang yang tidak mampu.
Karena ajaran moral agama
mengisyaratkan untuk
membantu orang-orang yang
lemah, bahkan kalau perlu
membebaskan mereka dari
membayar hutang. Melengkapi
hasil penelitian disertasi
Promovendus, Amin Abdullah
selaku ketua sidang promosi
menyarankan untuk menggali
Usul Fikih Post-Modern, yang
menurutnya pas memayungi
Fakta Empiris keberadaan Bank
Thithil, sesuai hukum syariah.
Pemerintah hendaknya juga
turut campur tangan mengatur
eksistensi Bank Thithil, sehingga
dalam melaksanakan usaha
ekonomi-sosial, tidak lagi
sembunyi-sembunyi, karena
kenyataan menunjukkan bahwa
sampai saat ini, pelaku Bank
Thithil juga semakin meluas dan
sangat dibutuhkan oleh para
pedagang kecil/pedagang kaki
lima.
Oleh tim penguji, Promovendus
dinyatakan lulus dengan predikat
“ Sangat Memuaskan” dan
merupakan Doktor ke-253
Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

bank plecit

primkopabri